Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 35 ~ Semua tentang bibit bebet bobot
Sekar sudah mengganti pakaiannya. Dan amih Mayang meminta mereka berkumpul di pendopo tamu untuk malam terakhir sebab mereka pulang esok hari.
Sekar menghampiri, dimana nyai Mirah sudah memasukan saweran milik Sekar di dalam satu amplop coklat, "Kar, ini saweran punyamu." ia mengangsurkan itu di atas lantai parket kayu.
"Cieeee! Sekar, yang sawerannya paling gede uyyy..." begitu kiranya keseruan dan keriuhan mereka disana, "besok mah, saya juga mau jadi ronggeng aja lah!"
"Masa ronggeng ada jakunnya!"
"Ronggeng ngga punya payu dara...langsung di lepeh menak yang kaya gini mah!" mereka berkelakar dan tertawa lepas bersama celotehan receh ciri khas rakyat kecil.
"Bisa mungkin ya, traktiran es duren, Kar..."
Mereka tertawa bersama Sekar.
Sari kembali bersuara, "lelaki matre. Saya tandain lelaki kaya kang Wahyu, ngga mau yang begitu ....modal nekat aja!"
"Hayuuu atuh lawan kang, si Ai..." dorong kang Enjang, mengompori perdebatan Sari dan kang Wahyu.
"Gegabah Ai kalo ngomong...gini-gini akang mah setia..."
"Setia ya kang, setiap tikungan ada .." jawab Sekar diserui yang lain, "dua lawan satu, sok lawan Yu..."
"Ngga takut saya mah, kalian maju saya mundur!" jawab kang Wahyu, mereka kembali tertawa lepas lagi
Pretttt! Cemen! Mereka kembali tertawa.
"Si Ai teh siapa pacarnya?!" tanya Wahyu, lalu Kang Andi nyeletuk, "si Engkos..." dan Sari mengejarnya, "amit-amit ih, pacar Ai mah orang ganteng...."
Amih Mahiswar berjalan ke arah pendopo tamu demi memberikan barang Sekar yang sempat tertinggal di kamarnya tadi, namun langkahnya terhenti saat melihat Amar yang sedang memperhatikan Sekar dari kejauhan sambil mengumbar kekehan kecilnya ikut hanyut dengan obrolan dan candaan mereka disana.
"Kenapa ngga disamperin? Takut ganggu ya?" Amar menoleh diantara tangan yang telah bersidekap.
"Iya." Jawabnya singkat. Tak seperti biasanya yang akan nyeroscos, amih Mahiswar menyadari perubahan itu, "kasih Sekar waktu, amih tau kalo perasaan den Amar tidak bertepuk sebelah tangan..." ia telah mengusap-usap punggung Amar.
Lalu masih disana, Amar tak bicara apapun, hanya memperhatikan gadis itu yang kini sudah membuka amplop miliknya. Dan yang mengejutkan adalah ...
Sekar menarik setengah saweran miliknya, lalu membaginya rata, pada kang Enjang, nyai Mirah, amih Mayang, pemain gamelan dan 6 penari lainnya.
Seketika mereka langsung terdiam.
"Eh Kar, saya mah bercanda aja tadi.....jangan atuh, biarin. Saya udah dapet tadi dari nyai ayu..." tolak kang Wahyu, namun Sekar menggeleng, "bukan buat kang Wahyu, buat si dede beli coklat payung." jawab Sekar begitu enteng, seolah ia sudah kaya raya saja.
"Awas kang, jangan dibeliin rokok...buat anak akang dari Sekar itu!" sewot Sari.
"Saweran kamu ngga mau dibagiin, Ai?" tanya kang Andi membuat Sari mendekap amplop putih kecil, "udah diambil komisi amih sama nyai tadi. Kalo dibagiin saya cuma dapet ucapan makasih doang sama pinggang pegel. Sekar mah enak, sawerannya segepok."
"Kar, ini uang kamu...kenapa harus dibagikan begini? Kamu yakin?" tanya amih Mayang dan Nyai Mirah, tentu saja Sekar mengangguk, "kalau tidak ada amih, dan yang lain, saya tidak mungkin dapat uang. Lagipula ini cuma separuh, yang separuh ini buat Sekar, amih."
Lalu kang Wahyu berdiri dan dalam satu gerakan kilat ia menggendong Sekar usil hingga membuat Sekar menjerit-jerit sambil tertawa.
"Sekar memang rakyat kecil, tapi hatinya besar...." lirih Mahiswar menatap kagum Sekar.
Amar menoleh, "amih sudah tau kan, alasannya kenapa saya mau Sekar? Pendidikannya tidak setinggi saya, atau kang Reksa atau mungkin calon calon yang sudah disiapkan bunda, tapi akhlak dan moral serta pemikirannya itu lebih berpendidikan dari siapapun."
Amar melintas tanpa permisi dan melewati keluarganya begitu saja, sepulangnya dari pendopo tamu.
"Masih memperhatikan gadis ronggeng itu?" tanya bunda, membuat Andayani menoleh bersama Wardana, Somantri yang melintas dari kamar untuk keluar hanya bisa diam. Sementara Bahureksa sudah berdiam diri di kamar sejak selesainya acara. Anarawati turut berdehem tak nyaman dengan ocehan yang dimulai oleh Jembar.
Ayahanda duduk sambil menyesap kopi dan rokoknya melirik sekilas Amar tanpa bicara apapun.
"Namanya Sekar..." ucap Amar.
"Kalau kau mau memilikinya, kau bisa minta dia jadi selirmu, Amar...sederhana saja, tidak usah dipersulit." kini ayahanda yang berbicara. Amar kini menatap ayahnya dengan kernyitan, "selir? Ayahanda menyuruhku berpoli gami? Aku rasa ayahanda cukup tau jika aku menolak terang-terangan masalah ini, bahkan jauh sebelum mengenal Sekar."
*Brakkk*! Ayahanda menggebrak meja di depannya, membuat semua terkejut termasuk Anarawati yang menegur sang suami, "kang!"
Ia bahkan membawa Andayani yang mulai ketakutan bersama Wardana yang memilih pergi.
"Selalu begini jika ada sesuatu yang tak sepaham! Bisa kan duduk bersama dengan kepala dingin?! Jangan di depan anak-anak." Anarawati mengeluarkan taringnya, menurunkan kacamata bacanya lalu pergi dari ruang keluarga kaputren bersama Wardana dan Andayani.
"Lihatlah betapa bobroknya kami...seharusnya kita ribut itu tadi saat menak Cokrosworo ada disini, biar tau sampai ke borok-boroknya, jangan cuma baik-baiknya saja..." kini kekeh Amar tengil, merasa ditantang oleh putranya sendiri, ayahanda menghampirinya dan menamparnya, "aku tidak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi anak kurang ajar, Amar..."
Amar mengangguk, "iya benar. Ayahanda dan ibunda tidak pernah mengajarkan aku menjadi anak durhaka. Tidak pernah mengajarkan kekurang ajaran terhadap apapun, makanya aku menentang aturan yang kurasa sudah diluar batas wajar....ayahanda dan ibunda mengajarkanku kasih sayang, sehingga aku tumbuh dengan tidak membeda-bedakan kasta seseorang dan lainnya." Jeda Amar.
"Tapi sekarang, saat aku sudah begitu paham dan fasih mengimplementasikan ajaran itu di kehidupanku, kenapa bunda dan ayahanda seolah mematahkan prinsip dan keyakinan ku, itu ajaranmu ayah?"
Jembar kembali bicara, "bunda memberimu kemudahan. Silahkan kamu memilikinya....bahkan, ia tetap bisa melakukan apa yang ia mau, asal tidak melarang apa yang sudah menjadi *tata titi* disini. Kamu tau, ada tanggung jawab yang harus kamu emban sebagai seorang menak dan pemimpin, termasuk puluhan bahkan ribuan perut yang harus kamu pikirkan nasibnya..."
"Lantas salahnya Sekar dimana?! Apakah keluarga keraton akan langsung jatuh miskin, saat aku memilihnya? Apa karena ia hanya rakyat kecil jadi image keraton akan ternodai? Bunda bisa bersikap begitu? Lalu apa artinya kedermawanan yang selalu bunda elu-elukan di depan masyarakat? Kalau aku hanya mau Sekar untuk menjadi pendampingku satu-satunya, dimana letak kelirunya?!"
"Disitu letak kelirunya." Tukas ibunda mulai terpancing emosi, "bibit, bebet, bobot....karena yang akan menjadi pendamping sahmu itu akan menjadi pemimpin nantinya, akan menjadi suri teladan untuk masyarakat luas, harus memiliki pribadi yang pintar, berpendidikan dan memiliki latar belakang baik. Bagaimana pandangan masyarakat, jika kenyataannya seorang pendamping sah priyai nyatanya hanya seorang penghibur yang mungkin saja sudah tersentuh atau----"
"Cukup, ceuceu....kata-katamu itu menyakitiku..." bukan Anarawati, namun Mahiswar yang kini bicara dan sudah bergabung sejak tadi, "aku juga seseorang dari dunia yang sama dengan Sekar. Apa maksudmu, aku pun tak pantas?"
"Mahiswar, masuk ke dalam kamar, nyai..." pinta ayahanda. Namun pandangan Mahiswar begitu sinis menatap wajah sang suami dan untuk kali ini ia menolak perintah itu, "apa begitu pikiran kalian selama ini? Apakah kami...tidak boleh bermimpi? Tidak ada wanita yang mau dimadu. Sekar, gadis itu memiliki prinsip yang bagus...dan aku sadar....aku iri pada prinsipnya yang ingin memperjuangkan kebahagiaannya, dia bisa menolak ajakan Bahureksa mentah-mentah!"
"Aku tanya padamu kang, apa aku tampak hina begitu di matamu? Lalu untuk apa kau nikahi aku seorang yang hina dan tak memiliki da rah biru sepertimu dan ceuceu Kasih? Apakah Somantri dan Wardana juga memiliki da rah kotor?!"
"Bukan begitu, Mahiswar..."
Mahiswar sudah berbalik badan dan melangkah cepat ke arah kamarnya.
"Puas kamu?!"
"Ibunda mau, setelah pernikahan kakangmu Reksa, maka bunda dan ayahanda akan mengenalkan mu juga ..."
"Silahkan." Jawab Amar, "tapi aku tak janji akan berulah."
Malam itu, suasana kaputren benar-benar kacau tidak sehangat biasanya.
.
.
.
.
kisah kita sama cuma bedanya bukan ningrat dan ronggeng .
kita sama2 dari kalangan bawah.