MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejahatan Kejam
Kegelapan yang menyelimuti kesadaran Rahayu perlahan terkoyak oleh rasa perih yang membakar pergelangan tangannya. Kesadarannya kembali secara bertahap, namun ia berharap tetap pingsan. Setiap kali ia mencoba menggerakkan bahu, nilon kasar itu menggores kulitnya yang lecet, mengingatkannya bahwa ia masih menjadi tawanan di kamarnya sendiri.
Demamnya belum turun. Dunianya terasa berputar dan berat, namun indra pendengarannya mendadak menjadi tajam sebuah kompensasi pahit atas penglihatannya yang telah tiada. Di tengah kesunyian kamar yang pengap, ia mendengar suara langkah kaki yang familiar.
Bukan langkah berat Andika, bukan pula langkah ragu Bi Nina. Ini adalah langkah kaki yang ringan, centil, dan penuh percaya diri.
Klik.
Pintu kamar terbuka. Aroma parfum khas yang menyengat langsung menusuk hidung Rahayu. Ia mengenali wangi itu. Itu adalah parfum mahal yang dulu ia pernah hadiahkan untuk adiknya.
"Ya ampun, Mas Andika... jadi ini pemandangan indah yang kamu janjikan?"
Suara itu milik Santi. Adik tirinya. Suara yang dulu selalu merengek meminta uang atau barang branded pada Rahayu, kini terdengar begitu dingin dan penuh kemenangan.
Rahayu merasakan tempat tidurnya sedikit bergoyang. Seseorang duduk di pinggir ranjang, tepat di samping tubuhnya yang masih basah dan kotor.
"Lihat dia, Mas. Menyedihkan sekali," ucap Santi lagi. Rahayu bisa membayangkan wajah cantik adiknya yang kini pasti sedang melengkungkan senyum jijik.
"Padahal dulu dia selalu merasa paling hebat, paling berkuasa di keluarga kita karena punya segalanya. Sekarang? Dia cuma seonggokan daging yang bau lumpur."
"Jangan terlalu dekat, Sayang. Nanti baju mahalmu kotor kena kuman dari perempuan ini," suara Andika menyahut, terdengar sangat dekat.
Rahayu tersedak oleh napasnya sendiri. Dadanya sesak bukan hanya karena demam, tapi karena kenyataan yang menghantamnya lebih keras dari tamparan Andika. Suaminya dan adiknya. Sejak kapan?
"Aku rindu kamu, Mas," bisik Santi. Rahayu mendengar gesekan kain sutra, diikuti suara kecupan yang basah dan menjijikkan tepat di samping telinganya.
Mereka bermesraan di sana, di atas ranjang yang sama di mana Rahayu sedang meregang nyawa dengan tangan terikat.
Darah Rahayu mendidih. Amarah yang sedari tadi ia simpan seolah mencapai titik ledak. Ia ingin berteriak, ingin mencakar wajah mereka, namun lidahnya terasa kelu dan tubuhnya terlalu lemah untuk sekadar meronta.
"Sabar, Sayang," suara Andika terdengar serak oleh nafsu.
"Setelah semua asetnya pindah ke tangan kita, dia gak akan ada gunanya lagi. Kamu bisa memiliki mansion ini, juga seluruh perusahaan yang dulu dia banggakan."
"Benarkah? Kamu janji?" Santi merengek manja, suara yang dulu dianggap Rahayu sebagai bentuk kasih sayang saudara, kini terdengar seperti desis ular.
"Aku udah bosan berpura-pura kasihan padanya. Aku ingin dia segera lenyap, Mas. Dia menghalangi kebahagiaan kita."
Andika tertawa, sebuah tawa yang merendahkan.
"Dia gak akan ke mana-mana. Dia terikat, buta, dan sendirian. Lihat dia, Santi. Dia bahkan tidak bisa protes saat kita melakukan ini di depannya."
Rahayu merasakan tangan Andika mengelus pipi Santi, lalu suara tawa kecil mereka bersahutan. Ia bisa mendengar bisikan-bisikan kotor, janji-janji masa depan yang dibangun di atas darahnya. Setiap kata-kata mesra yang mereka pertukarkan seperti siraman cuka di atas luka yang menganga.
Air mata jatuh dari sudut mata Rahayu yang tertutup. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata murka.
"Tuhan, jika Engkau memberiku satu kesempatan lagi, jangan biarkan aku mati sebelum aku melihat mereka merangkak di kakiku, doa Rahayu dalam hati.
Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar mendekat. Lilis masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa.
"Tuan, Bu Citra sudah datang. Beliau menunggu di ruang tengah," lapor Lilis.
Andika mendengus, melepaskan pelukannya dari Santi.
"Ibu selalu saja datang di waktu yang tidak tepat. Santi, kamu turun dulu lewat tangga belakang atau tunggu di sini sebentar. Ibu tidak boleh tahu dulu kalau kita sudah seserius ini, dia masih ingin aku bermain sedikit lebih lama dengan Rahayu."
Santi cemberut, suaranya terdengar kesal.
"Hmph, baiklah. Tapi aku ingin memberi salam terakhir untuk kakakku tercinta."
Rahayu merasakan sentuhan tangan yang dingin di pergelangan tangannya yang terikat. Santi mencubit luka bekas tali itu dengan kuku tajamnya, memutar kulit yang sudah membengkak itu dengan penuh kebencian.
Rahayu merintih tertahan, giginya gemeletuk menahan perih yang luar biasa.
"Cepat sembuh ya, Kakak Sayang," bisik Santi tepat di lubang telinga Rahayu.
"Jangan mati terlalu cepat. Aku belum sempat memakai semua koleksi tas dan perhiasanmu di depan wajah butamu."
Mereka semua kemudian keluar dari kamar. Pintu kembali dikunci dengan dentum keras yang bergema di kepala Rahayu.
Keheningan kembali menyergap, namun kali ini suasananya berbeda. Rahayu tidak lagi merasa kedinginan. Amarah telah menjadi api yang menghangatkan seluruh aliran darahnya. Di bawah kelopak matanya yang tertutup, ia membayangkan wajah Andika, wajah Santi, dan wajah ibu mertuanya, Bu Citra.
Ia mengingat setiap detail pengkhianatan ini. Ia mengingat suara tawa mereka. Ia mengingat aroma parfum Santi yang kini menempel di sprei tempat tidurnya.
Rahayu mencoba menggerakkan tangannya lagi. Kali ini, ia tidak peduli jika kulitnya terkelupas atau tulang pergelangan tangannya bergeser. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mencoba melonggarkan ikatan itu.
Satu sentimeter...
Dua sentimeter...
Gesekan nilon itu merobek kulitnya, darah mulai merembes dan membasahi tali, membuatnya sedikit licin. Rahayu tidak meringis. Ia justru tersenyum tipis di tengah demamnya yang masih membara. Darah ini adalah saksi. Setiap tetesnya adalah janji kehancuran bagi mereka yang ada di bawah sana.
"Nikmati kemenangan kalian malam ini," batin Rahayu dengan suara yang bergetar namun tajam.
"Karena saat aku lepas nanti, aku tidak akan menjadi Rahayu yang kalian kenal. Aku akan menjadi mimpi buruk yang tidak akan pernah bisa kalian bangunkan."
Di luar, petir kembali menyambar, menerangi kamar yang gelap itu sekejap mata. Memperlihatkan sosok Rahayu yang terikat, namun dengan tangan yang mulai mengepal kuat.
Badai yang sesungguhnya belum tiba, dan saat badai itu datang, mansion mewah ini akan menjadi kuburan bagi keserakahan mereka.
Pintu kamar kembali berderit terbuka. Kali ini, langkah kaki yang masuk lebih berat dan berwibawa. Bu Citra, sang ibu mertua, berdiri di ambang pintu dengan seringai kemenangan yang tak lagi disembunyikan.
Ia mendekat, aroma minyak kayu putih dan bedak mahalnya bercampur dengan bau apek kamar yang menyengat.
"Kasihan sekali menantuku yang sombong ini," ujar Bu Citra sambil tertawa renyah, sebuah tawa yang terdengar sangat puas di telinga Rahayu.
"Kamu memandang rendah keluarga kita dengan harta ayahmu itu, bukan? Sekarang lihat, kamu bahkan lebih rendah dari keset di depan pintu."
Bu Citra membungkuk, membisikkan sesuatu yang membuat darah Rahayu membeku.
"Tenang saja, Rahayu. Ayahmu, Pak Rio yang terhormat itu, tidak akan pernah tahu kalau putri kesayangannya sedang membusuk di sini. Andika sudah mengatur semuanya. Di mata Pak Rio, kamu sedang menjalani pengobatan rahasia di luar negeri untuk memulihkan penglihatanmu."
Ia tertawa lagi, kali ini lebih keras hingga bahunya terguncang.
"Biarlah Pak Rio terus mengirimkan dana bantuan untuk 'pengobatanmu'. Uang itu akan sangat berguna untuk membiayai pernikahan mewah Andika dan Santi nanti."
Rahayu mengeratkan kepalan tangannya yang berdarah. Di tengah tawa iblis itu, dendamnya mengkristal.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏