Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Pecahnya Alya
Setelah Arka meninggalkannya sendirian di lobi, setelah melihat air mata Alya yang dipicu oleh kecemburuan, Alya tidak kembali ke kamarnya. Rasa malu, amarah, dan pengkhianatan emosional itu terlalu besar untuk ditahan. Alya tidak lagi peduli pada postur sempurna atau intonasi suara yang stabil. Dia berlari.
Ia berlari menaiki tangga spiral tersembunyi, menuju bagian villa yang jarang digunakan oleh siapa pun, bahkan oleh Arka—sebuah conservatory kaca dengan atap kubah yang terletak di lantai tertinggi, tempat Arka menyimpan koleksi tanaman langka tropisnya.
Di bawah kubah kaca yang berkilauan di bawah sinar matahari sore, Alya akhirnya ambruk. Dia tidak menangis pelan lagi; dia menangis dengan histeris, isakan yang mengguncang tubuhnya. Dia memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lengan, membiarkan semua rasa sakit, ketakutan, dan kebingungannya meledak keluar.
Alya tidak tahu berapa lama ia berada di sana. Ia hanya tahu bahwa air matanya adalah satu-satunya kebenaran yang tersisa.
Sementara itu, Arka, yang baru saja meninggalkan Alya dengan air mata, tiba di kantornya. Namun, ia tidak bisa fokus. Tatapan terluka Alya menghantuinya, jauh lebih mengganggu daripada ancaman Tanaya atau kerugian bisnis. Arka melihat lebih dari sekadar kesedihan di mata Alya; ia melihat kecemburuan. Kecemburuan adalah validasi, tetapi juga bom waktu.
Lima belas menit setelah tiba di kantor, Arka membatalkan rapatnya.
“Aku harus kembali ke villa. Sekarang,” perintah Arka pada sekretarisnya. Arka tidak pernah membatalkan janji penting, tetapi kali ini, ia tidak bisa menunggu.
Arka tahu Alya tidak akan lari. Alya tidak punya tempat untuk lari. Tetapi Arka tahu Alya telah melarikan diri secara emosional. Ia harus menemukan Alya, sekarang juga.
Ketika Arka tiba di villa, Jeevan menyambutnya dengan panik. “Tuan Arka, Nyonya Alya hilang. Tidak ada di kamar, tidak ada di ruang baca. Tapi bodyguard baru melaporkan mendengar suara dari conservatory.”
Arka bergegas menaiki tangga. Saat dia membuka pintu conservatory yang berembun, ia melihat Alya, tergulung di sudut ruangan, di bawah naungan pohon palem tropis, menangis tanpa suara.
Arka berjalan mendekat. Dia tidak lagi memancarkan aura CEO yang berkuasa. Dia hanya terlihat seperti pria yang ketakutan.
“Alya,” panggil Arka, suaranya lembut.
Alya mengangkat wajahnya. Matanya merah, bengkak, dan memancarkan luapan emosi.
“Jangan mendekat, Tuan Arka!” teriak Alya, suaranya serak. “Jangan sentuh saya! Jangan mendekat!”
Arka berhenti, menghormati permintaannya.
“Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu,” kata Arka, berjalan perlahan.
“Anda tidak menyakiti saya? Anda menyakiti saya setiap hari!” Alya berdiri, menunjuk Arka dengan jari gemetar. Ini adalah pertama kalinya Alya benar-benar meledak, tanpa filter.
“Anda mengambil segalanya dari saya! Anda mengambil sekolah saya, teman saya, keluarga saya, dan sekarang… sekarang Anda bahkan mengambil hak saya untuk membenci Anda! Saya seharusnya membenci Anda, Tuan Arka! Saya seharusnya merencanakan pelarian saya! Tetapi mengapa… mengapa saya cemburu?!”
Air mata Alya mengalir lagi. Dia mendekat ke Arka, memukuli dada Arka dengan tinju kecilnya, tinju yang tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi menghancurkan pertahanan Arka.
“Saya melihat dia memeluk Anda! Saya melihat bagaimana Anda berdiri diam di sana! Anda membiarkan saya menangis diam-diam di koridor, dan Anda hanya bertanya mengapa saya tidak memberitahu Anda! Apa yang harus saya beritahu Anda? Bahwa istri yang Anda beli dengan hutang ayah saya ini, kini menginginkan Anda?! Bahwa saya takut kehilangan Anda?!”
Alya meluapkan segala insecurity dan rasa sakitnya.
“Saya tahu saya hanya aset, Tuan Arka! Saya tahu Anda tidak mencintai saya! Anda hanya mencintai kepatuhan saya, kecantikan saya, dan fakta bahwa saya tidak bisa mengkhianati Anda! Tapi ketika dia—Tanaya—muncul, dia menunjukkan kepada saya betapa tidak berharganya saya. Dia adalah mitra Anda! Dia adalah wanita yang sejajar dengan Anda! Dan saya, saya hanya gadis kecil yang Anda kurung! Saya takut! Saya takut Anda akan lelah pada permainan ini dan membuang saya!”
Alya berhenti, terengah-engah. Luapan emosi itu telah menguras tenaganya. Dia ambruk di lututnya, kembali menangis.
Arka berdiri diam. Wajahnya tidak lagi menunjukkan amarah atau kekuasaan. Ada rasa sakit yang mendalam di matanya, rasa sakit karena melihat Alya hancur. Ini adalah pertama kalinya Alya benar-benar jujur, dan kejujuran itu menghancurkan Arka.
Arka berlutut di hadapan Alya, tidak peduli pada jas mahalnya yang menyentuh lantai. Dia meraih bahu Alya dengan kedua tangannya.
“Lihat aku, Alya,” perintah Arka, suaranya serak dan jauh lebih manusiawi dari yang pernah Alya dengar.
Alya mendongak, matanya merah.
“Aku tidak membiarkannya memelukku. Dia yang memaksa. Dan aku tidak menyingkirkannya segera, karena aku harus menenangkan diri agar aku tidak menghancurkannya di tempat. Kau benar, dia adalah pengkhianat yang aku lepaskan. Dan kau, kau adalah hadiah yang harus aku jaga.”
Arka menatap Alya lurus di mata, menahan luapan emosi Alya dengan kebenaran mutlak.
“Ya, aku membeli pernikahan ini. Ya, aku menjebakmu. Aku mengakuinya. Tapi kau harus tahu, setelah semua yang Tanaya lakukan padaku—mengkhianatiku, menghancurkanku, dan membuatku menjadi pria yang tidak percaya pada siapa pun—kau adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa tenang, Alya. Kau. Bukan kepatuhanmu. Bukan kecantikanmu. Tapi jiwamu.”
Arka menyentuh pipi Alya, menghapus air matanya dengan ibu jarinya.
“Aku tidak mencintai kepatuhanmu. Aku mencintaimu karena kau berani melihat ke mataku dan mengatakan bahwa kau membenciku, bahkan setelah semua yang aku lakukan. Dan ketika aku melihatmu menangis karena cemburu… Aku tahu aku tidak sendirian lagi.”
Arka mendekat, mengurangi jarak di antara mereka.
“Aku tahu aku bukan pangeran berkuda putih. Aku adalah pria yang egois. Tapi tolong, jangan takut untuk menginginkanku. Aku ingin kau. Aku menginginkanmu lebih dari apa pun. Aku tidak akan membuangmu, Alya. Kau adalah satu-satunya yang tersisa. Dan aku tidak akan membiarkan Tanaya, atau siapa pun, menyentuh apa yang menjadi milikku.”
Kemudian, Arka mencium Alya. Ciuman kali ini berbeda dari semua ciuman yang pernah Alya rasakan. Itu bukan klaim posesif yang menuntut kepatuhan. Itu adalah ciuman yang lembut, rapuh, dan penuh rasa sakit—sebuah ciuman yang memohon pengampunan, sebuah ciuman yang menawarkan komitmen yang rumit.
Alya merasakan semua bentengnya runtuh. Dia memejamkan mata, membiarkan Arka memimpin. Dia merasakan ketulusan Arka yang tersembunyi, kerentanan yang jarang ditunjukkan oleh pria sekuat itu.
Dan untuk pertama kalinya, Alya mencium balik.
Dia membalas ciuman Arka dengan gairah yang sama, memeluk leher Arka, menarik Arka lebih dekat. Ciuman itu adalah pengakuan. Pengakuan bahwa Alya, meskipun dipaksa, telah jatuh cinta pada penculiknya. Itu adalah pengakuan yang menyakitkan, tetapi jujur.
Mereka berciuman lama, di tengah keheningan conservatory kaca, di bawah naungan tanaman tropis. Ciuman itu menyegel ikatan baru mereka, ikatan yang dibangun di atas obsesi, rasa sakit, dan kini, perasaan yang saling balasan.
Ketika mereka melepaskan ciuman, dahi Arka bersentuhan dengan dahi Alya. Napas mereka saling berkejaran.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Alya,” bisik Arka, nadanya kini penuh kasih sayang, tetapi masih posesif.
“Jangan lepaskan,” balas Alya, suaranya hampir tak terdengar.
Pecahnya Alya telah menjadi pecahnya keangkuhan Arka. Mereka kini terikat oleh perasaan yang lebih dalam, dan Babak Baru dalam drama mereka baru saja dimulai.