Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 — Anak yang Menunggu
Perjalanan yang menyiksa itu berakhir menjelang senja. SUV hitam legam yang dikendarai Kai, dengan kaca gelap yang mencolok, berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana namun terawat baik, dikelilingi oleh halaman hijau yang asri dan udara yang sejuk. Kontras antara mobil mewah Dion dan kesederhanaan desa itu terasa begitu menohok.
Aira merasakan jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, tetapi karena ketakutan. Dion ada di belakangnya, siap mengklaim wilayahnya.
Begitu pintu mobil terbuka, Aira segera keluar. Arvan, yang sudah terbangun dan mendengar suara-suara familiar, sudah berdiri di ambang pintu, wajahnya yang pucat kini bersinar penuh kegembiraan.
“Mama!”
Arvan berlari sekencang mungkin, lupakan sejenak rasa sakitnya. Aira menjatuhkan dirinya, menyambut pelukan erat putranya. Kehangatan tubuh Arvan yang kini terasa lebih baik segera meredakan separuh kecemasan Aira.
“Mama di sini, Sayang. Mama di sini,” bisik Aira, air matanya menetes. Ia mencium Arvan berkali-kali, menghirup aroma desa yang selalu ia rindukan.
Di belakang Aira, pintu mobil terbuka. Dion Arganata keluar dari mobil, sosoknya yang tinggi dan berwibawa tampak asing di lanskap pedesaan yang damai. Ia mengenakan celana panjang khaki dan kaus polo sederhana—sebuah upaya untuk menyamarkan diri yang gagal total. Aura kekuasaan yang ia bawa tak mungkin disembunyikan.
Seorang wanita paruh baya, dengan wajah yang penuh kasih sayang dan kelelahan, keluar dari rumah. Itu adalah Ibu Aira, Nyonya Siti.
“Aira! Kenapa lama sekali, Nak? Siapa ini? Dan kenapa ada mobil hitam besar di depan rumah kita?” tanya Nyonya Siti, matanya yang tajam segera menyadari ada yang tidak biasa.
Aira bangkit, buru-buru menutupi Arvan dengan tubuhnya, seolah-olah ia adalah tameng.
“Ibu, kenalkan. Ini… ini suami saya, Dion Arganata,” kata Aira, suaranya terasa dipaksakan. Ia tidak memberikan Dion kesempatan untuk berbicara. “Dion, ini Ibu saya.”
Dion, yang terkejut karena diperkenalkan secepat itu, membungkuk sedikit, sebuah isyarat penghormatan yang sangat tidak biasa bagi seorang CEO. “Senang bertemu dengan Anda, Bu.”
Nyonya Siti menatap Dion dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya penuh kecurigaan.
“Suami? Tuan yang tampan, kau tidak terlihat seperti suami yang baik, Nak. Kenapa anakku terlihat sangat menderita?” Nyonya Siti bertanya terus terang.
Dion tersenyum kecil, senyum diplomatik yang menawan. “Kami baru menikah, Bu. Ada sedikit masalah penyesuaian. Tapi saya berjanji, saya akan menjaganya dengan baik.”
Nyonya Siti mengangguk, tidak sepenuhnya puas, tetapi menghargai kejujuran yang tersirat dalam nada bicara Dion.
Sementara ketegangan itu berlangsung, Arvan memberanikan diri.
Anak itu menyingkir dari balik punggung Ibunya dan menatap Dion. Matanya, yang identik dengan Dion, dipenuhi rasa ingin tahu.
“Tuan Dion!” seru Arvan, teringat pada pria yang mengajarinya aturan puzzle.
Dion tersentak. Ia menatap Arvan. Ekspresi Dion adalah campuran antara kebingungan, amarah yang terpendam, dan tarikan naluriah yang tak bisa ia hindari. Ia melihat wajah mungil itu, kemiripan yang tak terbantahkan, dan ia merasakan kemarahan baru kepada Aira yang telah menyembunyikan keajaiban ini.
“Arvan, tidak sopan,” tegur Aira, mencoba menarik Arvan ke belakangnya.
Tetapi Arvan sudah melangkah maju, tangannya mengulur. “Tuan Dion ikut Arvan?”
Dion berlutut. Gerakan itu lambat, canggung, tetapi entah bagaimana, alami. Ia menatap Arvan dari dekat. Ia melihat detail kecil yang luput dari perhatiannya di penthouse: garis hidung yang kokoh, lekuk telinga, bahkan caranya mengerutkan kening saat bicara. Itu semua adalah refleksinya.
“Aku ikut,” kata Dion, suaranya dalam dan pelan. “Aku ingin tahu, apakah lingkungan ini yang membuatmu pulih?”
Aira harus bertindak cepat. Ia tahu, Nyonya Siti sedang mengawasi, dan ia harus menyembunyikan kebenaran bahwa Dion adalah Ayah kandung Arvan.
Aira memaksakan senyum ceria. “Ibu, ini… ini Arvan. Anak keponakan saya. Anak dari sepupu jauh. Dia terbiasa memanggil Tuan Dion dengan panggilan ‘Tuan’ karena dia adalah atasanku di perusahaan. Tuan Dion sangat baik, jadi dia diajak ikut.”
Aira memberikan tatapan tajam yang memohon kepada Dion: Tolong, ikuti permainanku.
Dion, yang masih berlutut di hadapan putranya, merasakan kebencian yang kuat terhadap kebohongan baru Aira. Anak keponakan? Dion harus menahan dorongan untuk berdiri, menarik Aira, dan berteriak bahwa anak ini adalah darahnya.
Namun, demi menjaga sandiwara di depan Nyonya Siti, Dion menerima peran itu.
“Ya,” kata Dion, suaranya kaku. “Aku… atasannya Aira. Dan aku juga senang melihat anak ini pulih. Dia anak yang baik, dan kami punya banyak hal untuk dipelajari.”
Dion tersenyum kecil pada Arvan, senyum yang nyaris tulus. “Senang melihatmu, Arvan. Pastikan kau beristirahat.”
Nyonya Siti, yang selama ini mengamati interaksi itu, melangkah mendekat.
“Anak keponakan,” ulang Nyonya Siti, masih curiga. “Tapi wajahnya… wajah anak ini, seperti pernah saya lihat di suatu tempat.”
Aira merasakan darahnya membeku. Nyonya Siti pasti ingat kemiripan Arvan dengan almarhum suaminya, ayah Dion, yang fotonya pernah terpampang di koran bertahun-tahun lalu. Atau, mungkinkah Nyonya Siti mengenali kemiripan dengan Dion?
Dion berdiri, sosoknya menjulang tinggi. Ia berdiri di antara Aira dan Nyonya Siti, mengalihkan perhatian dari Arvan.
“Mungkin dia terlihat mirip dengan salah satu karyawan di perusahaanku, Bu,” sela Dion, dengan cepat dan tegas. “Keturunan. Saya punya banyak karyawan. Kami datang jauh-jauh, Bu. Bolehkah kami masuk? Anak ini butuh istirahat.”
Nyonya Siti, yang terintimidasi oleh aura Dion yang mendominasi, akhirnya mengalah.
“Tentu saja, Nak. Mari, mari masuk. Maaf, rumah kami sederhana,” kata Nyonya Siti, memimpin jalan.
Aira menghela napas lega, tetapi hanya sebentar. Ia tahu, pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai. Dion kini berada di dalam sarangnya.
Rumah itu kecil, tetapi bersih dan nyaman. Dion, yang terbiasa dengan lantai marmer dan langit-langit tinggi, harus menundukkan kepalanya saat melewati ambang pintu. Aira segera membawa Arvan ke kamar tidurnya yang kecil, tempat tidur kayu sederhana, dan membaringkannya. Arvan segera tertidur.
Dion mengikuti Aira ke dalam kamar.
“Lihatlah ini,” bisik Dion, suaranya penuh kemarahan yang tertahan. “Kau membesarkan putraku di tempat ini? Tanpa AC, tanpa penjagaan, tanpa nutrisi terbaik?”
Aira berbalik, matanya menantang. “Tempat ini adalah rumah, Tuan Arganata! Ada cinta di sini. Ada Neneknya. Ada udara yang membuat dia tidak sakit. Saya tidak butuh emas Anda untuk memberinya cinta!”
“Kau tidak perlu memberinya emas, Aira! Kau hanya perlu memberinya Ayahnya!” desis Dion. “Kau menyembunyikan dia dari fasilitas yang seharusnya dia dapatkan! Kau melanggar kontrak—bukan kontrak pernikahan, tetapi kontrak moral seorang Ibu!”
Aira merasa terluka. “Saya adalah Ibu yang baik! Saya melindungi dia dari Anda, dari kejahatan Anda!”
Dion melangkah mendekat, menguncinya di antara dinding dan dirinya. “Kau pikir kau bisa lari? Kau pikir dengan membuatnya sakit, kau bisa kembali ke tempat ini?”
Dion menarik Aira, mencengkeram bahunya, matanya menatap Aira dengan intensitas yang mengerikan.
“Aku ingin tahu segalanya,” kata Dion. “Setiap detail. Di mana kau melahirkan? Siapa yang membantumu? Kau melahirkan di klinik kecil itu, bukan? Dengan fasilitas minim? Kau mempertaruhkan nyawa putramu!”
“Saya tidak mempertaruhkan nyawa siapa pun!” Aira menangis. “Saya melahirkan dengan cinta! Itu jauh lebih berharga daripada semua uang Anda!”
Tiba-tiba, suara batuk pelan datang dari tempat tidur. Arvan bergerak dalam tidurnya.
Keduanya terdiam. Dion melepaskan Aira. Batuk Arvan mengingatkan mereka bahwa ada konsekuensi dari pertengkaran mereka.
Dion berjalan ke tempat tidur Arvan. Ia berdiri di sana, menatap wajah putranya yang damai. Ia mengulurkan tangannya, dan perlahan, dengan kelembutan yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun, ia menyentuh dahi Arvan.
Panasnya sudah sedikit turun.
Dion menoleh ke Aira, matanya kini dipenuhi kesedihan yang mendalam.
“Aku akan memberinya waktu untuk pulih di sini,” kata Dion, suaranya sangat rendah. “Tapi begitu kita kembali, permainan telah berakhir. Arvan adalah milikku. Kau adalah milikku. Dan kau akan membayar semua waktu yang telah kau curi dari kami.”
Aira hanya bisa berdiri diam, menatap Dion yang kini terlihat seperti seorang Ayah yang bingung, terperangkap di antara kemarahan dan naluri. Kehadiran Dion di rumahnya, di depan putranya, adalah sebuah penyerangan.
semoga cepet up lagi