NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Satu jam. Waktu terasa merayap seperti siput, namun jantungku berpacu seolah sedang dikejar ribuan kuda. Aku tidak menyalakan lampu utama di kamarku, hanya lampu meja yang temaram, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari-nari di dinding. Aku tidak berganti pakaian. Aku masih mengenakan blus kerja dan celana bahan yang kupakai seharian. Aku ingin dia melihatku apa adanya, lelah, marah, dan tidak siap untuk sandiwara romantis apa pun.

Aku duduk di tepi ranjang, punggungku tegak lurus, tanganku terkepal di pangkuan. Setiap suara dari luar kamar membuatku tersentak. Suara pintu ditutup, suara langkah kaki di lorong. Apakah dia akan datang? Atau apakah ancamanku hanya gertak sambal yang akan ditertawakannya? Aku telah mempertaruhkan segalanya pada satu langkah ini. Jika dia tidak datang, aku harus menepati kata-kataku untuk pergi. Pergi ke mana? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak akan tinggal di rumah ini satu hari pun lagi untuk menjadi bulan-bulanan Kak Binar.

Keraguan mulai merayap di benakku. Apa yang kulakukan ini benar? Ini gila. Aku, yang selama ini menolak disentuh, kini secara aktif mengundangnya ke kamarku. Aku menantangnya untuk melakukan sesuatu yang seharusnya menjadi momen paling intim dan sakral dalam sebuah pernikahan, tapi bagiku ini adalah transaksi. Sebuah cara untuk merebut kembali kekuasaan. Dengan menawarkan diriku di waktu yang tak terduga, aku telah merusak jadwal Kak Binar. Aku telah mengubah 'tugas' yang memalukan menjadi sebuah 'pilihan' yang kuambil sendiri. Setidaknya, itulah yang terus kukatakan pada diriku.

Tepat saat jarum jam di ponselku menunjukkan satu jam telah berlalu, terdengar ketukan yang sangat pelan di pintu. Sangat pelan, seolah takut terdengar oleh orang lain.

Jantungku seperti berhenti berdetak. Dia datang.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. "Masuk," kataku, suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga.

Pintu terbuka perlahan. Mas Danu melangkah masuk, lalu menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Dia tidak lagi mengenakan kemeja kerjanya, melainkan kaus polo abu-abu gelap dan celana pendek. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya temaram. Matanya menatapku dengan ekspresi yang tak terbaca, campuran antara kebingungan, rasa bersalah, dan mungkin sedikit ketakutan.

Dia tidak mendekat. Dia hanya berdiri di dekat pintu, seolah ragu untuk melangkah lebih jauh ke dalam wilayahku.

"Aku di sini," katanya pelan, suaranya serak. "Seperti yang kamu minta."

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya, membiarkan keheningan yang canggung memenuhi ruangan. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Apakah dia akan langsung mendekat dan menuntut haknya? Apakah dia akan mencoba membujukku?

Dia melakukan sesuatu yang tidak kuduga. Dia berjalan ke kursi belajarku, menariknya, dan duduk, menciptakan jarak yang aman di antara kami.

"Arini, kita tidak harus melakukan ini," katanya dengan suara rendah. "Aku tahu kamu melakukan ini karena marah. Karena merasa terpojok. Tapi ini bukan cara yang benar."

"Cara yang benar?" Aku tertawa sinis. "Apakah ada cara yang benar dalam situasi kita yang salah ini, Mas? Cara yang benar menurut siapa? Menurut Kak Binar dengan kalender ovulasinya?"

Dia meringis. "Bukan itu maksudku. Maksudku ... ini salah. Memulai sebuah keintiman dengan landasan amarah dan paksaan ... itu hanya akan menyakiti kita berdua lebih dalam."

"Saya sudah terlanjur sakit, Mas," balasku dingin. "Satu luka lagi tidak akan ada bedanya. Saya hanya ingin ini semua cepat selesai. Bukankah itu juga yang Mas inginkan? Bukankah itu yang diinginkan keluarga ini?"

Dia menatapku lama, tatapan matanya yang tajam seolah mencoba menembus benteng pertahananku. "Tidak," jawabnya pelan tapi tegas. "Itu yang Binar inginkan. Bukan aku."

Pengakuan itu membuatku terdiam.

"Sejak awal, aku tidak pernah setuju dengan ide ini," lanjutnya, suaranya dipenuhi penyesalan. "Tapi aku terlalu lemah untuk menolaknya. Aku terlalu takut kehilangan Binar. Aku pikir ... aku pikir aku bisa mengendalikannya. Aku pikir aku bisa melindungimu dari bagian terburuknya. Tapi aku gagal."

Dia menundukkan kepalanya, menatap tangannya sendiri. "Aku membiarkanmu terseret ke dalam neraka ini. Dan setiap hari, melihatmu menderita di bawah atap rumahku sendiri ... itu membunuhku perlahan-lahan, Arini."

Kata-katanya tulus. Terlalu tulus. Benih kebingungan di hatiku yang coba kumusnahkan kini mulai bertunas kembali dengan cepat. Aku benci perasaan ini.

"Kenapa Mas baru bilang sekarang?" bisikku. "Kenapa Mas tidak menolaknya dari awal?"

"Karena aku mencintainya," jawabnya lirih, sebuah jawaban yang sederhana namun rumit. "Atau setidaknya... aku pikir aku mencintainya. Aku berutang padanya."

Aku mengerutkan kening. "Berutang?"

Dia menghela napas panjang, seolah sedang mempersiapkan diri untuk membongkar sebuah rahasia yang telah lama ia simpan. "Ini cerita lama. Sebelum kami menikah. Dulu, aku adalah seorang pria yang bodoh dan gegabah. Aku hampir menghancurkan bisnis warisan ayahku karena salah mengambil keputusan investasi. Aku terlilit utang yang sangat besar. Nyaris bangkrut."

Aku mendengarkan dalam diam, terkejut. Selama ini aku hanya mengenal Mas Danu sebagai sosok pria sukses dan mapan. Aku tidak pernah tahu tentang masa lalunya.

"Saat semua orang meninggalkanku, Binar adalah satu-satunya yang bertahan," lanjutnya. "Dia tidak hanya memberiku dukungan moral. Ayahnya ... pamanmu... dia yang membantuku. Dia menyuntikkan dana yang sangat besar ke perusahaanku, menyelamatkanku dari kehancuran. Tanpa bantuannya, aku tidak akan menjadi siapa-siapa hari ini."

"Dan syaratnya ... adalah Mas harus menikahi Kak Binar?" tebakku.

Dia menggeleng. "Tidak. Tidak ada syarat seperti itu. Pamanmu tulus membantuku. Tapi aku merasa berutang budi seumur hidup. Dan Binar ... dia begitu mencintaiku. Menikahinya terasa seperti hal yang benar untuk dilakukan. Sebagai cara untuk membalas semua kebaikannya. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku juga mencintainya."

Kebenaran itu menghantamku. Pernikahan mereka yang tampak sempurna, yang selalu membuatku iri, ternyata dibangun di atas fondasi utang budi.

"Lalu ... penyakitnya?" tanyaku pelan.

"Penyakitnya nyata," jawabnya cepat. "Endometriosisnya memang parah. Vonis dokter itu benar. Tapi ... reaksinya terhadap vonis itu ... menjadi tidak terkendali. Dia menjadi terobsesi. Dia menjadikan 'punya anak' sebagai satu-satunya tujuan hidup, satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dia adalah istri yang sempurna. Seolah-olah itu adalah cara terakhirnya untuk mengikatku."

Dia akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku. Matanya dipenuhi kesedihan yang begitu dalam.

"Dan saat obsesinya itu tidak terpenuhi, dia mulai mencari target lain. Dia mulai melihatmu bukan sebagai adik, tapi sebagai ancaman. Saat aku mulai memperlakukanmu dengan baik, karena demi Tuhan, Arini, kamu tidak pantas diperlakukan seperti sampah kecemburuannya meledak. Dia takut... dia takut aku akan melihat apa yang selama ini ada di depan mataku."

Jantungku berdebar kencang. "Melihat ... apa?"

Dia berdiri dari kursinya, melangkah perlahan ke arahku. Dia berhenti tepat di depanku, tapi tidak menyentuhku.

"Melihat bahwa wanita yang selama ini kucari, wanita yang kuat, yang tulus, yang tidak pernah meminta apa-apa tapi pantas mendapatkan segalanya... ternyata adalah kamu," bisiknya. "Aku melihatmu, Arini. Aku selalu melihatmu. Bahkan saat aku mencoba untuk tidak melihat."

Duniaku seakan berputar. Pengakuan ini... ini lebih mengejutkan daripada apa pun yang pernah kudengar.

"Aku ... aku tidak mengerti," gagapku.

"Kamu tidak perlu mengerti sekarang," katanya lembut. "Tapi kamu harus tahu satu hal. Aku tidak akan pernah menyentuhmu karena paksaan. Tidak malam ini, tidak kapan pun. Jika suatu saat nanti kita bersama, itu harus karena kita berdua menginginkannya. Bukan karena jadwal, bukan karena tugas, dan jelas bukan karena Binar."

Dia berjongkok di hadapanku, membuat posisi mata kami sejajar. Untuk pertama kalinya, aku tidak menghindar dari tatapannya.

"Arini, aku tahu aku tidak punya hak untuk meminta ini. Tapi bisakah kamu memberiku kesempatan? Kesempatan untuk memperbaiki semua ini. Kesempatan untuk memperjuangkanmu, bukan hanya melindungimu dalam diam."

Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh. Bukan air mata kemarahan atau kesedihan. Tapi air mata kelegaan yang aneh. Seolah beban yang kupikul selama berbulan-bulan tiba-tiba terangkat sebagian. Ternyata, aku tidak sendirian dalam neraka ini. Ada orang lain yang melihat penderitaanku, yang mengakuinya.

Tapi kemudian, realita kembali menghantam. "Bagaimana dengan Kak Binar?" bisikku. "Mas masih suaminya."

Raut wajahnya kembali mengeras. "Dia istriku. Dan aku akan tetap bertanggung jawab atas kesehatannya. Tapi aku tidak akan lagi membiarkan penyakitnya menjadi senjata untuk memanipulasi dan menyakiti orang lain. Terutama kamu. Sudah cukup."

Dia mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuhku, tapi seolah meminta izin. Dengan ragu, aku meletakkan tanganku di atas telapak tangannya. Jarinya terasa hangat dan kuat saat menggenggam tanganku.

"Kita akan hadapi ini bersama," katanya. "Tapi untuk malam ini ... tidurlah. Kamu butuh istirahat. Tidak akan terjadi apa-apa."

Dia melepaskan tanganku, bangkit berdiri, dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berbalik.

"Terima kasih sudah memaksaku datang malam ini, Arini," katanya dengan senyum kecil yang pertama kali kulihat ditujukan tulus untukku. "Kamu membantuku mengungkap kebenaran yang selama ini kutakuti untuk kuakui pada diriku sendiri."

Pintu tertutup pelan, meninggalkanku sendirian dalam keheningan. Tapi keheningan kali ini terasa berbeda. Tidak lagi mencekam. Aku menatap tanganku yang tadi digenggamnya. Masih terasa sisa kehangatannya.

Malam itu, aku memang tidak disentuhnya secara fisik. Tapi kata-katanya, pengakuannya, telah menyentuh hatiku di tempat yang paling dalam. Kebenaran telah terungkap. Dan meskipun jalan di depan masih gelap dan penuh ketidakpastian, untuk pertama kalinya sejak pernikahan ini, aku melihat secercah cahaya. Cahaya kecil bernama harapan.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!