Hera membaca novel Fantasi yang tengah trending berjudul "Love for Ressa", novel klasik tentang Dante, seorang Duke muda yang mengejar cinta seorang gadis bernama Ressa.
Tentunya kisah ini dilengkapi oleh antagonis, Pangeran Mahkota kerajaan juga menyukai Ressa, padahal ia telah bertunangan dengan gadis bernama Thea, membuat Thea selalu berusaha menyakiti Ressa karena merebut atensi tunangannya. Tentunya Altair, Sang Putra Mahkota tak terima saat Anthea menyakiti Ressa bahkan meracuninya, Ia menyiksa tunangannya habis-habisan hingga meregang nyawa.
Bagi Hera yang telah membaca ratusan novel dengan alur seperti itu, tanggapannya tentu biasa saja, sudah takdir antagonis menderita dan fl bahagia.
Ya, biasa saja sampai ketika Hera membuka mata ia terbangun di tubuh Anthea yang masih Bayi, BAYANGKAN BAYI?!
Ia mencoba bersikap tenang, menghindari kematiannya, tapi kenapa sikap Putra Mahkota tak seperti di novel dan terus mengejarnya???
#LapakBucin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
...****************...
Ballroom istana Scarelion bersinar di bawah gemerlap cahayanya, cermin-cermin besar memantulkan kilauan perhiasan dan kain sutra yang berkilauan. Di tengah keramaian, Anthea dan Altair menjadi pusat perhatian.
Dengan tangan kanan Altair menggenggam lembut tangan Anthea dan tangan kirinya melingkar di pinggang rampingnya, mereka mulai bergerak mengikuti irama musik yang dimainkan oleh orkestra istana.
Anthea merasa jantungnya berdebar kencang, menyesuaikan langkahnya yang masih ragu-ragu dengan Altair yang bergerak anggun seperti ia dilahirkan untuk memimpin. Senyum Altair tetap tenang, penuh kehangatan, seolah memberinya keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun, ketika musik mencapai nada tinggi, Anthea tanpa sengaja menginjak kaki Altair. Seketika, pipinya memerah malu, napasnya tersendat.
“Astaga, maafkan aku,” kata Anthea dengan suara serak dan berbisik.
Altair hanya tertawa kecil, bisikannya lembut di telinga Anthea, “Jangan khawatir, tidak ada yang memperhatikan selain aku.” Matanya menatapnya dengan penuh kasih, dan senyuman itu, senyuman yang membuat seisi aula terasa pudar bagi Anthea, menghapus kecanggungan di hatinya, “Aku justru merasa ini membuat dansa kita lebih hidup.” Lanjut laki-laki itu.
Mereka melanjutkan dansa, kali ini Anthea menemukan kepercayaan diri dalam dekapan tunangannya, menyadari bahwa langkah-langkah yang salah sekalipun terasa sempurna saat bersama Altair.
***
Setelah pesta pertunangan yang meriah, Anthea melangkah keluar dari kamar mandinya dengan rambut basah yang masih meneteskan air, terurai hingga punggungnya. Gaun mewahnya telah digantikan dengan jubah sutra berwarna gading yang lembut, membungkus tubuhnya dengan kenyamanan setelah malam yang panjang.
Ia melangkah ke depan cermin besar di sudut ruangan, mengamati wajahnya sembari mengeringkan rambut dengan kain pengering. Ketika Anthea memalingkan pandangannya ke arah tempat tidurnya, matanya membelalak. Di sana, bersandar dengan santai di kursi kayu berukir di samping jendela, duduk Altair. Pakaian resmi kerajaannya telah diganti dengan tunik sederhana berwarna gelap, namun pesona dan karisma yang dimilikinya tetap memikat.
“Altair?” Anthea terkejut, “Apa yang kau lakukan di sini?”
Altair tak menjawab, ia bangkit, berjalan perlahan mendekat lalu mengambil alih kain di tangan Anthea, membantu gadis itu mengeringkan rambut coklat panjangnya, “Di mana pelayan mu?” tanyanya.
“Aku menyuruh Bi Mela kembali setelah mandi tadi,” Jawab Anthea.
Selama ini Anthea memang beberapa kali menginap di istana jika selesai menghadiri suatu acara kerajaan, ada kamar tamu yang di khususkan untuknya. Sekarang karena statusnya yang resmi menjadi Putri Mahkota tentu Anthea memiliki kamar tetap di sini.
Selesai mengeringkan rambut sang tunangan, Altair memperhatikam wajah Anthea melalui kaca, mata birunya menatap penuh perhatian.
Anthea tersentak ketika tangan laki-laki itu mendudukkan nya pelan ke meja rias, membuat mereka saling berhadapan, kedua tangan laki-laki itu mengukung tubuh Anthea.
Perlahan tapi pasti, Altair mendekatkan wajahnya, hingga kening keduanya beradu. Anthea harap Altair tak mendengar detak jantungnya yang berdetak tak berirama sekarang.
Cup
Saat laki-laki itu mendekatkan bibirnya, Anthea menoleh. Sehingga kecupan itu mengenai pipinya. Selama ini kontak fisik mereka hanya sampai kecupan pipi seperti ini. Walau sudah beberapa kali terjadi, tetap saja wajah Anthea memerah.
“Apa aku belum bisa mendapat sebuah ciuman?” Tanya Altair, tangannya terulur menyentuh bibir Anthea yang pink alami itu,
“Aku masih kecil, Altair.” Jawab Anthea pelan nyaris berbisik.
“Lalu, kapan aku akan mendapatkannya?” Tangan Altair beralih melingkar pada pinggang tunangannya.
“Mungkin, setelah aku legal.” Jawab Anthea. Setidaknya perlu dua tahun lagi sebelum upacara kedewasaannya.
Altair menyandarkan dahinya di salah satu sisi bahu sang gadis, “Baiklah, aku akan menagih janjimu.” Ujarnya.
Hei, di mana letak aku berjanjinya? Batin Anthea, namun tak ia suarakan. Malas juga meladeni Altair mode nakal ini.
Tangan Anthea terulur naik mengusap rambut laki-laki itu sebentar, lalu mendorong pelan kepala Altair menjauh,
“Kembalilah ke kamarmu, Altair. Nanti ada yang melihatmu di sini.” Ujar Anthea.
“Memangnya kenapa? Sangat wajar jika aku menghabiskan waktu dengan tunanganku,” Jawab Altair.
Masalahnya ini sudah hampir tengah malam, apa yang akan ada di pikiran orang-orang melihat dua lawan jenis dalam satu ruangan? Walaupun hubungan kekasih di Kerajaan ini dapat melakukan hal yang bebas dan intim, tetap saja Anthea menghindari omongan orang.
“Bulan depan, Anthea sudah masuk akademi, kan?” Tanya Altair mengalihkan pembicaraan, tunangannya itu mengangguk.
“Sudah menyiapkan apa yang akan di bawa?” Tanyanya lagi, Altair memang seperhatian itu.
“Belum, mungkin minggu depan aku akan menyiapkan dan membeli barang yang di butuhkan bersama kak Ares,” jawab Anthea.
Di Kerajaan Scarelion, para bangsawan harus belajar di akademi setelah berusia 15 tahun dan tinggal di asrama. Tak hanya bangsawan, ada beberapa rakyat biasa yang memang cukup kaya dan yang pintar mendapat beasiswa dari Kerajaan.
Akademi berlangsung selama 3 tahun, jadi hanya 1 tahun lagi Altair di sana. Saat ini tengah libur akhir tahun, karena itu Altair dapat libur panjang dan menyempatkan pesta pertunangannya dengan Anthea.
“Bersamaku saja, Anthea.” Pinta Altair, Anthea menggeleng, “Aku sudah terlanjur janji dengan Kak Ares, Altair.”
“Apa di sana aku akan memiliki teman? Selama ini aku tak begitu dekat dengan gadis bangsawan manapun,” Anthea hanya menghabiskan waktu di mansionnya, jarang menghadiri acara-acara gadis bangsawan seusianya. Mainnya paling jauh hanya Istana Kerajaan.
Duke Ervand yang cukup protektif melarang gadis itu keluar jika tidak di temaninya sendiri atau Ares. Anthea sendiri tak masalah, kepribadian nya yang memang introvert menerima niat baik sang ayah dengan mudah.
“Pasti ada, Anthea. Asalkan bukan teman laki-laki,” Ujar Altair, cukup Anthea dekat dengannya dan teman-teman nya saja, Altair tak dapat mentoleransi lebih dari itu.
Dasar posesif, batin Anthea.
Ngomong-ngomong, bukankah alur novel akan segera di mulai? Pertemuan para tokoh terjadi saat di akademi nanti.
Apa aku sanggup kehilangan sikap manis Altair? Batin Anthea memperhatikan wajah tunangannya. Tanpa sadar bibirnya sedikit melengkung cemberut.
“Kenapa? Ada hal lain yang menganggu pikiranmu?” Tanya Altair menyadari perubahan wajah Anthea.
Awalnya Anthea sedikit ragu, tapi ia tetap bersuara, “Altair, boleh aku meminta sesuatu?” Tanyanya, tanpa ragu Altair mengangguk.
“Apapun itu, akan aku usahakan, Anthea.” Jawabnya.
Anthea tersenyum kecil, “Jika seandainya di masa depan nanti, kau bertemu gadis yang kau sukai, bisa putuskan hubungan kita dengan baik-baik?”
Raut wajah Altair langsung berubah, Anthea dapat merasakan udara terasa lebih dingin di sekitar laki-laki itu.
“Kau bertanya hal seperti ini di hari pertunangan kita, Anthea?” Sedikit terdengar irama kecewa pada ucapan Altair.
“Altair, maksudku—“
“Kau lebih dari tau, gadis yang aku sukai adalah dirimu, Anthea.” Altair berucap dengan tenang. Tanpa Anthea tau ia berusaha keras menjaga ketenangannya itu.
“Ya, tapi tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan nanti, kan?” Tanya Anthea lagi.
Alatair terkekeh kecil, “Berarti kau juga tidak tau, Anthea. Berhentilah untuk menduga-duga hal buruk.”
Tangan laki-laki itu terulur mengusap rambut coklat Anthea,
“Tidurlah, sepertinya kau terlalu lelah.” Ujar Altair berlalu keluar dari kamar Anthea, ia jelas tak menyukai pembicaraan mereka.
Tapi aku tau, Altair. Batin Anthea memperhatikan laki-laki itu yang mulai menghilang dari pandangannya.
***
tbc.