Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Air mata mulai menggenang di mata Aluna. Ia menatap seluruh ruangan dengan tangan bergetar. Tak pernah dalam hidupnya ada yang percaya padanya seperti ini. Tak pernah ada yang memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
“Kenapa kau melakukan semua ini untukku?” bisiknya lirih.
Zayyan berjalan mendekat, mengambil tangannya dengan hati-hati. “Karena aku tahu rasanya hidup tanpa kepercayaan dari siapa pun. Karena kamu... berhak punya tempat di dunia ini. Dan aku ingin menjadi orang pertama yang berdiri di belakangmu.”
Malam itu, Aluna duduk sendirian di tengah butik barunya. Cahaya lampu kuning lembut menari di dinding. Tangannya menggenggam pensil, mulai membuat sketsa baru di buku gambar yang telah menemaninya sejak dulu.
Tapi kali ini, ia tidak menggambar dengan luka. Ia menggambar dengan harapan.
Dan jauh di luar sana, Zayyan menatap langit malam dari balkon apartemennya. Di matanya yang kelam, terpancar cahaya kecil—seperti bintang yang baru saja menyala kembali saat ia melihat kegigihan Aluna untuk membuka perjalanan barunya sebagai seorang desainer dari butik bajunya sendiri.
...----------------...
Fajar baru saja menyingsing ketika dering lembut lonceng pintu butik kecil di sudut jalan itu berbunyi. Udara masih menyimpan jejak embun, dan cahaya matahari yang menembus jendela kaca besar memantulkan semburat emas ke seluruh ruangan. Butik itu kecil namun terasa hangat, penuh dengan sketsa-sketsa yang digambar oleh Aluna yang perlahan menjadi nyata dalam bentuk kain, jahitan, dan detail-detail yang halus. Butik itu adalah wujud dari impian yang perlahan berubah menjadi kenyataan.
Zayyan datang pagi itu, seperti yang ia lakukan ketika sedang libur bekerja, menyempatkan mampir ke butik baju Aluna untuk membantunya membuat pakaian, dengan seulas senyum yang terlalu tenang untuk ukuran laki-laki yang sering berhadapan dengan kobaran api. Tapi mungkin justru karena itu, setelah bertarung melawan panas dan bahaya, mendapati Aluna di tengah lautan kain dan benang adalah bentuk kedamaian yang tak ternilai.
"Selamat Pagi, nona pemilik butik," sapa Zayyan dengan sesekali menggoda Aluna.
Aluna menoleh dari mesin jahitnya, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Selamat Pagi, Tuan Pemadam Kebakaran yang terlalu rajin datang ke butik orang."
"Aku hanya memastikan apakah orang yang ku percayai untuk menjalankan butik ini, terlihat rajin atau tidak," balas Zayyan sambil mengangkat alisnya.
Aluna tertawa, dan tawa itu menjadi musik bagi pagi yang tenang. Ia bangkit dari kursinya, meraih secangkir kopi yang sudah ia siapkan untuk Zayyan.
"Seperti yang kau lihat, orang yang kau percayai untuk menjalankan butik ini selalu rajin dan menjalankan amanah dari orang yang sudah memberiku butik ini." ucap Aluna
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, mereka mulai bekerja bersama. Zayyan tak hanya menatap kagum pada desain Aluna, tapi juga ikut membantu—memotong kain, memasangkan pakaian jadi ke mannequin, bahkan mencoba menjahit meski hasilnya membuat Aluna tertawa geli. Tapi tidak sekali pun Aluna menertawakan dengan maksud merendahkan. Setiap jahitan yang miring atau simpul yang salah adalah langkah yang mereka lalui bersama.
Di tengah keheningan yang nyaman, ketika hanya ada suara potongan kain dan bunyi jarum mesin jahit yang stabil, Aluna merasakan matanya tak sengaja menatap Zayyan lebih lama. Ia sedang berkutat memasangkan gaun putih gading ke salah satu mannequin, lengannya terangkat, matanya terlihat fokus, rahangnya tegas dalam diam. Ada sesuatu yang tumbuh di dada Aluna, sesuatu yang hangat dan tidak asing—tapi terlalu berani untuk diakui.
"Zayyan..." panggilnya lirih.
Zayyan menoleh, "Hmm?"
Aluna buru-buru menggeleng. "Tidak, tidak ada. Hanya... terima kasih, ya. Untuk semuanya."
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/