Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Motif Perundungan
Gita menatap Gio heran, lalu balik bertanya, "Kenapa Lo kelihatan bingung?"
Gio gelapan, namun dengan cepat kembali menormalkan raut wajahnya. "Saya kan cuma nanya aja. Kalau soal alamat kak Denting, Kalian bisa tanya saya," jawab Gio.
Gita membolakan mata. "Yang bener? Jangan bercanda deh."
Gio menggelengkan kepalanya, "Saya serius, tapi ... saya gak bisa jamin dia masih tinggal di alamat yang saya tau. Soalnya dia kan sudah pindah sekolah."
Yuli menoleh pada Gita. "Yah Lo gimana sih Gio, masa ngasih info gak update. Gimana Git, kita ke tetap ke sana atau enggak?" tanya Yuli.
Gita mengangguk mantap. Justru itu. Gue bahkan gak yakin kalau Denting sebenernya enggak pindah sekolah, bisa jadi dia udah ... ah entah. Pikiran gue saat ini terlalu liar.
"Oke. Kalau gitu, nanti sepulang sekolah, saya antar Kalian berdua ke sana," tukas Gio.
"Bisa naek angkot kan ke sananya?" tanya Gita yang kapok kesulitan mencari angkutan kota kemarin.
"Iya ada, tenang aja. Nanti saya kabari lagi rute angkotnya. Tapi, saya naik motor, ya," ucap Gio.
"Oke. Gue setuju, Lo gimana?" tanya Gita pada Yuli, yang langsung menyetujui rencana tersebut.
"Kalau gitu, saya duluan ke kelas. Yuli, kalau Kamu lihat tanda-tanda Gita mau bikin keributan, jangan ragu hubungi saya," tutur Gio kalem, seraya beranjak pergi dari sana.
Yuli mengacungkan jempol, sementara Gita mendengus sebal. Lalu mereka berdua pun bergandengan tangan menuju kelas, diiringi tatapan tak suka dari Risa yang sejak tadi memerhatikan interaksi Gita dan Gio, dari bangku di sebelah Karen.
***
Jam pelajaran berlangsung dengan tertib, pendingin udara di ruang kelas, membuat para siswa merasa nyaman di dalamnya.
Setelah memberikan tugas usai membahas materi pelajaran biologi, bu guru meninggalkan kelas sejenak.
"Meski di luar lagi terik, di dalam sini tetep adem dan nyaman. Emang sih sebanding sama iuran bulanannya," ucap Gita sambil menatap ke arah langit di balik kaca jendela.
Yuli yang saat itu duduk di sebelah Gita mengangguk dan bersyukur dalam hati. Kemudian ia teringat akan sesuatu.
"Git, ngomongin soal bayaran sekolah gini, bikin gue inget kalau kak Denting itu dapet beasiswa full sampe lulus, lho," tutur Yuli sambil memainkan resleting pencil case miliknya.
"Wah beruntung ya," balas Gita, ada rasa bangga sekaligus pedih dalam hatinya. Tentu gue tau soal itu, bahkan gue pernah jadi salah satu penerima beasiswa.
Sekolah Menengah Atas Pelita memiliki program beasiswa untuk siswa dan siswi yang berbakat dalam aneka bidang, pada setiap tahunnya. Dimulai sejak seleksi awal masuk sekolah, dengan konsekuensi sang siswa wajib aktif berpartisipasi dalam ajang kompetisi yang diperintahkan oleh pihak sekolah.
Namun pihak Pelita berhak mencabut beasiswa, jika siswa tidak aktif dalam kompetisi tersebut.
Gita yang berbakat dalam hal seni dan pernah memenangkan beberapa lomba melukis mewakili sekolahnya yang terdahulu, mendapatkan beasiswa tersebut, meski akhirnya terhenti.
Yuli menepuk Gita yang terlihat melamun.
"Lo mikirin apa?" tanya Yuli.
Gita tersentak. "Kayaknya gue tau, penyebab gue dirundung Karen," tutur Gita dengan ekspresi datar. Gue bener-bener harus memastikan hal itu kali ini.
Yuli seketika jadi was-was, terlebih saat Gita beranjak dari kursinya dan melangkah ke tempat duduk Karen.
"Duh! Gue harus hubungin Gio. Eh tapi ini masih di tengah jam pelajaran. Ck! Gue awasin dulu aja deh," gumam Yuli yang urung mengirimkan pesan pada Gio.
Sementara itu, Gita sudah berdiri di samping Karen. Gadis cantik berambut pendek itu mengetahui kehadiran Gita, tapi berpura-pura sibuk membaca buku paket biologinya.
Risa yang melihat itu bersorak dalam hati, berharap Gita akan berlaku kasar dan dipandang jelek oleh teman-teman sekelas, juga Gio. Namun dia enggan terseret lagi dalam kasus bersama Karen.
Sayangnya, Ara malah memberi kode agar Risa menegur Gita. Ara kini agak takut pada Gita, dia merasa Gita bisa bersikap kasar, sejak gadis itu menginjak kakinya beberapa waktu lalu.
Risa mengepalkan tangannya karena kesal merasa diperintah oleh Ara, namun gadis gemuk itu memasang wajah manis. Oke gue akan jadiin ini kesempatan buat bikin Gita kena masalah.
"Gita ... sebaiknya duduk, ya. Sekarang sedang jam pelajaran. Bukankah tadi bu guru sudah memberikan tugas untuk kita kerjakan?" tegur Risa lembut.
Gita melirik gadis gemuk itu tajam. "Bisa diem aja, gak?" geramnya dengan raut tegas.
Risa bergeming, tapi masih ingin terus memancing. Ayo Gita, keluarin emosi Lo. Biar saat sidang nanti, Lo pun dapat hukuman, dan Gio jadi eneg sama Lo yang bersikap jadi korban, padahal aslinya bar-bar.
"Gita .. gue hanya mengingatkan, tapi kalau memang Lo enggak peduli dengan perintah bu guru biologi, dan mengganggu ketenangan kelas kita, gue gak bisa apa-apa," tutur Risa lagi dengan santun.
Gita mengernyitkan kening. Ini bocah ngomong apa sih? Gue berdiri doang di sini lho. Sengaja pengen bikin gue kesel kayaknya. Cuekin aja lah.
Gita pun mengabaikan Risa yang masih memasang wajah bak gadis teladan. Lalu menepuk pundak Karen.
Mau tak mau, Karen mendongak pada Gita.
"Ikut gue sebentar. Penting!" desis Gita penuh penekanan.
Karen menelan ludah akibat merasakan aura intimidasi dari Gita, lalu mengikuti Gita ke luar ruangan tanpa protes.
Ara merosot di kursinya, merasa lega bahwa Gita hanya akan berurusan dengan Karen, sedangkan Risa memasang wajah masam karena rencananya tidak berhasil.
Risa memandang kepergian dua orang itu, lalu senyumnya terbit. Masih ada kesempatan.
"Kita mau ke mana?" tanya Karen, ketika mereka berdua berjalan sudah cukup jauh dari deretan ruang kelas.
Gita tetap diam dan terus berjalan. Sampai tiba di gedung dua lantai dekat perpustakaan.
Karen merasa cemas ketika Gita mulai menaiki anak tangga menuju lantai dua. Namun tetap mengikutinya. Langkah sepatu mereka terdengar jelas karena gedung itu sepi, tidak ada siswa di sana, karena gedung itu sedang direncanakan untuk dipugar.
Karen menelan ludah. Biasanya ini menjadi tempat ideal untuk melakukan perundungan, termasuk yang pernah ia lakukan pada gadis yang kini berjalan santai menelusuri lorong di depannya. Tapi saat ini, ia merasa jika dirinya yang akan dirundung Gita.
Gita memasuki ruangan tempat dirinya sering mendapat pembulian dari Karen dan Ara dengan dada sesak. Tapi kini pikirannya lebih fokus, ia memahami rasa sakit dan traumanya yang terpaut pada ruangan ini, dan kini ia ingin menyelesaikan masalah psikis itu dari akarnya.
"Duduk," titah Gita, seraya menunjuk sebuah kursi berdebu yang diletakkan sembarangan di tengah ruangan.
Karen masih berdiri tegang di mulut kelas kosong itu. Ini Gita mau balas dendam apa gimana ceritanya? Hah, gue gak takut!
"Kenapa? Lo takut gue bully di sini?" sinis Gita seraya duduk di tepi meja.
"Cih! Siapa juga yang takut sama cewek pendek kayak Lo," balas Karen, lalu duduk di kursi yang ditunjuk Gita.
Posisi mereka kini berhadapan dengan jarak hanya sekitar satu meter.
"Lo pasti akrab sama tempat ini, kan?" tanya Gita retoris.
Karen tetap diam tanpa menjawab.
"Gua akan tanya, kenapa waktu dulu itu ... Lo merobek buku sketsa gue?" tanya Gita pelan, sambil menatap ke arah jendela berdebu.
"Kan udah pernah gue bilang, karena gambar Lo jelek, lupa?" sinis Karen.
"Jawab yang bener sekarang, atau senin nanti gue akan membeberkan aib lo di depan orang tua, guru dan teman-teman lo," titah Gita penuh penekanan, dengan wajah masih menatap pepohonan berlatar langit di balik jendela itu.
Karen tampak diam sejenak. Apa ... apa Gita tau alasan gue nge-bully dia? Musta-
"Lomba ilustrasi buku legenda Nusantara beberapa bulan lalu," ucap Gita seraya menoleh pada Karen dan seketika membuat Karen membeku.
"Lo ingin ikut lomba itu, bukan? Tapi gue yang terpilih ... karena guru melihat sketsa dan lukisan gue di buku yang Lo rusak itu," tutur Gita.
Karen menelan ludahnya. Letupan emosi yang tiba-tiba muncul, membuat tubuh gadis itu gemetar.
Gita ingat sebuah momen berkesan sebelum ujian kenaikan kelas, ketika guru kesenian meminta dirinya menunjukan contoh hasil karya yang pernah ia buat. Kala itu ada tumpukan buku sketsa lain di meja sang guru.
Dulu Gita tak memperdulikan detail itu, tapi kini ia berpikir, jika mungkin saja portofolio yang ada di sana, salah satunya adalah milik Karen. Karena saat sebelum menghampiri guru kesenian itu, ia bertabrakan dengan gadis cantik bertubuh tinggi di depan ruang guru.
Gita menatap Karen yang masih diam dengan raut yang tampak marah. Gue ingin memastikan kalau saat itu yang nabrak gue adalah lo, Karen. Kalau itu be-
"Ya. Bener, gue adalah salah satu kandidat lomba buku itu," jawab Karen, ada kepahitan dalam nada suaranya.
Gita membolakan mata.Tebakan gue bener!
"Jadi beneran ini, Lo nge-bully gue gegara kalah saing? Astaga, gak bisa terima kenyataan banget." Gita menggelengkan kepalanya pelan. Parah, ternyata alasan dia nge-bully sampe bikin gue trauma hanya karena alasan itu.
"Gue gak masalah dengan terpilihnya Lo sebagai perwakilan sekolah kita," desis Karen.
Lalu nada suara Karen mulai naik, ia memuntahkan amarahnya, "Tapi gue bener-bener murka karena Lo dengan mudahnya membuang kesempatan berharga itu!"
Gita tersentak. Karen benar, dirinya tidak mengikuti lomba itu, karena melewatkan jadwalnya. Saat itu, pikiran gue udah terlalu kalut dan takut akan kejadian yang menimpa Denting, juga ancaman yang gue terima.
Kini Gita tak bisa berkata-kata, semua runtutan peristiwa itu, saling tumpang tindih, hingga ia lupa prioritas dan sampai kehilangan beasiswa.
"Gue bener-bener muak sama Lo Gita. Bahkan setelah lomba itu terlewat dengan sia-sia, Lo malah membuat lukisan buat Gio." Karen berucap penuh amarah, kekecewaan dan kebencian bercampur dalam dadanya.
Gita menelengkan kepalanya. "Lukisan? Lukisan apa ... hah? Jangan-jangan...?"
Gita mendadak merasa pening. Ia terhuyung ke belakang, namun tangannya berhasil menahan tubuhnya. Bersamaan dengan itu terdengar derap suara mendekat, lalu seseorang muncul di ambang pintu.
"Gita!" seru sosok itu, dengan raut khawatir.
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/