SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: BAYANGAN MASA LALU
Tiga hari berlalu sejak survei di Green Valley. Tiga hari Laura mencoba fokus pada pekerjaan lain, mengalihkan pikirannya dari Julian. Tiga hari yang terasa seperti tiga minggu.
Hari Jumat sore, seperti yang dijanjikan, proposal dari Sentinel Security Services tiba melalui email. Laura membukanya di laptopnya, membaca setiap detail dengan seksama. Profesional, menyeluruh, dan—harus dia akui—sangat impresif. Julian dan timnya benar-benar serius menangani proyek ini.
Tapi yang membuat jantung Laura berdegup lebih cepat adalah kalimat terakhir di email tersebut:
"Mohon konfirmasi penerimaan proposal paling lambat Senin pagi. Jika ada yang perlu didiskusikan, saya available untuk meeting. - Julian Mahardika"
Laura menatap layar laptopnya, jari-jarinya melayang di atas keyboard. Dia seharusnya membalas dengan profesional, singkat. Tapi kata-kata terasa berat di pikirannya.
Akhirnya, dia mengetik:
"Proposal diterima. Akan saya review bersama tim. Terima kasih atas kerja kerasnya. - Laura Christina"
Formal. Aman. Tidak memberi ruang untuk interpretasi lain.
Laura menekan tombol send, lalu bersandar di kursinya. Di luar jendela kantornya, langit Jakarta mulai berubah oranye—pertanda matahari akan segera terbenam.
Ponselnya bergetar. Bukan balasan email, tapi telepon dari Nia.
"Halo?"
"Dinner. Malam ini. Jangan bilang tidak," ujar Nia tanpa basa-basi.
Laura tersenyum tipis. "Nia, aku capek—"
"Justru karena kamu capek, kamu butuh keluar. Aku sudah booking tempat di Sushi Tei Grand Indonesia. Jam tujuh. Jangan terlambat."
Sebelum Laura bisa protes lagi, sambungan terputus.
Laura menggelengkan kepala, tapi senyumnya melebar. Nia memang selalu tahu kapan Laura butuh distraksi.
Restoran Sushi Tei di Grand Indonesia cukup ramai malam itu. Laura tiba tepat waktu, menemukan Nia sudah duduk di meja dekat jendela, melambaikan tangan dengan antusias.
"Kamu kelihatan lebih baik," komentar Nia saat Laura duduk. "Lebih segar daripada terakhir kali kita ketemu."
"Aku baik-baik saja," jawab Laura, mengambil menu.
"Bohong. Tapi aku appreciate usahamu untuk berpura-pura." Nia menyeringai. "Jadi, ada perkembangan dengan si CEO dingin itu?"
Laura menceritakan tentang survei, tentang pertanyaan Julian yang hampir membuatnya mengakui semuanya, tentang proposal yang baru saja dia terima.
"Dan kamu tidak bilang apa-apa?" Nia menatapnya tidak percaya. "Laura, itu kesempatan emas!"
"Untuk apa? Membuatnya merasa canggung? Atau lebih buruk, membuatnya merasa kasihan padaku?" Laura menggeleng. "Tidak, terima kasih."
Nia mendesah panjang. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri."
Percakapan mereka terhenti saat pelayan datang mengambil pesanan. Setelah pelayan pergi, Nia mengubah topik ke kasus hukum yang sedang dia tangani—distraksi yang Laura syukuri.
Tapi di tengah obrolan ringan mereka, Laura melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan.
Di seberang restoran, dekat pintu masuk, Julian baru saja masuk bersama seorang pria lain—pria dengan postur lebih ramping, berkacamata, dengan senyum hangat yang sangat kontras dengan ekspresi datar Julian.
"Laura? Kamu mendengarkan?" Nia mengikuti arah pandang Laura. "Oh."
Julian belum melihat mereka. Dia dan temannya dipandu pelayan ke meja di sudut lain restoran, cukup jauh dari tempat Laura dan Nia duduk.
"Itu dia?" bisik Nia.
Laura hanya mengangguk, tidak bisa mengalihkan pandangan.
"Yang sebelahnya siapa?"
"Tidak tahu."
Tapi Laura ingin tahu. Ada sesuatu tentang cara pria itu berinteraksi dengan Julian—cara dia berbicara dengan ekspresif, cara Julian sesekali tersenyum tipis menanggapi—yang membuat Laura penasaran. Ini pertama kalinya dia melihat Julian terlihat... hampir santai.
Makanan mereka datang, dan Laura memaksa dirinya untuk fokus pada piring di depannya. Tapi matanya terus mencuri pandang ke arah meja Julian.
Sampai sesuatu terjadi yang mengubah segalanya.
Seorang pelayan membawa nampan penuh gelas ke arah meja Julian. Entah karena lantai licin atau pelayan itu kehilangan keseimbangan, nampan itu terjatuh—gelas-gelas pecah berserakan, airnya tumpah ke mana-mana, termasuk ke arah meja Julian.
Julian berdiri dengan cepat, refleks menghindari air yang tumpah. Tapi yang membuat Laura terkejut adalah ekspresinya.
Untuk sesaat—sangat singkat—wajah Julian berubah. Matanya melebar, napasnya tercekat, tubuhnya menegang seperti bersiap untuk bahaya. Bukan reaksi orang normal yang terkejut oleh gelas pecah. Ini reaksi seseorang yang pernah mengalami trauma.
Temannya—pria berkacamata itu—langsung menyentuh lengan Julian, berbicara pelan padanya. Laura tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, tapi efeknya terlihat jelas. Julian perlahan-lahan rileks, menarik napas dalam, dan mengangguk.
Pelayan yang malang itu meminta maaf berkali-kali. Julian mengangkat tangan, mengatakan sesuatu yang membuat pelayan itu terlihat lega.
Tapi Laura melihat—benar-benar melihat—sesaat keretakan di balik topeng dingin Julian. Sesaat di mana pria itu terlihat rapuh, terluka, seperti anak kecil yang ketakutan.
"Laura?" Nia menyentuh tangannya. "Kamu tidak apa-apa? Kamu pucat."
Laura menarik napas. "Aku... aku tidak tahu kenapa dia bereaksi seperti itu."
"Seperti apa?"
"Seperti... seperti dia mengira akan ada bahaya. Seperti PTSD atau semacamnya."
Nia mengernyitkan dahi. "Julian kan mantan tentara, bukan? Mungkin dia memang punya PTSD."
Mantan tentara. Laura tahu itu dari artikel-artikel yang pernah dia baca. Julian pernah bertugas di pasukan khusus sebelum akhirnya keluar dan mendirikan perusahaan keamanannya sendiri. Tapi Laura tidak pernah tahu detailnya. Tidak pernah tahu apa yang terjadi yang membuat Julian keluar dari militer.
Di meja seberang, temannya berhasil menenangkan Julian sepenuhnya. Mereka duduk kembali, melanjutkan makan malam seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi Laura bisa melihat—tangan Julian yang memegang gelas sedikit bergetar.
Tanpa sadar, Laura merasakan dorongan kuat untuk berdiri, berjalan ke sana, dan memastikan Julian baik-baik saja. Dorongan untuk melindungi, untuk memeluk, untuk mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Tapi dia tidak punya hak untuk itu.
"Ayo pulang," ujar Laura tiba-tiba. "Aku kehilangan selera makan."
Nia tidak protes. Mereka membayar dan bergegas keluar.
Di parkiran, sebelum masuk ke mobilnya masing-masing, Nia memeluk Laura erat.
"Dia punya luka, Lau," bisik Nia. "Luka yang dalam. Dan kamu... kamu juga punya luka. Hati-hati, okay? Jangan sampai kalian berdua malah saling melukai."
Laura hanya mengangguk, tenggorokannya tercekat.
Malam itu, di apartemennya, Laura tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan ekspresi Julian tadi. Ketakutan yang sesaat muncul di mata itu. Kerentanan yang Julian coba sembunyikan dengan sekuat tenaga.
Laura membuka laptop, tangannya bergerak hampir otomatis. Dia mulai mencari—artikel, berita, apa saja tentang Julian Mahardika dan masa lalunya di militer.
Yang dia temukan membuatnya terkejut.
"Pasukan Khusus Diserang dalam Operasi Rahasia - 12 Anggota Tewas"
Artikel dari lima tahun lalu. Laura membacanya dengan jantung berdebar.
Julian adalah salah satu dari sedikit yang selamat dari serangan teroris di area operasi rahasia. Dua belas rekannya tewas. Julian sendiri terluka parah dan harus menjalani operasi berkali-kali. Setelah pulih, dia mengajukan pengunduran diri dari militer dan tidak pernah kembali.
Laura menutup laptopnya, air mata mengalir di pipinya.
Sekarang dia mengerti. Mengerti kenapa Julian membangun tembok tinggi di sekitarnya. Kenapa dia terlihat begitu dingin, begitu waspada. Kenapa dia tidak membiarkan siapapun mendekat.
Julian bukan hanya menyimpan luka. Julian hidup dengan luka itu setiap hari.
Dan Laura—Laura yang sudah mencintainya selama sepuluh tahun—merasakan sakit yang tidak tertahankan di dadanya. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Julian. Untuk semua yang pria itu lalui sendirian.
Dia ingin memeluknya. Ingin mengatakan bahwa dia tidak sendirian. Ingin menyembuhkan luka-luka itu dengan cara apapun yang dia bisa.
Tapi bagaimana? Bagaimana kamu menyembuhkan seseorang yang bahkan tidak tahu kamu peduli?
Laura meringkuk di sofa, memeluk bantal, dan membiarkan air matanya mengalir bebas.
Besok dia harus kembali menjadi Laura yang kuat. Tapi malam ini, di kegelapan apartemennya, Laura membiarkan dirinya merasakan semua sakit itu—untuk dirinya, untuk Julian, untuk cinta yang terasa begitu sia-sia.