NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rafa pengganggu

Akhirnya mereka tiba di kebun binatang. Arsen turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Elara. Setelah itu, ia menggendong Rafa turun dari kursi belakang dengan satu tangan.

“Wahhh… banyak olang ya, kak,” ucap Rafa sambil menoleh ke sana kemari, matanya berbinar melihat keramaian.

“Iyalah banyak orang. Namanya juga tempat umum,” jawab Arsen datar sambil menggandeng tangan Elara dan berjalan ke loket tiket.

Elara tersenyum kecil. Ia membiarkan Arsen menggenggam tangannya, meski sadar betul genggaman itu sedikit lebih erat dari biasanya.

Hari ini hari Minggu. Kebun binatang dipenuhi pengunjung. Ada keluarga kecil dengan anak-anak, pasangan suami istri, juga pasangan kekasih yang berjalan berdampingan. Tawa, suara anak-anak, dan aroma jajanan bercampur jadi satu.

“Ramai banget,” gumam Elara pelan sambil menatap sekeliling.

“Makanya jangan lepas pegangan,” ucap Arsen singkat tanpa menoleh.

Elara melirik tangannya yang masih berada dalam genggaman Arsen. Ia tidak menariknya. Entah kenapa, rasanya justru hangat.

“Mau lihat apa dulu nih?” tanya Elara setelah mereka melewati pintu masuk.

“Kit—” ucapan Arsen terpotong ketika Rafa tiba-tiba menarik tangan Elara.

“Kak El! Lihat kelinci yuk!” seru Rafa penuh semangat.

Arsen mendecak pelan. “Rafa—”

“Kelinci aja dulu ya,” kata Elara sambil menunduk sejajar dengan Rafa. “Abis itu kakak ikut apa yang Arsen mau.”

Ia lalu menoleh ke Arsen dan membisikkan, “Sabar ya.”

Arsen menghela napas, lalu mengangguk kecil. “Iya.”

Area kelinci dipenuhi anak-anak. Rafa terlihat paling antusias. Ia berlari kecil mendekati pagar, menunjuk-nunjuk kelinci putih dan cokelat yang melompat-lompat.

“Lucu banget!” seru Elara.

“Iya, kayak kamu,” jawab Arsen refleks.

Elara terdiam sesaat, lalu menoleh. “Apa?”

“Enggak,” Arsen mengalihkan pandangan cepat. “Biasa aja.”

Elara tersenyum, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Setelah cukup lama di area kelinci, Rafa mulai rewel. Arsen menggendongnya, sementara Elara berjalan di samping mereka.

“Kita beli es krim yuk,” usul Elara. “Panas.”

“Setuju!” Rafa langsung mengangguk cepat.

Arsen hanya mengangguk. Mereka berhenti di salah satu gerobak es krim. Elara memilih es krim vanila, Arsen cokelat, dan Rafa stroberi.

Mereka duduk di bangku taman. Angin sepoi-sepoi membuat suasana terasa nyaman.

Rafa duduk di pangkuan Arsen, sibuk menjilat es krimnya sendiri sampai belepotan.

“Kotor,” gerutu Arsen sambil mengelap sudut bibir Rafa dengan tisu.

“El, sini,” ucap Arsen sambil mencondongkan tubuh.

Elara menoleh. “Kenapa?”

Arsen mendekatkan wajahnya sedikit. Elara spontan menyendok es krimnya dan berniat menyuapkannya ke Arsen, refleks seperti yang sering ia lakukan sejak kecil.

Namun sebelum sendok itu sampai ke mulut Arsen—

“AAAA!” Rafa tiba-tiba membuka mulut lebar-lebar dan hap—sendok itu masuk ke mulutnya.

Elara terkejut. “Eh?!”

Rafa tertawa kecil, mulutnya penuh es krim. “Enak!”

Arsen membeku.

Elara menatap Rafa, lalu Arsen. “Rafa!”

“Itu punya kak El,” kata Rafa polos.

Arsen menutup mata sejenak. Menarik napas panjang. Lalu membuka mata dengan tatapan datar.

“Rafa,” ucapnya pelan tapi tegas. “Itu bukan buat kamu.”

“Tapi Rafa mau,” jawab Rafa santai.

“Elara mau nyuapin Arsen,” lanjut Arsen, nadanya mulai turun.

Elara refleks tertawa kecil. “Nio, santai aja—”

“Enggak,” potong Arsen cepat. “Gue lagi pengen.”

Rafa memiringkan kepala. “Kak Arsen pelit.”

Arsen menatap Rafa. “Kamu udah punya es krim sendiri.”

Rafa mendengus kecil, lalu menyandarkan kepala ke dada Arsen. “Kak Arsen galak.”

Elara menahan tawa. “Kamu kok galak sih sama anak kecil.”

Arsen melirik Elara. “Gue nggak galak.”

“Keliatan,” balas Elara sambil tersenyum jahil.

Arsen mengalihkan pandangan. “Ganggu mulu.”

Rafa mendengar itu dan langsung memeluk leher Arsen. “Rafa cuma mau sama kak El.”

Kalimat itu sukses membuat Arsen membeku untuk kedua kalinya.

Elara juga terdiam.

Rafa lalu menoleh ke Elara. “Kak El, Rafa duduk sama kak El aja ya.”

Sebelum Arsen sempat menolak, Rafa sudah berpindah ke pangkuan Elara.

Arsen menatap kosong.

“Elara…” ucapnya rendah.

“Kenapa?” Elara mengangkat bahu. “Kasihan dia.”

Arsen mengatupkan rahang. Tangannya mengepal kecil di atas lutut.

“Elara itu punya gue,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

“Apa?” Elara menoleh.

“Enggak,” Arsen berdiri. “Gue ambil minum.”

Ia berjalan pergi dengan langkah sedikit cepat.

Elara memandangi punggung Arsen. Ia tahu betul—Arsen kesal. Dan itu bukan karena es krim.

Rafa menatap Arsen yang menjauh. “Kak Arsen marah ya?”

Elara mengangguk kecil. “Sedikit.”

“Kenapa?” tanya Rafa polos.

Elara tersenyum tipis. “Karena kak Arsen cemburuan.”

Rafa berpikir sejenak. Lalu tertawa kecil. “Berarti kak Arsen suka kak El?”

Elara terdiam.

Dadanya menghangat tanpa alasan jelas.

Sementara itu, dari kejauhan, Arsen berdiri menatap kerumunan. Rahangnya mengeras.

Untuk pertama kalinya hari itu, ia menyadari satu hal yang membuat dadanya sesak—

Bukan cuma Rafa yang mengganggunya.

Tapi perasaan yang semakin sulit ia sembunyikan.

★★★

Mereka berjalan pelan menuju parkiran. Matahari sudah sedikit condong, membuat bayangan tubuh mereka memanjang di aspal. Rafa tertidur pulas di gendongan Elara, kepalanya bersandar di bahu gadis itu, napasnya teratur.

“El,” panggil Arsen pelan.

Elara menoleh. “Hm?”

“Tidurin dia di kursi belakang. Kamu duduk di depan. Jangan bantah.”

Nada Arsen datar, tapi ada tekanan halus di dalamnya.

Elara terdiam sesaat. Ia menatap wajah Rafa yang tertidur, lalu mengangguk kecil. Mungkin dia masih kesal, pikirnya. Padahal cuma masalah sepele.

Elara menidurkan Rafa dengan hati-hati di kursi belakang, memasangkan sabuk pengaman kecil yang ada, lalu menutup pintu perlahan. Setelah itu, ia duduk di kursi depan.

Mobil mulai melaju meninggalkan area kebun binatang.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara mesin dan AC yang terdengar. Elara melirik Arsen dari sudut matanya. Rahang Arsen tampak mengeras, tangannya mencengkeram setir lebih erat dari biasanya.

“Nio,” panggil Elara akhirnya.

“Apa.”

“Kamu kenapa sih?” Elara menoleh penuh ke arahnya. “Kamu cemburu sama keponakan sendiri?”

Arsen tidak langsung menjawab. Mobil tetap melaju stabil, tapi genggaman di setir semakin menguat.

“Kalau iya kenapa?” ucap Arsen akhirnya, suaranya rendah. “Kita harusnya menikmati hari ini berdua. Tanpa gangguan anak itu.”

Elara terdiam, sedikit terkejut dengan kejujuran itu.

“Kenapa sih selalu ada aja gangguannya,” lanjut Arsen, nadanya terdengar kesal—bukan marah, tapi tertekan.

Elara menatapnya lebih lama. Ia bisa melihat jelas urat di tangan Arsen yang menegang. Perlahan, Elara mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Arsen yang menganggur.

Sentuhan itu membuat Arsen sedikit terkejut, tapi ia tidak menarik tangannya.

“Maaf ya,” ucap Elara pelan. “Karena aku terlalu fokus sama Rafa, kamu jadi marah begini.”

Arsen tidak menoleh. “Hmmm.”

“Tapi, Nio…” Elara menghela napas kecil. “Aku heran. Masalah sepele gini aja kamu marah. Biasanya juga nggak.”

Arsen akhirnya melirik Elara sekilas. Tatapannya dalam, serius.

“Mungkin sepele buat kamu, El,” ucapnya pelan tapi jelas. “Tapi hari ini aku butuh perhatian seseorang.”

Elara menelan ludah.

“Dan orang itu kamu.”

Kata-kata itu membuat Elara terdiam. Dadanya terasa hangat sekaligus sesak. Tangannya menggenggam tangan Arsen sedikit lebih erat.

Arsen kembali menatap jalan. “I'm not asking for much. Just… today I want you to see me.” (Gue nggak minta banyak. Cuma… hari ini aku pengen kamu lihat aku)

Elara tersenyum kecil, getir. “I see it.” (Aku lihat kok)

“not enough. " (gak cukup)

Mobil kembali sunyi. Tapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda—lebih dekat, lebih berat.

Di kursi belakang, Rafa tertidur pulas, tidak tahu bahwa di kursi depan, dua orang dewasa sedang bergulat dengan perasaan yang mulai tak bisa disembunyikan lagi.

Dan Elara sadar satu hal—

Perasaan Arsen bukan lagi sekadar rasa sayang seorang sahabat kecil.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!