Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resah
Mobil berjenis SUV mengkilap yang dikendarai Maha saat ini melaju perlahan membelah jalanan ibukota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya temaram nya di bodi mobil yang menambah nuansa malam yang tenang. Dari dalam kabin, alunan lembut lagu dari Bruno Mars—Die with a smile, pun mengisi keheningan.
Maha bersenandung kecil, mengikuti irama lagu untuk mengusir kelelahan dan mengalihkan pikirannya dari penatnya hari. Sementara itu jari-jarinya sesekali mengetuk setir mengikuti beat musik dan tatapannya lurus menatap jalanan didepan.
Golden House, apartemen elit dan mewah yang menjadi tujuannya sudah semakin dekat. Maha menarik nafas panjang, untuk membiarkan suasana malam dan melodi menenangkan itu sedikit menyelubungi pikirannya sebelum ia harus kembali menghadapi Sadewa dan segala dinamika diantara mereka.
Beberapa saat kemudian, mobil Maha sudah tiba di area apartemen elit, Golden House, dan ia segera memarkirkan mobilnya di basement. Cahaya lampu neon memantul samar pada bodi mobilnya yang cukup mengkilap. Sejenak, ia duduk di kursi pengemudi, menarik nafas panjang untuk mengumpulkan energi.
Ia meriah mouth spray di atasnya yang tergeletak di bangku sebelahnya, kemudian menyemprotkan ke dalam mulutnya dengan hati-hati. Setelah itu, parfum dengan aroma floral juga ia semprotan disekitar leher dan pergelangan tangannya.
Meski lelah setelah seharian bekerja, Maha ingin memastikan dirinya tetap segar. Bagaimanapun, ia sadar bahwa Sadewa selalu memperhatikan detail kecil dan ia tidak ingin terlihat lusuh di depannya—walau hubungan mereka sebatas perjanjian.
Sesaat setelah Maha keluar dari mobilnya, dengan cepat ia merapikan pakaian dan rambut panjangnya agar terlihat lebih rapi. Mengingat waktu yang terus berjalan, ia tidak ingin terlambat. Sehingga ia segera bergegas menuju lift dengan langkah mantap meski ada rasa jengkel yang mulai merayapi pikirannya.
“Ini pasti dia nyuruh aku datang kesini buat bersihin unitnya. Soalnya, ‘kan, Sadewa baru pulang dari luar kota. Jadi pasti dia mikir kalau apartemennya kotor. Dan berkas ini cuma kedok dia aja, biar aku nggak bisa nolak permintaan dia.” Pikir Maha, matanya menatap kosong ke cermin lift.
Seperti kejadian sebelumnya, Maha merasa curiga dengan alasan Sadewa yang memintanya untuk datang ke apartemennya. Sudah jelas, ia pasti akan diminta untuk bersih-bersih.
“Dih, apaan, sih! Mana aku sempat-sempatnya pakai mouth spray sama parfum lagi. Tapi ujung-ujungnya malah jadi cleaning service, rugi dong?!” Gerutu Maha sambil menghentakkan kakinya di lantai.
Ting!
Pintu lift terbuka, dan tanpa menunggu lebih lama lagi. Maha melangkah keluar dengan langkah cepat menuju unit Sadewa. Pikirannya mulai terpecah antara kesal dan bingung, tapi hal itu tak menghalangi niatnya untuk segera menyelesaikan tugas yang sudah Sadewa berikan padanya.
Ting! Tong!
Maha menekan tombol bel, ia berdiri dengan tegang di depan pintu unit Sadewa. Beberapa menit terasa berjalan lambat, akhirnya pintu terbuka dengan suara berderit pelan, dan dibaliknya tampak Sadewa. Dengan penampilan yang begitu mempesona meskipun terlihat lelah. Saat ini, Sadewa mengenakan Jimbei, jenis kimono yang terbuat dari bahan satin atau linen. Jimbei hitam berbahan satin yang Sadewa kenakan itu mempunyai aksen emas yang elegan, membuatnya semakin tampak dominan dan berwibawa.
“Masuk,” ucap Sadewa, terdengar tenang dan penuh otoritas, tapi juga agak dingin.
Astaga, aku ini tamu tapi di ketusin gitu, dasar batu! Rutuk Maha yang merasa sedikit terabaikan karena tidak diberikan kesempatan untuk masuk lebih dihargai.
Tak ingin memperpanjang ketegangan atau membuat Sadewa semakin marah, Maha pun memutuskan untuk segera masuk kedalam. Meskipun suasana sedikit canggung, Maha merasa lebih tenang. Ia berusaha untuk bersikap biasa, berbeda dari pertama kalinya ia memasuki unit ini yang penuh dengan keinginan dan juga ketegangan.
Maha berdiri tidak jauh dari Sadewa yang tampak berbaring di sofa dengan kepalanya yang bersandar di punggung sofa dan matanya terpejam. Ada sesuatu dalam sikapnya yang mengundang rasa iba, namun juga membuat Maha merasa sedikit tergugah. Tanpa sadar, hatinya bergetar, dan sebuah dorongan halus membuatnya melangkah lebih dekat.
Dengan langkah pelan, Maha meletakkan tas dan berkas yang dibawanya di nakas samping sofa, lalu berjalan menghampiri Sadewa tanpa sepatah katapun, seraya mengikis lengan kemeja yang sedikit kusut. Ia tahu, bahwa Sadewa tampak sangat lelah. Semua itu terlihat jelas dari cara pria itu memejamkan matanya dengan nafas yang teratur, seolah dia tengah beristirahat, mencoba menyembuhkan dirinya dari kelelahan seharian.
Sesaat setelah Maha mulai memijat kepala Sadewa, tubuh pria itu tiba-tiba tertegun. Mungkin ia tidak mengira bahwa Maha akan melakukan itu. Perlahan, Sadewa membuka matanya dan mendapati Maha yang tengah fokus memijat kepalanya.
Terkejut, namun Sadewa merasa ada kehangatan dalam setiap sentuhan Maha yang membuatnya merasa nyaman. Apa ini? Kenapa Maha bersikap peduli seperti ini pada saya? Pikirnya. Namun, Sadewa tidak mengungkapkan kebingungannya itu. Ia hanya diam dan membiarkan Maha melanjutkan pijatan nya.
“Sebelumnya, saya minta maaf kalau lancang. Tapi, saya tahu Anda pasti sangat lelah, ‘kan? Makanya saya pijat biar lebih rileks. Soalnya saya nggak mau kalau nanti kena amukan Anda, pas lagi capek kayak gini.” Cetus Maha sambil memijat kepala Sadewa dengan lembut.
Dengan sentuhan yang terampil, Maha bisa merasakan bagaimana tubuh Sadewa perlahan terlepas dari ketegangan. Sementara itu, Sadewa hanya memejamkan matanya, membiarkan pijatan lembut itu membuat tubuhnya merasa sedikit lebih ringan. Meski tidak ada ekspresi jelas yang terlukis di wajahnya, tapi ada sensasi hangat yang mengalir dari sentuhan Maha, seolah seperti aliran listrik yang menerjang tubuhnya.
Sentuhan Maha yang ringan di kepala Sadewa membuatnya lupa sejenak pada segala tekanan dan kekacauan pikirkan nya. Tidak bisa dipungkiri, Sadewa menyukai perasaan itu, Maha memang berbeda, sangat berbeda dari apa yang ia bayangkan tentang hubungan mereka yang hanya berdasarkan kontrak. Ini lebih dari sekedar itu, ia merasakan sesuatu yang lebih dalam. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara Maha yang berbicara dengan nada ringan.
“Habis ini saya bersih-bersih, kok, jadi pijatnya sebentar aja ya, Pak.” ucap Maha.
Ucapan Maha terdengar seperti keluhan kecil, mengingatkan Sadewa pada kenyataan bahwa hubungan mereka memang tidak pernah sepenuhnya bebas dari peran yang harus dimainkan.
Sadewa yang tadinya hampir tenggelam dalam kenyamanan pijatan itu, pun membuka matanya. “Memangnya, saya menyuruhmu bersih-bersih?!” Balasnya tegas, cukup membuat Maha terdiam. Pandangan Sadewa yang biasanya tajam kini semakin tajam, menembus Maha dengan serius.
Sadewa bangkit dengan gerakan cepat, tubuhnya berdiri tegak. “Siapkan berkasnya, saya tunggu di ruang kerja saya!” Perintahnya terdengar tegas, tanpa kompromi.
Maha yang terdiam hanya hanya bisa menatap Sadewa yang sudah berbalik pergi, melangkah menuju ruang kerjanya. Tanpa sepatah kata lagi, Sadewa meninggalkan Maha sendirian di ruang tamu.
Maja memandang pintu ruang kerja yang sudah tertutup rapat. Perasaan jengah muncul dalam dirinya. Ada rasa frustasi yang sulit untuk diungkapkan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ia merasa berada dalam peran yang tidak pernah ia pilih.
“Lembur, lembur!” Gumamnya pelan, merasa dirinya terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah ada habisnya.
Maha melirik berkas yang saat ini sudah ia pegang. Ia tahu, malam ini akan terasa lebih lama daripada yang diharapkan. Namun, tanpa banyak pilihan, ia menarik nafas dalam-dalam dan melangkah menuju ruang kerja Sadewa dengan langkah mantap, siap menghadapi apapun yang akan datang.
Pada sudut lainnya, di dalam ruang kerja yang penuh dengan nuansa hitam elegan. Sadewa dengan tubuh yang masih terasa kaku, namun hatinya berdebar dengan cara yang tidak terduga. Membuat senyum kecil mengembang di bibirnya, meskipun hanya sekilas, saat dirinya teringat bagaimana Maha dengan lembut memijat kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menggelitik dalam dirinya, seolah ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya.
“Perasaan apa ini?” Gumamnya pelan, suara itu tenggelam oleh keheningan ruang kerjanya yang penuh kesan mewah.
Sadewa menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan dirinya. Namun, masih saja ada gemuruh di hatinya. Sepertinya saya terperangkap dalam permainan saya sendiri, pikirnya. Ia menatap kosong ke arah meja kerjanya, dimana beberapa berkas menunggu untuk segera diselesaikan. Namun, pikirannya bukan pada berkas-berkas itu. Ia teringat oleh Maha—gadis yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Dalam hubungan ini, Sadewa memang berharap lebih dan ia mengakuinya dalam hati. Ia tahu bahwa perasaan itu tidak bisa dipungkiri. Rasa yang tumbuh dari kehangatan perhatian Maha, meskipun ia tahu bahwa hal itu hanya bagian dari sebuah perjanjian yang telah disepakati.
Sadewa melangkah pelan menuju kursi kerjanya yang besar dan kokoh, duduk dengan hati yang gelisah. Wajahnya yang biasanya penuh ketegasan kini terlihat lebih lembut, seolah ada sisi lain yang mulia terbuka. Namun, ia takut untuk terlalu terbuka. Sebab ia tidak ingin berharap lebih, terutama ketika Maha jelas hanya melihatnya sebagai bagian dari kontrak semata.
“Jika kontrak ini selesai, saya tidak ingin ada lubang di hati saya.” Bisiknya, mengingatkan dirinya sendiri untuk menjaga jarak emosional. Namun, hatinya terus bertanya, apakah ia bisa menahan perasaan ini lebih lama?