NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Tes Wawasan Ayah Juan

Bab 23: Tes Wawasan Ayah Juan

Yuni menutup pintu kamar tamunya.

Klik.

Suara kunci yang berputar terdengar seperti tembakan pistol di keheningan pagi.

Dia bersandar di daun pintu kayu jati yang dingin itu.

Kakinya gemetar hebat.

Bukan hanya karena asam laktat yang menumpuk di betisnya akibat tanjakan curam di bukit belakang vila tadi.

Tapi karena sisa-sisa percakapan dengan Oma yang masih berdengung di telinganya.

Kata-kata itu.

"Sepuluh persen."

Angka itu terngiang di kepalanya.

Bukan sebagai statistik matematika.

Tapi sebagai metafora sebuah celah pintu besi yang nyaris tertutup rapat, menyisakan sedikit cahaya yang menyilaukan sekaligus menakutkan.

Yuni menyeret langkahnya menuju kamar mandi.

Lantai marmer di kamar mandi itu sangat luas, lebih luas dari ruang tamu di rumah orang tuanya.

Dia menyalakan shower.

Air hangat menyembur deras.

Tapi bahkan air panas itu tidak cukup untuk meluruhkan ketegangan yang membeku di otot-otot bahunya.

Dia mandi kilat.

Membersihkan keringat dingin yang lengket.

Pukul 07:30.

Dia berdiri di depan lemari walk-in closet yang sebagian besar kosong, hanya berisi koper bututnya yang terbuka.

Dia harus berganti baju.

Setelan olahraga yang basah itu harus segera disingkirkan.

Dia memilih dress batik.

Bukan batik tulis mahal. Batik cap motif parang rusak.

Warna cokelat tanah yang membumi.

Potongannya sederhana, selutut, dengan kerah sabrina yang sopan.

Dia mematut diri di cermin besar berbingkai emas.

"Kamu Yuni," bisiknya pada bayangannya yang terlihat pucat.

"Kamu bukan putri keraton. Kamu anak Sastra yang butuh uang."

"Jangan lupa itu."

Juan bilang sarapan akan dimulai pukul 08:00.

Dia melirik jam dinding antik buatan Swiss di atas nakas.

Jarum jam bergerak tanpa suara.

Sekarang pukul 07:45.

Lima belas menit lagi.

Cukup untuk mengeringkan rambut yang setengah basah dan memulas bedak tipis untuk menutupi kantung mata.

Tiba-tiba.

Tok. Tok. Tok.

Tiga ketukan.

Berjarak sama.

Ritme yang presisi.

Bukan ketukan Juan yang biasanya santai, cepat, atau disertai bisikan.

Ini ketukan staccato. Formal. Tanpa emosi.

Seperti ketukan petugas sensus. Atau malaikat pencabut nyawa.

Yuni meletakkan sisirnya.

Jantungnya mencelos.

Dia berjalan ke pintu. Membukanya perlahan.

Seorang pelayan pria berdiri tegak di sana.

Usianya sekitar lima puluhan. Rambutnya memutih di bagian pelipis, disisir klimis ke belakang.

Seragamnya abu-abu tua, tanpa satu pun kerutan.

Dia membungkuk sedikit. Sangat sedikit.

"Nona Yuni?"

Suaranya datar.

"Iya, Pak?"

"Bapak Adhitama memanggil Anda."

Yuni membeku.

Tangannya mencengkeram gagang pintu lebih erat.

"Bapak? Ayah Juan?"

"Benar. Di ruang kerja pribadinya."

"Sekarang?"

"Sekarang."

"Tapi... sarapan..."

"Bapak bilang sarapan bisa menunggu lima belas menit."

"Tapi Anda tidak."

Kalimat itu adalah perintah.

Tanpa persiapan.

Tanpa naskah.

Tanpa Juan di sampingnya untuk membisikkan jawaban.

"Baik," kata Yuni, suaranya terdengar kecil. "Tolong antarkan saya."

Pelayan itu berbalik.

Berjalan memimpin jalan dengan langkah tegap yang tidak bersuara di atas karpet tebal.

Yuni mengikutinya.

Mereka berjalan meninggalkan Sayap Timur yang terang dan menghadap taman.

Menuju Sayap Barat.

Wilayah yang jarang dilewati.

Koridor di sini lebih gelap.

Dindingnya dilapisi panel kayu mahoni tua yang warnanya nyaris hitam.

Ada lukisan-lukisan potret leluhur keluarga Adhitama yang tergantung di sepanjang dinding.

Pria-pria berwajah keras dengan jas kuno dan kumis tebal.

Mata mereka seolah mengikuti langkah Yuni.

Menilai penyusup kecil yang berani masuk ke wilayah mereka.

Udara di sini berbau beda.

Bukan bunga sedap malam.

Tapi bau lilin lebah, kayu tua, dan sedikit aroma tembakau yang menyengat.

Bau kekuasaan.

Pelayan berhenti di depan sebuah pintu ganda yang sangat besar.

Tingginya mungkin tiga meter.

Gagang pintunya terbuat dari kuningan yang dipoles mengkilap.

Pelayan mengetuk dua kali.

Tok. Tok.

"Masuk."

Suara berat terdengar dari dalam. Teredam namun jelas.

Suara bariton yang terbiasa memberi komando di ruang rapat direksi.

Pelayan memutar gagang pintu.

Membuka pintu berat itu lebar-lebar.

Lalu dia mundur selangkah. Memberi isyarat tangan agar Yuni masuk.

Dia tidak ikut masuk.

Yuni menarik napas panjang.

Mengisi paru-parunya dengan keberanian palsu.

Dia melangkah masuk ke dalam gua singa.

Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik yang final.

Ruangan itu... maskulin.

Gelap. Dingin.

Tirai-tirai berat berwarna hijau emerald ditutup setengah, menghalangi cahaya matahari pagi yang ceria.

Hanya ada satu lampu meja yang menyala di ujung ruangan, menciptakan lingkaran cahaya kuning di atas meja kerja.

Dindingnya dipenuhi rak buku yang menjulang sampai ke langit-langit.

Ribuan buku.

Tapi bukan novel. Bukan kumpulan puisi cinta.

Yuni bisa membaca judul-judul di punggung buku yang terbuat dari kulit itu.

The Wealth of Nations.The Art of War. Encyclopedia Britannica. Hukum Perdata Internasional. Biografi Churchill, Rockefeller, Napoleon.

Buku-buku tentang penaklukan. Tentang strategi. Tentang uang.

Di tengah ruangan, di balik meja kerja mahoni raksasa yang permukaannya bersih mengkilap, duduk Pak Adhitama.

Ayah Juan.

Dia memakai kemeja putih yang lengan bajunya digulung rapi sampai siku.

Ada kacamata baca bertengger di ujung hidungnya yang mancung.

Dia sedang membaca koran Financial Times edisi cetak.

Kertas koran berwarna merah muda salmon itu berdesir saat dia membalik halamannya.

Asap tipis mengepul dari asbak kristal di sampingnya.

Cerutu yang baru dibakar. Aromanya manis dan berat.

Dia tidak mendongak saat Yuni masuk.

Dia membiarkan Yuni berdiri di sana selama satu menit penuh.

Membiarkan keheningan dan intimidasi ruangan itu meresap ke dalam tulang Yuni.

"Duduk," katanya akhirnya.

Tanpa melihat.

Yuni duduk di kursi tamu yang ada di depan meja.

Kursi kulit berwarna cokelat tua.

Sandarannya rendah. Dudukannya empuk tapi membuat tubuh tenggelam.

Posisi yang sengaja dirancang agar orang yang duduk di sana harus mendongak untuk melihat orang di balik meja.

Pak Adhitama melipat korannya dengan gerakan lambat dan metodis.

Melipatnya menjadi persegi panjang yang sempurna.

Meletakkannya di sisi meja.

Lalu dia melepas kacamata bacanya.

Menatap Yuni.

Mata itu.

Mata yang sama dengan Juan. Cokelat tua.

Tapi jika mata Juan memiliki kilatan kenakalan, mata Pak Adhitama memiliki kedalaman yang gelap dan keras.

Seperti sumur tua yang kering.

"Yuni," katanya.

Suaranya tidak keras, tapi menggema di ruangan yang sunyi.

"Saya dengar kamu anak Sastra."

"Iya, Om."

"Sastra apa?"

"Sastra Indonesia, Om."

"Hm."

Dia mengambil cerutu yang masih berasap itu.

Memutarnya di antara jari telunjuk dan jari tengah.

Cincin kawin emas polos berkilau di jari manisnya.

"Apa gunanya?"

Yuni mengerjap. "Maaf?"

"Apa gunanya Sastra di dunia bisnis global ini?"

Pak Adhitama mencondongkan tubuhnya ke depan.

Sikunya bertumpu di meja.

"Dunia ini digerakkan oleh angka, Yuni. Oleh profit marjin. Oleh efisiensi mesin. Oleh algoritma saham."

"Anak saya, Juan, membangun masa depan dengan teknologi. Engineering."

"Keponakan saya, Kevin, bermain dengan hedge fund di London."

"Kamu?"

Dia menatap Yuni seolah sedang melihat spesimen serangga yang tidak berguna.

"Kamu cuma membaca cerita bohong yang ditulis orang mati."

"Puisi. Prosa. Imajinasi."

"Hal-hal abstrak yang tidak bisa diuangkan."

"Bagaimana kamu bisa jadi aset buat keluarga ini? Selain jadi pajangan manis yang bisa mengutip puisi senja di pesta koktail?"

Yuni menelan ludah.

Penghinaan itu terasa personal.

Bukan menyerang status ekonominya. Tapi menyerang identitas intelektualnya.

Menyerang satu-satunya hal yang dia banggakan.

Darahnya berdesir.

Otak sastranya bekerja cepat.

Dia tidak boleh melawan dengan data. Dia akan kalah telak. Dia tidak tahu berapa harga saham hari ini.

Dia harus melawan dengan filosofi. Dengan retorika.

Yuni menegakkan punggungnya. Melawan gravitasi kursi yang menenggelamkan itu.

"Om benar," katanya pelan.

Suaranya stabil.

"Dunia digerakkan oleh angka."

"Tapi angka tidak punya jiwa, Om."

Pak Adhitama berhenti memutar cerutunya. Alis tebalnya terangkat sebelah.

"Angka butuh cerita supaya orang mau percaya," lanjut Yuni.

"Kenapa saham perusahaan Om naik? Bukan cuma karena laporan neraca yang seimbang."

"Tapi karena narasi yang Om bangun di media. Karena visi yang Om ceritakan di depan investor."

"Juan bisa bikin mesin terhebat di dunia. Tapi mesin itu benda mati."

"Kalau dia tidak bisa menceritakan kenapa mesin itu penting bagi kemanusiaan..."

"Kalau dia tidak bisa menyentuh emosi orang yang akan membelinya..."

"Investor tidak akan tergerak mengeluarkan uang."

Yuni menatap lurus ke mata pengusaha itu.

"Saya bukan insinyur. Saya tidak paham cara kerja piston."

"Tapi saya paham manusia. Saya paham bahasa."

"Peran saya adalah menjadi penerjemah."

"Menerjemahkan kompleksitas Juan menjadi cerita yang bisa diterima hati manusia."

Hening.

Lama sekali.

Hanya suara detak jam dinding yang mengisi jeda itu.

Tik... Tok... Tik... Tok...

Pak Adhitama menatapnya tajam.

Tidak ada senyum.

Tapi ada sedikit pergeseran di matanya.

Dari meremehkan menjadi... penasaran.

"Penerjemah," gumamnya. "Jembatan."

"Kamu pandai bersilat lidah. Khas orang Sastra. Jago metafora."

Dia membuka laci mejanya dengan gerakan kasar.

Mengeluarkan sebuah majalah bisnis tebal. The Economist.

Edisi terbaru. Masih bau tinta cetak.

Dia melemparnya ke hadapan Yuni.

Majalah itu meluncur di atas meja licin dan berhenti tepat di depan tangan Yuni.

"Buktikan," tantangnya.

"Halaman 45. Artikel utama. Tentang krisis rantai pasok semikonduktor."

"Baca. Saya kasih waktu lima menit."

Dia melirik jam tangannya yang berlapis emas.

"Saya tidak butuh angka. Saya punya seratus analis untuk itu."

"Rangkum buat saya dalam bahasa manusiamu."

"Cari 'jiwa' dari masalah ini, kalau memang ada."

"Kalau kamu gagal, silakan angkat kaki dari meja makan saya."

Yuni mengambil majalah itu.

Tangannya dingin. Ujung jarinya kesemutan.

Semikonduktor? Microchip?

Dia membuka halaman 45.

Halaman itu penuh dengan teks bahasa Inggris yang padat. Tiga kolom. Font kecil.

Grafik batang dan diagram alur yang rumit.

Istilah teknis bertebaran seperti ranjau darat.

Silicon wafers. Foundries. Geopolitics. Taiwan Strait tension. Nanometer nodes.

Kepala Yuni pening seketika.

Dia tidak tahu apa itu wafer selain biskuit cokelat. Dia tidak tahu bedanya 5 nanometer dan 7 nanometer.

Kepanikan mulai merayap di tengkuknya.

Tapi dia ingat cara dia membedah novel yang sulit. Ulysses. Buru Quartet.

Jangan terpaku pada kata yang tidak dimengerti.

Cari strukturnya.

Cari konfliknya.

Cari tokohnya.

Siapa Protagonisnya?Chip komputer. Otak dari segala benda modern.

Siapa Antagonisnya? Geopolitik. Perang. Pandemi. Ketakutan.

Apa Plotnya?Ketergantungan.

Yuni membaca cepat.

Matanya melompat dari paragraf ke paragraf. Bukan mencari data, tapi mencari alur cerita.

Dunia ini seperti tubuh raksasa yang bergantung pada satu organ kecil.

Dan organ itu ada di tempat yang berbahaya.

Satu menit berlalu.

Dua menit.

Tiga menit.

Pak Adhitama mengetuk meja dengan jari telunjuknya.

Tok. Tok.

Suara ketukan itu mempercepat detak jantung Yuni.

Empat menit.

Dia menemukan intinya. Di paragraf terakhir.

Lima menit.

"Waktu habis," kata Pak Adhitama dingin.

"Jelaskan."

Yuni menutup majalah itu perlahan.

Dia tidak hafal angkanya. Dia tidak ingat nama perusahaannya.

Tapi dia paham tragedinya.

Yuni menarik napas.

"Ini bukan masalah teknis, Om," kata Yuni.

"Ini cerita tentang ironi."

Pak Adhitama menyandarkan punggungnya ke kursi. "Ironi?"

"Ya. Ironi bahwa seluruh dunia modern yang canggih, raksasa, dan mahal ini..."

Yuni merentangkan tangannya sedikit.

"...ternyata berlutut tak berdaya pada benda sekecil kuku jari."

"Benda yang hanya diproduksi di satu wilayah kecil yang sedang diperebutkan dua raksasa yang mau perang."

"Ini cerita tentang ketergantungan yang berbahaya, Om."

"Seperti tubuh raksasa dengan jantung yang ada di luar badan."

"Siapapun yang memegang jantung itu, dia yang menguasai nyawa industri global. Dari mobil di garasi Om sampai HP di saku saya."

"Dan sekarang... jantung itu sedang diremas."

Hening.

Lama sekali.

Asap cerutu mengepul, membentuk spiral abu-abu di udara yang stagnan.

Pak Adhitama tidak melihat ke majalah itu.

Dia menatap lurus ke mata Yuni.

Mencari keraguan. Mencari ketakutan.

Dia mencari angka. Tapi Yuni memberinya analogi.

Dia mencari data. Tapi Yuni memberinya metafora.

Dan itu... masuk akal.

Bahkan, itu brilian dalam kesederhanaannya.

Perlahan, sangat perlahan, sudut bibir Pak Adhitama berkedut.

Dia tertawa.

Singkat. Berat. Kering.

Huh.

"Tubuh raksasa dengan jantung di luar badan," ulangnya gumam.

"Puitis."

"Kevin butuh sepuluh grafik PowerPoint dan tiga puluh menit presentasi untuk menjelaskan risiko geopolitik Taiwan kepada saya."

"Dan kamu menjelaskannya dalam satu menit seperti sinopsis novel thriller."

Dia berdiri.

Mendorong kursinya ke belakang.

Berjalan ke arah jendela besar, membelakangi Yuni.

Menatap ke luar, ke arah taman yang luas.

"Tapi kamu benar. Itu inti masalahnya. Ketergantungan dan kerentanan."

Dia berbalik menatap Yuni lagi.

Ada kilatan penghargaan di sana. Walaupun tipis setipis kertas.

"Kamu lolos, Anak Sastra."

"Kamu bisa melihat benang merah yang sering dilewatkan orang teknis karena mereka terlalu sibuk melihat mikroskop."

"Kamu punya visi helikopter."

Yuni menghela napas lega. Bahunya turun.

Tapi wajah Pak Adhitama kembali mengeras.

Topeng CEO kembali terpasang.

"Tapi ingat."

Dia berjalan mendekat.

Berhenti tepat di depan Yuni.

Bau tembakaunya menyengat.

"Cerita bagus saja tidak bisa membayar tagihan listrik vila ini."

"Kamu harus punya kulit tebal."

"Clarissa datang sebentar lagi."

"Dan dia tidak akan ngetes kamu pakai majalah bisnis."

"Dia akan ngetes kamu pakai masa lalu. Pakai kenangan."

"Sesuatu yang tidak bisa kamu karang dengan kata-kata indah atau metafora puitis."

"Karena kamu tidak ada di sana saat kenangan itu dibuat."

"Siap-siap."

Pak Adhitama mematikan cerutunya di asbak kristal. Menekannya kuat-kuat sampai apinya mati.

Simbolis.

"Keluar. Jangan telat sarapan."

Yuni berdiri.

Kakinya lemas seperti jeli.

"Terima kasih, Om."

Dia berbalik.

Berjalan keluar dari ruangan yang menyesakkan itu.

Saat pintu jati berat itu tertutup di belakangnya, Yuni bersandar ke dinding koridor.

Memegangi dadanya.

Mengatur napasnya yang memburu.

Dia berhasil.

Dia selamat dari sarang singa.

Bukan dengan berpura-pura pintar bisnis.

Tapi dengan menjadi dirinya sendiri.

Seorang pencerita.

Tapi peringatan Pak Adhitama terngiang seperti sirene bahaya.

Kenangan.

Itu satu-satunya genre cerita yang Yuni tidak kuasai di sini.

Karena dia adalah karakter baru yang masuk di season terakhir.

Yuni merapikan rambutnya. Memastikan tidak ada helai yang berantakan.

Babak selanjutnya menanti di ruang makan.

Dan kali ini, musuhnya bukan artikel majalah yang bisu.

Tapi wanita masa lalu yang nyata, cantik, dan memegang semua kartu kenangan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!