Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Ular Putih di Sungai Malam
Arsyan seharusnya sudah sampai rumah sejak tadi.
Tapi kakinya masih nyangkut di akar pohon bambu yang entah kenapa kayak sengaja ngejebak. Napasnya pendek-pendek. Maghrib udah lewat—langit udah ungu tua, nyaris hitam. Ibu pasti udah marah-marah di rumah. Arsyan umur lima belas tahun, masih kelas tiga SMP, tapi udah biasa pulang sendiri lewat jalan pintas yang—oke, dia akuin—emang agak serem.
"Sialan..."
Dia nendang-nendang akar itu, kesal setengah mati. Harusnya tadi dia nggak usah main bola lama-lama. Harusnya dia dengerin kata ibu yang bilang pulang sebelum maghrib. Harusnya—
Suara gemericik air sungai di sebelah kanan tiba-tiba berubah. Jadi... lebih keras. Kayak ada yang nyebur.
Arsyan berhenti seketika.
Jantungnya langsung ngebut. Dia nggak percaya hal mistis—atau setidaknya dia coba nggak percaya—tapi di kampung, cerita tentang hutan bambu ini banyak banget. Ada yang bilang sering kedengeran tangisan bayi. Ada yang bilang pernah liat perempuan berbaju putih nyisir rambut di batu sungai. Arsyan nggak mau mikir soal itu sekarang.
Tapi suara itu makin keras.
Gemericik. Debur. Sesuatu yang besar bergerak di dalam air.
Arsyan menelan ludah. Dia pengen lari, tapi kakinya masih nyangkut. Bodoh banget. Kenapa harus sekarang sih
Lalu dia lihat.
Di antara semak-semak, di tepi sungai yang airnya udah gelap kecoklatan, ada sesuatu yang putih.
Putih bersih. Bercahaya samar. Kayak... sisik?
Arsyan mengerjapkan mata. Jangan-jangan dia salah lihat. Tapi nggak—itu beneran ada. Bentuknya panjang, meliuk-liuk lemah. Ular. Ular putih yang... gede banget. Seukuran lengan orang dewasa, mungkin lebih.
Dan ular itu... terluka.
Ada jerat kawat di tubuhnya. Ketat. Sisiknya sobek di beberapa bagian, mengeluarkan cairan bening yang—Arsyan nggak yakin—tapi kayaknya itu darah. Ular itu bergerak pelan, kesakitan, nyoba lepas dari jerat tapi makin kenceng malah makin nyangkut.
Arsyan seharusnya kabur.
Seharusnya dia teriak, lari, apapun—tapi ada sesuatu di mata ular itu. Matanya bulat, besar, warnanya... emas. Keemasan yang aneh. Dan tatapannya—
Ya Allah.
Ular itu menatapnya.
Bukan tatapan hewan. Bukan tatapan buas yang mau nyerang. Tapi tatapan... minta tolong.
"Gila lu, Yan," bisik Arsyan pada dirinya sendiri. "Ular nggak bisa minta tolong. Jangan gila."
Tapi kakinya bergerak.
Entah kenapa, entah karena apa—mungkin karena dia inget dulu ibu pernah bilang "kalau ada makhluk yang terluka, tolong kalau kamu bisa. Allah suka sama orang yang baik sama makhluk-Nya"—Arsyan jongkok pelan di depan ular itu.
Tangannya gemetaran.
Ular putih itu diam. Nggak bergerak. Cuma terus menatap Arsyan dengan mata emasnya.
"Lu... lu nggak gigit gue kan?" bisik Arsyan, suaranya parau.
Ular itu nggak jawab. Ya iyalah, mana bisa jawab.
Arsyan menarik napas dalam-dalam. Tangannya pelan-pelan nyentuh kawat jerat itu. Dingin. Logamnya dingin banget, tapi tubuh ular itu... anehnya juga dingin. Kayak es.
"Sabar ya... gue... gue coba lepas..."
Jerat itu keras. Karat. Arsyan nyoba buka pake tangan kosong, jarinya sampe lecet. Tapi dia nggak peduli. Dia nggak ngerti kenapa dia peduli, tapi dia nggak bisa ninggalin ular ini begitu aja.
Lima menit. Sepuluh menit.
Akhirnya—dengan bunyi "krek" pelan—jerat itu lepas.
Ular putih itu langsung bergerak. Tubuhnya yang panjang meliuk cepat, mundur ke arah sungai. Arsyan ngos-ngosan, jatuh duduk di tanah, tangannya lecet dan berdarah.
"Ya udah... ya udah, pergi... gue nggak apa-apa..." gumamnya lelah.
Tapi ular itu nggak langsung pergi.
Dia berhenti di tepi air. Tubuhnya setengah terendam, kepala masih di darat. Dan dia menatap Arsyan.
Lama.
Tatapan itu... Arsyan nggak bisa jelasin. Kayak ada sesuatu di balik mata itu. Sesuatu yang ngerti. Sesuatu yang... inget.
Lalu ular itu perlahan masuk ke sungai. Tubuhnya menghilang ke dalam air keruh, ninggalin riak-riak kecil.
Dan sebelum bener-bener hilang, Arsyan bersumpah dia lihat sesuatu yang aneh.
Cahaya.
Cahaya keemasan lembut yang muncul sedetik di permukaan air, sebelum padam total.
Arsyan duduk sendirian di pinggir sungai.
Tangannya lecet. Napasnya belum teratur. Dan ada perasaan aneh di dadanya—kayak... kayak sesuatu baru aja dimulai. Sesuatu yang dia nggak ngerti.
"Apaan sih gue..." gumamnya pelan.
Dia berdiri, bersiap pulang, ketika—
—angin tiba-tiba bertiup.
Angin yang nggak wajar. Dingin. Membawa aroma... kenanga.
Arsyan menoleh ke sungai.
Tapi nggak ada apa-apa.
Cuma air yang mengalir pelan, dan bulan purnama yang mulai muncul di langit.