Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Praktik setelah pelajaran
Mulgur menguap lebar, lalu meregangkan tubuhnya yang mungil sebelum duduk bersandar pada batu besar di dekat api unggun mereka. “Yah, entah itu Basilisk, makhluk api, atau hal lain yang ada di gua itu... kita bisa memikirkannya lagi besok,” ujarnya sambil mengusap jenggot akarnya.
Lalu dia menggeser tongkatnya ke samping. “Aku butuh tidur. Seharian ini sudah cukup membuat tubuh tuaku lelah. Jangan melakukan hal aneh saat aku tidur, ya.”
Ia lalu menutup matanya dan dalam beberapa menit saja, napasnya sudah berubah menjadi dengkuran halus, seakan tidak peduli lagi dengan dunia di sekitarnya.
Cassius, yang masih duduk dekat api unggun, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Masih banyak hal yang belum dia ketahui tentang hutan ini, tapi untuk sekarang, istirahat memang pilihan terbaik. Dengan helaan napas ringan, ia pun berbaring di dekat sumber kehangatan, membiarkan pikirannya perlahan tenggelam dalam keheningan malam.
Paginya, Cassius terbangun lebih awal di oasis. Hembusan angin pagi masih dingin, namun suhu di sekitarnya tetap terasa hangat seiring dengan cahaya mentari yang perlahan mulai muncul di cakrawala. Tanpa membuang waktu, dia duduk berdiri di atas batu, mengulurkan telapak tangannya, dan mulai berkonsentrasi. Dia ingin mencoba sesuatu yang baru.
Sejak latihan dengan Mulgur kemarin, Cassius menyadari bahwa sihir bisa dikendalikan hanya dengan imajinasi dan pengaturan energi. Dia mengaktifkan loomb-nya lalu mengangkat satu tangan dan mulai membentuk bola api di atas telapak tangannya. Awalnya, bola api itu berwarna jingga seperti biasanya, tapi kali ini Cassius ingin mendorong batasnya lebih jauh.
Dia berkonsentrasi, mempercepat aliran energi sihir ke dalam bola api, meningkatkan suhunya sedikit demi sedikit. Dari jingga, warnanya berubah menjadi merah terang, lalu ke biru. Cassius merasakan hawa panas semakin kuat, bahkan tangannya mulai terasa terbakar meskipun loomb-nya terus bekerja meregenerasi kulitnya sebelum sempat melepuh. Namun, dia tidak berhenti di sana. Dia terus memampatkan energi, membuat api semakin panas hingga akhirnya api itu berubah warna menjadi putih terang.
Cassius tersenyum tipis. Ini pertama kalinya dia berhasil menciptakan api dengan warna seperti ini. Namun, dia masih belum puas. Dia ingin mencoba sesuatu yang lebih besar. Dia mulai membayangkan bola api itu meledak, menyebarkan panas dan daya hancur dalam radius yang lebih luas. Dia mengalirkan lebih banyak energi, membentuk inti panas di pusat bola api, dan dalam sekejap—
“BOOM!!!...” Ledakan besar mengguncang oasis, menciptakan gelombang panas yang menyebar ke segala arah. Pasir dan batu yang hancur beterbangan, air di danau kecil beriak hebat, dan burung-burung yang bertengger di pohon langsung terbang panik.
Di sisi lain oasis, Mulgur yang sedang tidur nyenyak langsung terbangun dengan kaget. Tubuhnya melompat sedikit dari tempatnya tidur, jenggot dan alisnya berkibar terkena tiupan angin panas. Dia mengedarkan pandangannya dengan kebingungan sebelum akhirnya menatap Cassius yang berdiri dengan ekspresi puas.
"Apa-apaan itu?!" seru Mulgur dengan suara serak, masih setengah mengantuk.
Cassius menghela napas, tangannya masih sedikit bergetar akibat penggunaan energi yang besar. "Eksperimen kecil. Aku berhasil meningkatkan panas api sampai putih dan memperbesar daya ledaknya."
Mulgur memijat dahinya, mendesah panjang. "Eksperimen kecil, katamu!? Aku hampir dikubur pasir karena itu! Kau tahu seberapa nyenyaknya aku tidur?"
Cassius hanya terkekeh. "Setidaknya sekarang kau bisa bangun lebih pagi."
Mulgur masih ingin mengomel, tetapi perutnya berbunyi lebih dulu, mengalahkan niatnya untuk melanjutkan ceramahnya pada Cassius. Dia menghela napas panjang, lalu berdiri sambil mengusap perutnya.
"Ya sudahlah, aku akan cari sesuatu untuk dimakan," gumamnya, setengah kesal namun lebih didorong oleh rasa lapar.
Cassius hanya meliriknya sekilas sebelum mengeluarkan beberapa persediaan dari penyimpanannya. "Aku sudah punya cukup makanan. kalau kau mau, makan ini saja?"
Mulgur melirik persediaan Cassius yang cukup beragam, daging asap, dan beberapa bahan lain yang lebih tahan lama. Namun, dia menggeleng pelan. "Makanan kering seperti itu memang praktis, tapi tak ada yang bisa mengalahkan rasa makanan segar. Aku akan ambil beberapa buah liar dulu."
Cassius tidak berdebat dan mulai menyiapkan sarapannya sendiri. Sementara itu, Mulgur berjalan ke sekitar oasis, memetik buah yang tumbuh liar di pepohonan. Setelah beberapa saat, dia kembali dengan beberapa buah berwarna ungu kehitaman dan duduk di seberang Cassius.
Mereka makan dalam diam, menikmati ketenangan pagi yang hanya diiringi suara angin berbisik di antara dedaunan dan kicauan burung. Mulgur menggigit buahnya perlahan, sebelum tiba-tiba berkata, "Tapi... aku benar-benar tidak menyangka fireball bisa digunakan dengan cara seperti itu."
Cassius yang sedang mengunyah daging asapnya melirik Mulgur dengan ekspresi datar. "Memangnya, sepanjang yang kau tahu, fireball itu paling jauh bisa digunakan seperti apa?"
Mulgur mengangkat bahu. "Biasanya hanya bisa diperbesar sampai sebesar manusia dewasa. Paling-paling daya ledaknya hanya sedikit lebih kuat dari ledakan kecil."
Cassius tidak berkata apa-apa, hanya menyesap air dari kantung minumnya dengan ekspresi datar, tetapi dalam pikirannya, ia mulai menyadari sesuatu—ia telah melewati batas yang dianggap normal dalam penggunaan sihir dasar ini.
Mulgur menatapnya dengan senyum kecil dan melanjutkan, "Baiklah, untuk selanjutnya, aku akan mengajarimu sihir air dan es. Dua elemen itu cukup berguna, terutama jika kau ingin bertahan hidup di tempat seperti ini."
Cassius mengangguk sambil menatap makananya. "Tentu saja. Aku akan belajar dengan giat."
Setelah menyelesaikan sarapan, mereka mengemasi barang-barang mereka dan bersiap meninggalkan oasis, melanjutkan perjalanan menuju gunung berapi.
Saat matahari mulai meninggi, Cassius dan Mulgur meninggalkan oasis, menyusuri jalur berbatu menuju arah gunung berapi. Udara perlahan menjadi lebih hangat lagi, dan tanah yang mereka pijak berubah dari pasir yang lembut menjadi batuan keras yang sesekali mengeluarkan uap panas dari celahnya.
Mulgur berjalan santai di depan, sesekali mengoceh tentang berbagai makhluk yang hidup di daerah ini. “Seharusnya kita lebih waspada, karena banyak binatang buas di sini. Ada salamander api, kelelawar raksasa, dan mungkin—”
“SWESSSHH...!”
Sebuah bayangan besar melesat dari balik bebatuan, begitu cepat hingga Cassius hanya sempat menoleh sebelum tubuhnya terhantam keras dan terguling ke tanah.
Seekor ular raksasa dengan sisik hitam mengkilap dan corak kuning di punggungnya muncul dari balik bebatuan, tingginya hampir setara dengan pohon saat lehernya berdiri, dengan mata kuning bersinar yang menatap mereka dengan lapar. Lidah bercabangnya menjulur keluar, mendesis tajam, sementara tubuhnya yang tebal melingkar menghalangi jalan.
Mulgur langsung mengambil posisi bertahan. “Oh sial, ini lebih buruk dari yang kuduga.”
Cassius tidak membuang waktu. Dengan cepat, dia membuka tangannya, membentuk bola api putih terang di telapak tangannya. Namun, sebelum sempat melancarkan serangan, ekor ular itu menyapu tanah dengan kekuatan luar biasa, menciptakan gelombang debu dan menghantam Cassius dengan telak.