Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Dicecar
Begitu Aylin berlari masuk ke sekolah, teman-temannya langsung menghambur mendekatinya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
"Astaga, Aylin! Siapa pria di mobil mewah itu?!" seru Sinta, menarik lengan Aylin dengan penuh semangat.
"Gila! Ganteng banget! Itu kakak sepupu lo, ya? Atau..." Linda menggantung kalimatnya dengan senyum penuh makna.
"Pacar lo, ya?" goda Rena, matanya berbinar-binar.
Aylin yang masih sibuk menenangkan diri setelah insiden tadi, hanya bisa mendengus frustasi. "Bukan siapa-siapa! Udah, jangan kepo!" katanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun, tentu saja, teman-temannya tidak semudah itu menyerah.
"Bohong! Kalau bukan siapa-siapa, kenapa dia manggil lo ‘Nona Aylin’ tadi? Uhuk, romantis banget!" Sinta memeluk dirinya sendiri pura-pura kesemsem.
"Dan dia nganterin lo ke sekolah?!" Rena mengepalkan tangan dengan semangat, "Ayolah, Aylin, cerita! Itu cowok pasti spesial buat lo!"
Aylin menghela napas panjang, mencoba mencari alasan sebelum akhirnya berkata, "Dia... cuma supir pribadi baru di rumah. Titik."
Teman-temannya langsung terdiam sejenak, saling berpandangan.
Lalu, meledaklah gelak tawa mereka.
"SUPIR PRIBADI?!"
"Ya ampun, Aylin! Mau bohong yang lebih masuk akal dong!"
"Itu jelas-jelas bukan supir! Lihat aja gayanya, keren banget! Masa supir pakai jas serapi itu? Apalagi jasnya kelihatan mahal."
"Eh, kalau diingat-ingat, dia kayak cowok yang bawa Aylin pergi waktu tawuran tempo hari, ya?" gumam Rena.
"Eh, iya, ya," timpal Linda.
"Pasti pacar lo, ya?!" Sinta langsung berseru dengan nada penuh semangat.
"Ih, pantesan belakangan ini sering melamun di kelas!" Linda menimpali dengan tatapan menyelidik.
"Siapa, sih?! Kok nggak pernah cerita? Wah, lo jahat banget!" Rena pura-pura merajuk.
"Hah? Apaan sih? Bukan!" Aylin gelagapan, buru-buru mengibaskan tangannya.
"Udah, nggak usah bohong. Kita lihat sendiri pagi-pagi kamu dianterin cowok keren naik mobil mewah!"
"Fix! Itu pacarnya!"
"Nggak ada yang namanya 'fix'! Gue nggak pacaran!" Aylin mencoba menyangkal, tapi malah membuat teman-temannya semakin bersemangat menginterogasi.
"Kalau bukan pacar, terus siapa?" Linda menyipitkan mata penuh selidik.
Aylin langsung mati kutu.
Kalau dia bilang pria itu hanya teman, jelas nggak masuk akal. Kalau dia bilang saudara, mereka pasti bakal nanya lebih lanjut.
Gawat! Harus cari alasan sebelum mereka makin penasaran!
"Kalau bukan pacar, kenalin dong sama kita-kita! Siapa tahu dari kami bertiga ada yang beruntung jadiin dia gebetan," ujar Sinta dengan nada menggoda.
Aylin terdiam. Entah kenapa ada sesuatu yang terasa mengganggu di hatinya. Seperti ada yang mencubit pelan di dadanya. Kenapa rasanya nggak suka?
"Ih, aneh! Kenapa juga gue harus peduli?" batin Aylin.
"Dia... dia udah punya istri!" Aylin akhirnya asal bicara.
Seketika, tiga sahabatnya membeku.
"Hah?!" Linda melongo.
"Gila! Lo bercanda, 'kan?!" Rena sampai memegang pundak Aylin seakan memastikan dia tidak salah dengar.
"Ya ampun, Aylin! Lo jalan sama suami orang?!" Sinta menutup mulut dengan ekspresi kaget luar biasa.
Aylin langsung panik. "Bukan begitu maksudnya!"
Tapi dia sadar dia sudah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang, dia langsung kabur ke kelas!
"Eh! Jelasin dulu! Jangan lari, woy!" ketiga sahabatnya berseru, tapi Aylin sudah menghilang di balik pintu.
Tiga sahabatnya langsung mengejar, memaksa Aylin berhenti karena jelas mereka tidak akan menyerah begitu saja.
"Dia saudara jauh gue! Udah punya istri juga, jadi jangan kepo lagi!" Aylin buru-buru berkata, berharap topik ini segera selesai.
Tapi bukannya berhenti, ketiga sahabatnya justru saling pandang dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
"Oh, gitu..." Linda mengangguk-angguk pelan, "Tapi kalau emang bener saudara jauh, kenapa kita baru dengar sekarang?"
"Iya," Sinta menimpali, "Dan kalau udah punya istri, kenapa waktu antar lo tatapannya kayak..." Sinta sengaja menggantungkan kalimatnya, memasang ekspresi menggoda.
Aylin mengibaskan tangan. "Udahlah! Kalau nggak percaya, tanya langsung aja sama orangnya!"
Dia berpikir, dengan begitu teman-temannya akan berhenti membahasnya.
Tapi justru sebaliknya.
"Ide bagus!" Rena tiba-tiba berseru. "Ayo kita tanyain langsung nanti kalau jemput lo lagi!"
Aylin langsung menyesal. "Eh, tunggu! Jangan—"
Terlambat. Ketiga sahabatnya sudah bersemangat ingin mencari tahu lebih banyak.
Dan kini, Aylin hanya bisa merutuki mulutnya sendiri.
***
Pulang sekolah, Aylin menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang begitu memasuki kamar. Wajahnya ditekuk, bibirnya mengerucut kesal.
"Awas aja kalau dia pulang nanti!" gerutunya, menendang-nendang udara seolah sedang melampiaskan kekesalan. Ia melirik jam dinding dan semakin mendengus. "Kapan sih, dia pulang? Aku udah nggak sabar mau marahin dia!"
Namun, kelelahan setelah seharian di sekolah ditambah emosinya yang membuncah membuatnya cepat kehilangan energi. Belum sempat merangkai kata-kata pedas untuk menyambut suaminya, kantuk mulai menyerang. Mata Aylin semakin berat, dan tak lama kemudian, ia pun tertidur di kamarnya.
Sementara itu, di luar rumah, suara mobil yang berhenti membuat Mira bergegas keluar dengan semangat. Begitu melihat Akay turun dari mobil, matanya langsung berbinar. Dengan langkah ringan dan senyum mengembang, ia mendekat.
"Tuan Akay, biar saya bawakan tasnya," tawarnya dengan nada manis, tangannya sudah terulur.
Namun, Akay bahkan tak meliriknya. Dengan satu gerakan ringan, ia mengangkat tasnya sendiri dan berjalan melewati Mira tanpa berkata apa-apa. Tatapannya lurus ke depan, ekspresinya tetap dingin seperti biasa.
Mira terdiam, bibirnya sedikit manyun karena diabaikan. Namun, rasa penasarannya tetap menggelitik.
Akay langsung menuju kamar. Begitu membuka pintu, matanya langsung tertuju pada sosok Aylin yang tertidur di atas ranjang. Napas gadis itu teratur, dengan helai rambut yang sedikit berantakan menutupi sebagian wajahnya.
Akay berdiri di ambang pintu, mengamati istrinya dalam diam. Ia bisa menebak Aylin pasti kelelahan, tapi entah kenapa, wajah tertidur itu tetap menyiratkan ekspresi kesal. Mungkin Aylin memang sedang menunggunya pulang dengan penuh amarah sebelum akhirnya terlelap.
Senyum tipis hampir terbentuk di sudut bibir Akay, tapi ia segera menggeleng pelan dan menghela napas.
"Dasar bocah," gumamnya lirih sebelum melangkah masuk dan menutup pintu dengan hati-hati agar tak membangunkan istrinya.
Beberapa menit kemudian....
Aylin menggeliat pelan di atas ranjang, matanya mengerjap beberapa kali saat kesadarannya kembali. Tidurnya nyenyak, tapi begitu ia mengingat sesuatu, kepalanya langsung terangkat.
"Oh iya! Akay!"
Ia langsung duduk dan menoleh ke arah pintu, ingin memastikan apakah suaminya sudah pulang. Namun, yang dilihatnya justru sesuatu yang membuatnya membeku di tempat.
Akay baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah, setetes air jatuh dari ujung helainya, meluncur turun di sepanjang garis rahangnya yang tegas, lalu menghilang di antara lekukan dada bidangnya.
Aylin terpaku. Otaknya seperti berhenti bekerja selama beberapa detik.
Akay yang awalnya sibuk mengeringkan rambut, menyadari tatapan itu. Ia menoleh dan menemukan istrinya yang masih duduk di ranjang, wajahnya berubah merah seperti kepiting rebus.
Mata Aylin membelalak sebelum buru-buru menutup wajahnya dengan bantal. "AKAY!! Pakai baju dulu, dong!"
Akay menaikkan sebelah alis. "Kenapa?" tanyanya santai, tetap berdiri di tempat tanpa sedikit pun merasa risih.
Aylin mendengus dari balik bantal. "Kamu itu laki-laki, dan aku perempuan! Mana boleh seenaknya nggak pakai baju begitu?! Lagian, ini kamarku!"
Akay hanya terkekeh kecil, seolah menikmati reaksi istrinya. "Ya jelas, lah, kita suami-istri, pasti laki-laki dan perempuan. Lagipula, ini juga kamarku. Jadi, santai aja, dong, kalau aku nggak pakai baju."
Aylin semakin kesal. "Tapi ada aku di sini!"
Akay tersenyum samar lalu berjalan mendekat. Tanpa diduga, ia menunduk sedikit dan menyingkirkan bantal dari wajah Aylin, membuat gadis itu membelalak panik.
"Kita ini suami-istri, nggak ada yang perlu ditutupi. Apalagi kalau nanti kamu mulai menjalankan kewajibanmu," godanya dengan nada menggoda yang membuat darah Aylin berdesir. "Jadi, nggak usah heboh cuma karena lihat suamimu bertelanjang dada."
Wajah Aylin semakin merah. Tanpa pikir panjang, ia langsung melempar bantal ke dada Akay. "Dasar mesum! Menyebalkan!"
Akay terkekeh sambil menangkap bantal itu dengan satu tangan. Ia lalu berjalan santai menuju lemari, seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Aylin masih sibuk menenangkan jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
ada ketidak sukaan yang Akay rasakan..secara terang²an si Jordi suka sm Aylin