NovelToon NovelToon
Pernikahan Kilat Zevanya

Pernikahan Kilat Zevanya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Naaila Qaireen

Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.

Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

SELAMAT MEMBACA

Wira bangun ketika cahaya pertama matahari masuk melalui celah jendela ruang tamunya, pagi terlihat cerah di luar. Dengan perlahan Wira menduduki dirinya dan mulai merenggangkan otot-ototnya yang terasa sedikit tidak nyaman. Tidur di sofa sempit membuat tubuhnya tidak bisa bergerak dengan leluasa.

Wira memandang bingung ke sekitar, nyawanya masih terkumpul setengah. Merutuki dirinya yang kenapa bisa tidur di sofa.

Suara samar-samar dari arah dapur menarik perhatian Wira. Dengan rasa penasaran, ia perlahan bangkit dan berjalan mendekat. Namun, langkahnya terhenti seketika tak kala melihat sosok perempuan di sana.

Sesaat, Wira nyaris terkejut, sebelum akhirnya ia mengingat sesuatu—ia sendiri yang mengundang tamu itu untuk menginap di rumahnya.

“Ah maaf, menggunakan dapurmu tanpa ijin.” Zevanya meringis.

Wira menggaruk kepalanya, seraya menyisir dengan jari sekedar merapikan rambutnya yang acak-acakan. “Ouh, tidak masalah. Sedang buat apa?” ia menarik kursi di kolom meja.

“Menyeduh teh, apakah kamu juga mau?” Zevanya menawarkan diri untuk membuatnya.

“Hm, kalau tidak merepotkan, saya mau kopi.”

“Tentu, tunggu sebentar,” gadis itu mulai membuatnya, ia juga menanyakan terkait takaran gula yang harus ia campurkan. Sembari menunggu Zevanya menyiapkan kopinya, Wira menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Tidak ada apa pun di rumah, Wira belum sempat berbelanja dan menyetok bahan makanan. Alhasil tidak ada yang mereka bisa masak pagi itu. Keduanya pun memutuskan untuk mampir makan di warteg dekat jalan raya, setelahnya melanjutkan mencari kos untuk Zevanya.

Wira membuka pintu dan jendela, lalu menduduki sofa yang menjadi tempat tidurnya semalam sembari menikmati kopinya yang terasa pas di lidah. Selimut dan bantal sudah ia lipat dan menepikannya di sudut.

Cahaya matahari mulai menerangi membuat lingkungan itu kembali ramai. Anak-anak kembali mengisi lorong-lorong dan berlari berhamburan memanggil satu sama lain. Ibu-ibu pun ikut duduk di teras masing-masing, ada pulang yang bergerombol untuk memulai gosip pagi nan hangat.

Posisi mereka semakin dekat dan dekat, nyaris tanpa jarak, suara semakin pelan dengan mulut yang mencebik sana, mencebik sini.

Ketika melihat pintu rumah Wira terbuka, mata ibu-ibu langsung mencuri pandang. Pembicaraan semakin panas, tidak mempedulikan anaknya yang menangis dengan ingus telah berceceran.

“Tasnya jangan dulu dibawa,” cegat Wira melihat Zevanya keluar dari kamar dengan kedua tasnya. “Bawanya nanti saja kalau kos kamu sudah kita dapat,” Wira menyimpan gelas kopi yang tinggal ampasnya. Melihat Zevanya yang kembali membawa kedua tasnya untuk di simpan, gadis itu kembali keluar hanya dengan tas kecil yang muat ponsel dan dompetnya saja.

“Tunggu sebentar ya, saya mandi dulu.” Wira berjalan masuk kamar untuk mengambil baju ganti sedangkan Zevanya yang kini duduk di sofa menunggunya. Ia sudah membersihkan dirinya sejak tadi subuh.

Tak berselang beberapa lama Wira sudah rapi dengan pakaian, pria itu berjalan keluar dengan ruang tamu yang sudah terlihat rapi. Bantal dan selimut sudah dimasukkan ke dalam kamar, gelas yang ia gunakan sudah dicuci bersih. Pria itu pun menampilkan senyum terima kasihnya, merasa sudah merepotkan Zevanya.

“Kalau begitu, ayo kita berangkat.” Zevanya mengenakan sepatu, sedangkan Wira kembali menutup jendela barulah mengambil sepatunya.

Ketika keduanya sama-sama keluar dari rumah, perseteruan ibu-ibu semakin nyaring. Telunjuk mereka menunjuk-nunjuk ke arah keduanya, sontak semuanya kelompok itu tidak ada yang tidak melihat Wira maupun Zevanya.

“Ada apa? Kenapa mereka melihat kita?” Zevanya merasa sedikit risih di pandang sedemikian rupa seperti itu, ini membuatnya seolah menjadi tersangka.

Wira menaikkan salah satu alis, juga merasa aneh. Tidak biasanya juga ibu-ibu berkumpul dengan personil selengkap ini, biasanya juga kalau gosip pagi-pagi hanya dua sampai tiga orang.

“Nah, nah... itu dia. Cepat panggil pak RT, ini tidak bisa dibiarkan!”

Wira dan Zevanya saling pandang, apa maksudnya itu. Apa ibu-ibu sedang membicarakan mereka, dan sepertinya memang iya. Karena pak RT datang dengan beberapa jajarannya menghampiri Wira dan Zevanya. Wira yang sudah ingin menyalakan motornya pun urung untuk menyambung pak RT tempatnya tinggal.

“Permisi, Nak Wira.” Sapa pak RT dan mengangguk pada Zevanya, dibalas anggukan gadis itu. Perasaannya mulai tidak enak.

“Ada apa ya, Pak?” tanya Wira sopan.

“Ada apa, ada apa?! Kamu nggak sadar diri sekali Wira!” lantang seorang ibu, rumahnya ada di paling ujung gang dan pagi-pagi sudah nongkrong ke sini.

Wira mengalihkan pandangannya ke ibu Tri yang selalu all out dengan makeup nya. “Ya, Ibu?” Wira menaikkan salah satu alisnya.

Napas ibu Tri naik menggebu-gebu melihat betapa santainya Wira menghadapi situasi ini, membuat ia semakin jengkel dan siap menyerang.

“Aduh tunggu dulu, Bu Tri Rismaharini... pak RT datang ke sini untuk bicara baik-baik. Ibu jangan memancing kegaduhan, dan tolong kasih tahu teman-temannya untuk mundur. Sesak saya, udaranya sudah diraup sama ibu-ibu semua.” Kata seorang bapak yang bersama rombongannya pak RT.

Ibu Tri mendengus, ia pun meminta kelompoknya untuk sedikit mundur. Tampaknya ia adalah ketua dari kelompok, terbukti ibu-ibu dengan patuh untuk mundur walaupun hanya sejengkal. Tentu mereka tidak ingin ketinggalan berita.

“Aduuhhh,” pak RT sampai geleng-geleng. “Bu ibu, lebih baik pergi masak gih buat suaminya yang berangkat kerja. Urusan ini biar saya yang selesaikan.” Kata pak RT ditolak mentah-mentah oleh ibu-ibu.

“Tidak Pak, kami akan mengusut masalah ini dengan tuntas. Ini tidak bisa dibiarkan, lingkungan kita tidak boleh tercemar oleh muda-mudi tidak berakhlak seperti ini.” Sahut salah satu ibu, dan dibenarkan oleh kelompoknya.

“Benar itu!” lanjut ibu Tri.

Pak RT menghela napas, berusaha mengatur kewarasan menjadi pemimpin dari warga yang tidak mendengarkan dirinya. Ia pun kembali fokus pada Wira dan Zevanya.

“Begini Nak Wira, apakah benar kamu sama Nona ini tidur satu rumah?” tanya pak RT. Karena memang itulah laporan dari warganya tadi, rumahnya yang masih tutup digedor tanpa perasaan oleh ibu Tri beserta Cs-nya.

Wira terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. “Kami memang serumah, Pak. Tapi bukan berarti sekamar, tidak ada yang kami lakukan sama sekali.” Jawab Wira dengan tenang.

“Alahhh, mana ada pelaku mau ngaku. Kalian pasti melakukan kemaksiatan kan di dalam sana, ini tidak bisa dibiarkan. Kami tidak mau lingkungan kami tercemar oleh kelakuan kalian. Nanti yang ada lingkungan kami kena azab atas kelakuan kalian.”

Wira mengusap wajahnya, “Melakukan apa, Bu? Kami sama sekali tidak melakukan hal aneh apa pun,”

“Benar, saya hanya sekedar menginap karena tidak memiliki tempat tinggal.” Jelas Zevanya berusaha menjelaskan kesalahpahaman yang telah terjadi. Namun, tampaknya ibu-ibu tidak ada yang ingin mendengarkan. Mereka tetap dengan asumsinya.

Deringan ponsel di saku celana membuat Wira mau tidak merogohnya, melihat nama yang tertera. Ia pun meminta ijin pada pak RT dan yang lainnya untuk menerima telepon.

Bisikan-bisikan dan sahutan silih berganti terdengar, kebisingan tak terkendali. Dan Zevanya tidak menyerah untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, bahkan ia juga menceritakan bagaimana kejadian pertemuannya dengan Wira. Tetapi tetap saja, tidak ada yang percaya. Penjelasannya diabaikan. Pak RT sendiri, akan lebih condong pada suara yang terbanyak. Ia tidak bisa menentang warganya seorang diri, maka tidak bisa membantu Wira maupun Zevanya. Apalagi Wira yang seorang pendatang di lingkungan mereka.

“Nikahkan saja mereka!” sahutan membenarkan terdengar, Zevanya menggeleng tidak setuju.

“Baik, kami akan menikah!” Ujar Wira menutup setiap mulut, tatapan pria itu berubah lebih tajam dan dingin. Zevanya terperangah dengan mata bulatnya. Sesaat kemudian, keduanya di giring oleh warga menuju musholla. Penghulu segera dipanggilkan.

1
Eliermswati
wah keren wira emng bnr klo dah d buang buat ap d pungut lg bkn rmh tangga jd berantakan
Karina Mustika
langsung nikah aja nih..
Naaila Qaireen: Hehehhe, iya kak😅
total 1 replies
Nazra Rufqa
Nunggu dari lama kak, akhirnya ada karya baru... moga sampe tamat ya.
Nazra Rufqa
Mampir kak thor/Smile/
Naaila Qaireen: Siap kak, moga suka🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!