Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GERBANG AWAL KEHANCURAN
Sebuah gedung kecil yang dipenuhi dekorasi bunga putih dan krem, lampu-lampu gantung temaram yang menciptakan suasana hangat, dan alunan musik akustik yang lembut mengiringi setiap momen pesta pernikahan Asha dan Adit hari ini.
Tamu undangan yang hadir hanyalah teman dekat, kolega kantor, serta rekan-rekan kuliah mereka berdua. Merekalah yang benar-benar mengenal kisah perjuangan Asha dan Adit, dan karena itu mereka datang dengan senyum bangga serta ucapan selamat yang tulus. Tidak ada wajah-wajah dari pihak keluarga besar Ratna—tidak ada bibi, paman, atau kerabat jauh yang seharusnya memenuhi kursi depan.
Jelas, kedua orangtua Asha terlahir sebagai anak tunggal hingga ia memang tidak memiliki keluarga siapapun. Namun, bagi Ratna, ia memilih untuk tidak mengundang siapapun dari keluarganya, sebab, malu memiliki Asha sebagai pendamping Adit.
Kecuali, Maya. Kalau bukan pesta dan undangan Adit, ia tidak ingin bertemu dengan Faris, mantan suaminya yang kini duduk di depan altar sebagai saksi atas pernikahan adiknya.
Di tengah semua itu, Asha berdiri dengan kecantikan yang tak pernah Adit lihat sebelumnya. Gaun putih yang sederhana—tanpa payet berlebihan, tanpa ekor panjang—justru menonjolkan keanggunannya. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi bunga kecil yang membuat wajahnya tampak lebih lembut dan matang. Ada sinar hangat di matanya, bukan hanya bahagia, tetapi juga lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai seseorang yang harus menyenangkan siapa pun.
Saat Asha berjalan menuju altar kecil tempat Adit akan mengucapkan janji akad untuknya, para tamu sempat terdiam. Beberapa tersenyum, beberapa bahkan menahan haru. Wajahnya memancarkan ketenangan dan kecantikan yang lahir dari kesungguhan hati, bukan dari riasan tebal.
"Apakah sudah siap?" tanya penghulu, matanya menatap Adit penuh arti.
Adit menoleh sejenak ke arah Asha, menatapnya dengan lembut namun mantap. Setelah itu, dengan suara hati yang tegas, ia mengangguk.
"Baik. Kita mulai."
Adit menghela udara dalam, sesaat sebelum ia meraih ruas jemari sang penghulu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Asha binti Guntoro dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas sebesar dia puluh lima gram, di bayar tunai."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar jelas di seluruh ruangan, dan para tamu. Mulai dari teman, sahabat, serta kolega —menjadi saksi hidup atas janji yang baru saja diucapkannya.
"Bagaimana para saksi?" Tanya pria paruh baya, sambil menatap ke seluruh tamu yang hadir. Matanya menelusuri setiap wajah, memastikan bahwa akad berlangsung dengan sah dan sakral.
Para saksi mengangguk, beberapa mengucapkan "sah" serempak, menandai bahwa janji itu telah diterima dan diakui secara resmi. Suasana khidmat menyelimuti ruangan, hangat dan penuh makna, menandai awal dari perjalanan baru Asha dan Adit sebagai pasangan suami istri.
Asha menunduk sedikit, jantungnya berdebar kencang, tapi senyum tipisnya menenangkan Adit. Dengan tangan gemetar halus karena gugup tapi penuh kasih, Adit menyelipkan cincin itu ke jari manis Asha. Cincin itu meluncur sempurna, dan Asha menatapnya sejenak sebelum menatap mata Adit.
Giliran Asha mengambil cincin Adit. Tangannya bergetar ringan, tapi matanya penuh ketulusan. Ia memasangkan cincin itu ke jari manis Adit, dan senyumnya merekah—senyum yang bukan hanya untuk Adit, tetapi untuk seluruh perjalanan yang membawa mereka ke momen ini.
Para tamu menahan napas sejenak, kemudian bersorak pelan, tepuk tangan hangat menggema di ruangan. Sementara, Ratna dan Maya nyaris tak berekspresi. Tatapannya lurus memandang Asha, tanpa sedikitpun kerutan di dahi atau kedipan mata yang menandakan reaksi. Hanya diam yang terasa berat, seolah ruang di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang tak terucapkan.
"Mama gak akan biarin wanita rendah itu bahagia." Gumam Ratna, terdengar jelas di telinga Maya. "Dia itu gak pantas hidup bahagia bersama Adit."
"Aku setuju, Ma." Angguk Maya. "Perempuan seperti dia memang gak pantas mendapatkan kebahagiaan. Dia gak tahu aja... kalau pernikahannya bersama Adit adalah gerbang awal dari kehancurannya. Iya kan, Ma?"
Ratna tersenyum pahit sambil matanya tetap terus mengunci setiap gerak Asha. "Setuju, May. Mama pastikan itu."
****