I Ketut Arjuna Wiwaha — atau Arjun, begitu orang-orang memanggilnya — pernah jatuh dalam perasaan yang salah. Cinta terlarang yang membuatnya kehilangan arah, membuat jiwanya hancur dalam diam.
Namun, saat ia hampir menyerah pada takdir, hadir seorang gadis bernama Saniscara, yang datang bukan hanya membawa senyum, tapi juga warna yang perlahan memperbaiki luka-lukanya.
Tapi apakah Saniscara benar-benar gadis yang tepat untuknya?
Atau justru Arjun yang harus belajar bahwa tidak semua yang indah bisa dimiliki?
Dia yang sempurna untuk diriku yang biasa.
— I Ketut Arjuna Wiwaha
Kisah cinta pemuda-pemudi Bali yang biasa terjadi di masyarakat.
Yuk mampir dulu kesini kalau mau tau tentang para pemuda-pemudi yang mengalami cinta terlarang, bukan soal perbedaan ekonomi tapi perbedaan kasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17.
"Akhirnya selesai juga," ucap Juna yang merapikan bekas alat lukisnya. Lukisan yang tadi mereka buat di pajang di museum ini sementara dan menunggu pengumuman hasilnya.
"Baiklah, kita makan siang dulu ya." Ajak Wayan pada dua remaja itu yang sedang bercerita sambil tertawa akrab di dalam mobil apalagi dia sopirnya. Fiks dia sopirnya!
Bagus!? Dia sekarang jadi obat nyamuk Juna dan meresahkannya dia di kacangi oleh mereka.
-Sabar kadang juga author jadi obat nyamuk temannya - Author.
Rasanya ingin sekali tenggelam di lautan dalam, eh jangan deh nanti author galau.
"Kalian makan aja duluan," ucap Wayan dengan nada dinginnya, Juna dan Sanis kaget dengan sifatnya yang berubah.
Juna tertawa lepas, dengan ucapan kakaknya ini. Sanis kebingungan, kakak adik yang mungkin mengerti maksud dari nada bicara pak Iyan.
"Iya, kita makan. Hayuk!" Ajak Juna yang menarik tangan Sanis yang masih kebingungan. Hanya mereka berdua yang mengerti dan Sanis tidak. Mereka berdua berjalan di mall itu. Seharusnya ia tak makan disini.
"Tenang gue yang traktir, Lo harus menang dan majang karya Lo. Setelah itu balik traktir gue." Juna tertawa diikuti oleh Sanis yang juga tertawa. Tingkah Juna memanah hatinya ini.
"Gue yakin, Lo pasti memajang karya Lo disini." bisik Juna dengan meraih tangan Sanis dan menggenggam hangat, membuat pipi Sanis merona. Sanis tersenyum membalas senyuman dari Juna. Jantungnya seperti ingin lari dari tempatnya.
"Makasih Juna, tanpa Lo gue gak bisa apa-..."
"Sttt..." Juna menarik tangan Sanis dan menjatuhkan gadis itu di dada bidangnya. Juna memeluk tubuh gadis manisnya ini, merasakan kehangatan setiap bersama dengannya. Dan ia tak tau rasa apa yang ia rasakan, masih tidak mengerti.
Dari jauh tampak dua sejoli yang tertawa memperhatikan dua remaja sedang berpelukan.
"Aku mengingat sesuatu, yang indah." Pria itu tersenyum manis, hingga lesung pipinya di sisi kanannya terlihat, dia tau jika gadisnya ini sangat menyukai lesung pipinya hingga gadis ini merona dari dulu sampai sekarang.
"Hmm, Iyan sepertinya kita harus nyamperin mereka." Wayan tertawa karena wajah Agni semakin cantik dengan ronanya. Gadis itu tumbuh menjadi wanita yang dewasa.
"Ayolah Yu, sepertinya aku ingat sesuatu." ucap Wayan yang berusaha mengingatkan sesuatu padanya. Memeluk pinggang gadisnya ini. Agni merasa risih dengan pelukan dari tangan kekar pria ini.
"Sudahlah, hentikan banyak yang lihat." ketus Agni pada Wayan yang berhasil lepas dan berjalan cepat menuju dua remaja itu.
"Juna, banyak yang nonton." Sanis mendorong dada bidang cowok itu, rasanya ingin lama-lama disana tapi nanti dia kepedean.
"Tapi enakan?" tanya Juna dengan wajah konyolnya itu, dan tidak digubris oleh Sanis. Yasudahlah ia harus menurut sekarang karena perutnya keroncongan.
Juna berjalan ke kedai yang khusus menjual makanan disana. Mereka memilih tempat duduk di dekat kaca bening dengan balkon mall dan pemandangan kota Gianyar.
"Handphone gue mana ya?" tanya Sanis yang merogoh tasnya itu.
"Bli Yan kan yang bawa. Bukannya tadi pas yang angkat telepon." Sanis teringat lagi kalau tadi pak Iyan yang mengangkat telepon dari kak Raspati.
"Yaudah deh, Lo udah kasik tau dia kan kalau kita disini?" tanya Sanis pada Juna yang mengangguk mengiyakan saja tidak menjawabnya. Sania jadi kesal kan ya, lebih baik dia makan dulu.
"Bagus! Bagus! Nggak ngajak-ngajak." ucap seorang cowok yang tiba-tiba datang bersama dengan seorang gadis yang sepertinya mereka kenal.
"Krispatih? Ara?" kompak Sanis dan Juna kaget melihat mereka berdua disini juga.
"Kalian ngapain?" tanya Sanis pada kedua temannya itu, Ara hanya diam membisu dan mencengkeram erat lengan kekar cowok di sebelahnya.
"Hmm, kita cuma jalan." jawab Kris dan berpamitan lalu melenggang pergi dari sana. Hal itu membuat Juna dan Sanis kebingungan.
"Mereka emang biasa jalan bareng?" tanya Juna pada Sanis yang masih bingung dengan sikap Ara padanya.
"Gue gak tau akhir-akhir ini gue sama Ara agak renggang." jawab Sanis pada Juna yang hanya mengangguk tapi ia tak paham.
"Sanis? Juna?" Dua orang ini mengejutkan mereka yang sedang berbincang hangat di kedai itu.
"Pak Iyan? Bu.. Bu Agni?" Sanis bingung dengan apa yang ia lihat, ternyata gosip di sekolah ada benarnya juga. Apa pak Iyan adalah pemuja rahasia Bu Agni?
"Ini handphone kamu." ucap Wayan yang mengembalikan handphone milik Sanis.
Tak lama mereka berbincang hangat, handphone Sanis berbunyi ternyata dari Kakaknya Luna.
.....................
Dengan cepat Sanis berlari di lorong rumah sakit disini, menuju ruangan bundanya rasa rindunya tak bisa di tahan lagi setelah sekian lama ia menahan rasa untuk mendapatkan kasik sayang seorang ibu lagi.
"Bunda harus bangun demi aku, kak Ras dan juga Dita."
"Kak Luna, dimana Bunda?" tanya Sanis pada wanita yang kini memeluknya.
"Selamat Sanis, bunda sudah pulih tapi kita harus menunggu sampai dokter mengatakan kita boleh melihat Bunda." jelas kakak Luna.
"Lalu dimana Dita? Dan Kak Ras?" tanya Sanis pada kakaknya itu.
"Kak Ras dia kayaknya ketemu pasien dan kalau Dita dia lagi ikut ujian. Jadi kakak tadi juga minta dia jangan khawatir tentang bunda dan fokus pada tujuannya terlebih dahulu." jelas Luna pada gadis itu yang mengangguk sambil tersenyum.
........................
Juna menemani Sanis di taman rumah sakit, mereka duduk di bangku taman dan memperhatikan sekitarnya. Entah kenapa Sanis merasa gelisah disana. Segera Juna menenangkan hatinya, ia tak tau ada apa dengan Sanis, tapi Juna tau apa yang dirasakannya.
"Jun, rasanya banyak sekali aura aneh disini. Akhir-akhir ini gue ngerasa aneh sama diri sendiri dan disini gue ....-" nafas Sanis tersengal-sengal. Juna membawanya keluar dari taman dan bertemu dengan kakaknya Raspati.
"Hmm, Juna kamu ajak dia makan dulu." ucapnya pada Juna dan Sanis ingin menolak.
"Sanis, kamu makan dulu sama Juna ya." Raspati mengusap pucuk kepalanya lalu berlalu dan bicara pada Bu kantin disana.
"Udahlah Nis, kak Ras percayai Lo sama gue jadi ya, nurut sama gue." Juna mengajak Sanis duduk. Gadis itu hanya diam dan tidak berkutik lagi, mungkin karena aura rumah sakit ini.
"Ini rumah sakit, ya wajar aja Lo ngerasa aneh." ujar Juna padanya, jujur Juna juga merasa aneh dengan rumah sakit. Apalagi menjelang malam hari.
"Lo tau?" tanya Sanis pada Juna yang menganggukkan kepalanya.
"Pasti Wisnu," Juna menyengir kuda, Sanis hanya menggelengkan kepalanya ia tak punya tenaga mengeluarkan wajah kesalnya lagi.
"Lagi pula, gue juga harus tau Nis. Supaya gue bisa tau apa masalah Lo dan gue juga bisa nolong juga." Sanis menatap mata Juna yang terlihat serius dan tak ada kebohongan disana. Juna terlihat salah tingkah ketika mendapatkan tatapan instens dari gadis ini.
"Bagaimana bunda Lo?" tanya Juna yang mengalihkan pembicaraan pada Sanis yang tersadar dengan lamunannya
"Baik-baik saja kata kak Luna kita tunggu kabar dari dokter, gue harap bunda bangun untuk kak Ras, gue dan Dita." Juna mengangguk setuju padanya. Juna salut pada Sanis ia sangat tenang saja, bahkan Juna tak tau masalah Sanis saat itu.
"Gue pengen tau tentang Lo boleh gak?" tanya Juna tiba-tiba membuat Sanis tertegun mendengarnya. Tidak ada salahnya jika ia memberi tau Juna, tiba-tiba saja hatinya mendorong nya untuk menceritakannya.
Sanis menganggukan kepalanya setuju dan mulai menceritakan tentang dirinya lagi pada Juna. Walaupun mereka pertama kali bertemu pernah menceritakannya tapi apa salahnya jika kita memiliki kepercayaan terhadap sahabat kita.
"Dan lo tau bunda sangat sayang sama gue, sebelum ada bencana datang di keluarga kita. Semuanya masih baik-baik saja, sehingga Dita juga lahir dan saat umur 7 tahun. Entah kenapa gue merasa aneh dengan bunda...-"
"Aneh dalam hal apa?"
"Iya aneh, bunda selalu saja keluar rumah di jam malam, entahlah gue gak tau. Tapi dia seperti ada yang menariknya keluar rumah. Itu terjadi setiap hari .....-" Juna mendengarkannya dengan seksama.
"Sampai suatu saat bunda bertengkar hebat dengan ayah, gue tidak tau waktu itu masalah apa, karena gue masih belum paham apa-apa." Juna menganggukan kepalanya mengerti, keadaan Sanis sangat memprihatinkan karena ibunya terpaksa meninggalkan mereka.
"Dan saat itulah bunda ninggalin gue, ayah dan juga Dita dengan seorang ibu tiri, satu anak perempuannya yaitu kak Luna. Gue gak tau kemana Bunda pergi, dan gue juga gak tau kalau bunda juga ketemu kak Ras dan menikah dengan ayahnya." Jelasnya lagi pada Juna dengan wajah yang muram dan murung. Walaupun begitu ia tak melihat setitik air mata dari mata cantiknya itu. Sanis sekuat itu ?
"Dan nenek selalu bilang kalau ibu tiri gue punya niat jahat dengan keluarga kita. Lo tau kak Luna dulu sangat polos ketika bertemu dengan gue dan Dita, ternyata ia juga punya niat jahat kita berdua. Sekarang ini kak Luna memang baik tapi dengan caranya itu kak Luna bisa melepaskan kita dari ibunya." Sanis bercerita tentang dirinya kepada Juna.
Bagaimana ia bisa mempercayai cowok ini, sudah lebih dua jam ia bercerita tentang dirinya dan juga keluarganya. Sanis hanya mengikuti kata hatinya untuk percaya kepada temannya itu.
Sanis segera bertemu dengan ibunya yang masih terlelap dalam tidurnya, Sanis selalu berdoa agar mendapatkan kembali pelukan hangat dari bundanya.
"Ya Sanis, Lo bebas deketin Juna bahkan merenggutnya dari gue. Maka Lo akan tau akibatnya." sepasang mata mengintai mereka berdua dan tersenyum licik. Ada rencana apa sebenarnya ?
Juna berjalan di lorong rumah sakit dan melihat dua orang yang ia kenal disana, tapi Juna ragu karena ia tak membawa kacamatanya.
.
.
.
.
.