Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 28 Gerbang yang Terbuka Setengah
Pagi itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Langit cerah, seolah tidak ada masalah yang menunggu di balik sinarnya. Tapi tidak begitu dengan Galuh. Di meja makan, dia duduk sendiri, memandangi mangkuk sereal yang sudah hampir lembek, pikirannya jauh entah ke mana. Saras belum turun dari kamar, dan sejak kejadian semalam, suasana di antara mereka seperti dilapisi kabut tipis yang tak terlihat namun terasa.
Galuh belum tahu harus bersikap seperti apa. Setelah percakapan emosional semalam, ia merasa hubungannya dengan Saras mulai masuk ke tahap yang lebih dalam. Tapi ia juga sadar, ada banyak hal yang belum selesai. Terutama soal Rangga.
"Pagi," suara Saras menyapa pelan dari arah tangga. Ia memakai hoodie abu-abu kebesarannya, rambut dikuncir asal dan tanpa makeup sama sekali. Tapi justru itulah yang membuat Galuh tidak bisa mengalihkan pandangan. Saras terlihat begitu nyata dan dekat—tanpa topeng, tanpa jarak.
"Pagi... udah makan?" Galuh bertanya sambil berusaha terdengar biasa.
Saras menggeleng, lalu mengambil roti panggang dan duduk di depannya. Mereka makan dalam diam, hanya suara detik jam dinding dan bunyi piring yang terdengar. Tapi dalam keheningan itu, ada pengakuan yang belum terucap, dan perasaan yang berusaha dipahami.
"Tentang kemarin..." Saras membuka pembicaraan lebih dulu.
Galuh menatapnya, memberi ruang.
"Aku belum bisa janji akan buka semuanya sekarang. Tapi aku akan mulai cerita sedikit demi sedikit. Aku nggak mau kamu... terseret masalahku. Tapi aku juga nggak mau kamu merasa aku nggak peduli."
Galuh mengangguk. Ia tidak butuh semuanya sekaligus. Ia hanya ingin Saras percaya.
**
Di kampus, kabar tentang Galuh dan Saras yang tinggal serumah perlahan-lahan mulai terdengar lagi. Isu yang sempat padam itu kembali beredar, dan tentu saja, Rangga tidak tinggal diam. Kali ini dia mencoba pendekatan yang lebih licik. Ia tidak menyerang Galuh secara langsung, melainkan menyebar rumor lewat teman-teman satu jurusan Saras.
“Katanya Saras tinggal bareng cowok ya sekarang? Gila sih, dia kayak berubah banget,” kata salah satu mahasiswi di kafe kampus, cukup keras untuk didengar.
Saras yang duduk di meja pojok pura-pura tak dengar, tapi Galuh yang datang membawa dua kopi mendengar dengan jelas. Tatapan Galuh tajam, tapi ia memilih untuk diam. Ia tahu Saras benci drama. Namun, ia juga tidak bisa terus-terusan membiarkan Saras menghadapi ini sendirian.
"Nggak usah dipikirin. Mereka cuma iri," Saras berkata sebelum Galuh sempat bereaksi.
"Tapi ini udah keterlaluan. Aku bisa cari tahu siapa yang mulai," jawab Galuh.
"Udah. Aku udah cukup capek ngurusin omongan orang. Yang penting kamu nggak ikut-ikutan menjauh karena semua ini."
Galuh menatap Saras dalam-dalam. "Aku nggak ke mana-mana. Aku di sini."
Senyum samar muncul di wajah Saras, walau hanya sesaat.
**
Sore harinya, Galuh memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Rangga. Ia tidak bisa tinggal diam saat seseorang terus-menerus mengganggu orang yang ia sayangi. Melalui beberapa teman di fakultas teknik, ia akhirnya mendapatkan satu petunjuk: Rangga ternyata pernah punya masalah dengan pacarnya sendiri, yang dulu diam-diam selingkuh dengan salah satu asisten dosen.
Masalah itu sempat membuat Rangga depresi, bahkan sempat cuti kuliah selama satu semester. Fakta itu cukup mengejutkan bagi Galuh. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah, pacar Rangga dulu... punya nama yang sama dengan Saras.
Galuh langsung merasa dingin. Apakah mungkin Saras adalah orang yang sama?
Di rumah, Galuh mendapati Saras sedang membaca di balkon. Langit mulai jingga, dan semilir angin membawa bau kopi dari warung sebelah. Galuh menghampirinya dengan hati-hati.
"Sar... aku pengin tanya sesuatu. Tapi kalau kamu belum siap jawab, nggak apa-apa."
Saras menutup bukunya, mengangguk. "Tanya aja."
"Kamu pernah kenal sama Rangga sebelum kuliah di sini?"
Saras terdiam. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia menjawab.
"Iya. Kami pernah... deket. Dulu. Tapi bukan pacaran. Rangga salah paham. Aku nolak dia, tapi dia terlalu posesif. Dan saat aku mulai dekat dengan seseorang, dia marah dan sebarin gosip yang nggak-nggak. Akhirnya aku pindah kota dan ganti kampus."
Galuh menarik napas dalam. Potongan puzzle mulai menyatu.
"Dan sekarang dia nemuin kamu lagi di sini."
Saras mengangguk pelan. Matanya menatap jauh ke ujung langit. "Aku nggak nyangka dia masih dendam. Tapi aku nggak akan kabur lagi. Kalau dia mau main kotor, biar aja. Aku nggak sendiri sekarang."
Galuh duduk di sampingnya, memegang tangan Saras erat.
"Kamu nggak sendiri."
**
Malam itu, di kamar masing-masing, mereka sama-sama sulit tidur. Tapi tidak karena takut. Justru karena perasaan yang tumbuh makin kuat, dan keputusan yang harus diambil makin nyata. Galuh tahu, ini bukan lagi sekadar salah tinggal atau kesalahan sistem asrama. Ini tentang pilihan untuk tetap tinggal, untuk melawan, dan untuk melindungi satu sama lain.
Sementara itu, di tempat lain, Rangga menatap foto lama di layar laptopnya. Foto itu menampilkan Saras di kampus lamanya. Ia tersenyum miring.
"Kita belum selesai, Saras. Belum."