Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#5 - Serangan di Tengah Malam
CLANG! CLANG!
Suara benturan pedang menggema di arena latihan. Selene melangkah maju, mengayunkan pedangnya dengan cepat dan kuat. Di hadapannya, Leo mundur selangkah, nyaris kehilangan keseimbangan.
"Selene, kau makin liar saja!" teriak Leo, napasnya tersengal-sengal.
Selene menyeringai, matanya penuh semangat. "Berhenti banyak bicara dan lawan aku!"
Dia kembali menyerang. Leo mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi dorongan Selene terlalu kuat.
CLANG!
Dengan satu gerakan tajam, pedang Leo terlempar dari tangannya dan jatuh berisik di tanah. Selene berdiri tegap, tersenyum puas.
"Menang lagi," gumamnya.
Leo mendesah keras. "Ugh… aku lelah sekali! Dasar gadis monster! Bagaimana kau bahkan tidak lelah setelah bertanding berkali-kali?"
"Heh, itu karena kau lemah. Bocah lemah sepertimu bukan tandinganku," ejek Selene.
Leo menggeram dan bersiap membalas, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, PLAK! Sebuah tamparan ringan mendarat di belakang kepalanya.
"Aduh!" Leo mengeluh dan berbalik. "Kakak! Kenapa kau selalu memukulku?"
Ethan, yang sejak tadi mengamati duel mereka, tetap tenang. "Berhentilah main-main."
Leo mendelik, lalu melirik ke arah Selene yang tiba-tiba bersikap manis. "Ethan…" panggilnya dengan suara lembut, membuat Leo makin kesal.
"Kau seperti harimau liar di hadapanku, tapi mendadak jadi anak kucing jinak di depan kakakku!" ejek Leo.
Selene mendengus. "Kalau mau hormatku, kalahkan aku dulu."
Ethan menggeleng pelan dan menyerahkan botol air minum ke Selene. Tanpa pikir panjang, gadis itu menerimanya dan meneguk isinya dalam beberapa tegukan panjang.
"Selene, hari sudah sore. Apa kau akan makan malam di rumah kami?" tanya Ethan lembut.
Selene menggeleng. "Tidak, ibuku akan marah kalau aku pulang terlambat." Dia mengembalikan botol itu pada Ethan. "Terima kasih."
Lalu, dia bersiul.
"Hikkkk!"
Seekor kuda hitam berlari mendekat dengan anggun. Selene melompat ke punggungnya dengan gerakan gesit.
"Black, ayo pulang," ucapnya sambil mengelus surai kuda itu. Black langsung berlari kencang, meninggalkan kediaman Varkann.
Ethan tetap berdiri di tempatnya, matanya mengikuti kepergian Selene. Leo menatap kakaknya dengan curiga, lalu akhirnya bertanya, "Kakak, apa kau benar-benar menyukai gadis barbar itu?"
Namun, yang dia dapatkan hanyalah senyum samar sebelum Ethan berbalik dan pergi.
***
Malam yang Hangat di Rumah d’Aragon
Langit sore mulai berubah jingga saat Selene tiba di rumah. Angin membawa aroma ladang dan kayu bakar dari dapur. Dia langsung menuju ladang, tempat ibunya, Isolde, sedang memetik jagung.
"Ibu!" panggilnya.
Isolde menoleh, lalu mengerutkan hidungnya. "Selene, kau bau sekali," keluhnya sambil menutup hidung.
Selene mengendus tubuhnya sendiri, lalu meringis. "Apa sebau itu?"
"Pergilah mandi," kata Isolde sambil mengelus rambut putrinya. "Ibu sedang memasak sup jagung. Ayahmu membawa pulang rusa hari ini. Kita akan makan daging panggang malam ini."
Selene tersenyum lebar. "Wow! Aku suka itu!"
Setelah mandi, dia turun ke ruang makan, di mana aroma sup jagung dan daging panggang memenuhi udara.
"Putriku, kemarilah." Gideon, ayahnya, menyodorkan piring berisi daging panggang yang masih mengepulkan asap.
"Terima kasih, Ayah!" Selene langsung mengambil potongan besar dan menggigitnya. Rasanya begitu lezat meski hanya dibumbui garam dan lada.
Isolde menyajikan sup jagung, dan Selene mengambil sesendok penuh, meniupnya sebentar sebelum memasukkannya ke dalam mulut.
"Oh, ini tidak terlalu panas," katanya senang.
Isolde tersenyum kecil. "Tentu saja. Ibu sudah mendinginkannya untukmu."
Mereka makan dengan penuh kebahagiaan. Selene membagi daging ke piring orang tuanya sambil menceritakan latihannya hari ini.
"Leo tidak akan pernah bisa menyusulku," katanya bangga.
Tawa memenuhi meja makan. Malam terasa damai.
Namun, jauh di tengah hutan… sesuatu sedang terjadi.
***
Ancaman di Balik Bayangan
Di tengah pepohonan lebat, sekelompok pria berpakaian hitam berkumpul dalam bayangan.
"Kalian akan mengalihkan perhatiannya," bisik seorang pria yang tampaknya pemimpin mereka. "Sementara yang lain menyusup ke dalam rumah."
Mereka semua mengangguk.
"Baik. Mulai berpencar."
Dalam sekejap, mereka lenyap di antara pepohonan, bergerak menuju rumah keluarga d’Aragon. Malam ini, mereka akan memastikan bahwa Gideon d’Aragon tidak akan pernah menjadi ancaman bagi istana kekaisaran.
***
Serangan Mendadak
PRANG!
Suara kaca pecah mengejutkan Isolde yang sedang berganti pakaian di kamarnya.
"Isolde, kau tidak apa-apa?" Gideon segera masuk, ekspresinya penuh kewaspadaan.
"Aku baik-baik saja," jawabnya. Tapi hatinya mulai gelisah.
Gideon bergerak ke jendela, matanya menangkap bayangan seseorang berlari ke dalam hutan.
"Aku akan mengejar mereka." Dia mengambil pedangnya.
Isolde meraih lengannya. "Jangan terpancing. Mungkin mereka hanya ingin mengalihkan perhatianmu."
Gideon menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."
Dia berlari keluar, meninggalkan Isolde dengan perasaan yang semakin buruk.
Ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke lemari. Tangannya mengambil sebuah kotak kayu tua, membuka isinya—sebuah pedang dengan gagang permata ruby berkilauan.
"Sudah lama sekali…" gumamnya.
Namun sebelum dia sempat berbuat lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari bawah.
Seseorang telah menyusup ke dalam rumah mereka.
Isolde menghunus pedangnya dan bergegas turun. Saat sampai di ruang tamu, beberapa pria berpakaian hitam sudah berdiri, senjata mereka siap menyerang.
Pemimpin mereka melangkah maju, tatapannya dingin.
"Isolde d’Aragon… Tuanku ingin kau mati."