Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17 Cerai?
“Darimana saja kamu, Mas? Kenapa baru pulang? Kebiasaan!” Laras menyambut Adrian dengan suara penuh kecurigaan begitu pria itu melangkah masuk ke rumah. Bahkan ia tak memberi kesempatan suaminya untuk sekadar duduk, apalagi beristirahat.
“Aku telpon kamu terus sejak tadi, tapi kamu nggak angkat! Sesibuk itu, ya, sampai nggak sempat balas? Atau... kamu sengaja menghindar dari aku?” tanyanya lagi, kini mendekat dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap tajam, mencari jawaban dari wajah Adrian yang tampak lelah.
Adrian tetap diam. Ia melepaskan jasnya tanpa menghiraukan rentetan kata-kata Laras. Tapi Laras, seperti biasa, tidak menyerah.
“Mas, ngomong dong! Jangan diem aja! Jawab aku!” Suaranya meninggi, nada tuntutannya jelas membuat suasana semakin panas.
Adrian tiba-tiba berhenti. “Cukup!” teriaknya, suaranya memecah keheningan ruang tamu.
Laras tersentak. Untuk sesaat, ia terdiam, tapi amarah dalam dirinya tak bisa lama-lama dipendam.
“Cukup? Maksud Mas apa?” tanya Laras, meski kini suaranya sedikit bergetar. Tapi Adrian sudah tak tahan lagi.
“Aku muak, Laras! Muak!” balasnya tegas. “Setiap hari kamu selalu ribut soal aku terlambat pulang, soal ke mana aku pergi, ini itu. Bukannya nanyain aku udah makan atau belum, bukannya ngasih aku segelas air, kamu malah terus-terusan mengungkit hal tidak penting!”
Laras langsung melawan. “Wajar dong aku nanya! Aku ini istri kamu, bukan pembantu! Dan soal air, kamu bisa ambil sendiri. Kamu bukan anak kecil, Mas. Nggak usah manja!”
Adrian mendengus sinis. Senyum tipis muncul di wajahnya, tapi jelas bukan senyuman ramah. Selama bertahun-tahun menikah dengan Laras, ia semakin menyadari betapa jauh berbeda perempuan itu dari harapannya. Laras bukanlah pasangan hidup, melainkan belenggu.
“Mungkin... kita lebih baik bercerai saja,” kata Adrian dingin.
Ucapan itu menghantam Laras seperti petir di siang bolong. Impian Laras adalah hidup bersama Addian, tidak peduli apakah pria itu akan mencintainya atau tidak.
“Apa?" Laras tergagap. Matanya membelalak. “Cerai?” Nafasnya mulai memburu.
Selama ini ia selalu merasa dirinya yang memegang kendali atas hubungan mereka. Adrian mungkin suaminya, tapi ia percaya bahwa ia punya kuasa penuh untuk mengatur segalanya.
Adrian tak membalas. Ia hanya melewati Laras, menuju tangga, tapi Laras tak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia berlari mengejar dan meraih pergelangan tangan suaminya.
“Mas, tunggu! Kamu nggak bisa menceraikan aku begitu aja! Aku nggak mau cerai! Kamu dengar nggak? Aku nggak mau!” teriaknya putus asa. Tapi Adrian dengan kasar menepis tangannya.
“Kamu pikir aku peduli?” balasnya tanpa emosi.
Laras tercekat. “Mas, bagaimana dengan Kakek? Dia butuh operasi jantung, kamu tahu itu kan? Kalau kita cerai, siapa yang bakal bantu? Kamu nggak akan sanggup urus semuanya sendiri!”
Adrian berhenti di tengah tangga, menatap Laras sekilas dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. “Urusanku dengan Kakek bukan alasan buat aku untuk terus bertahan dengan perempuan seperti kamu. Aku bisa cari solusinya sendiri nanti,” katanya dingin.
“Kamu pikir gampang? Pendonor nggak bisa dicari sembarangan! Cuma keluargaku yang bisa bantu kamu, Mas! Cuma Papa dan koneksi keluargaku!” Laras masih berusaha mengendalikan keadaan. Nada suaranya mulai berubah, lebih penuh kesombongan daripada emosi.
Adrian hanya tersenyum kecil. Tapi kali ini senyumnya penuh rasa jijik. “Kita lihat saja nanti,” jawabnya sebelum melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ia masuk ke kamar dan menutup pintunya dengan keras, meninggalkan Laras berdiri sendiri di depan pintu seperti orang bodoh.
Sementara itu, Laras berdiri terpaku. Tapi tak lama kemudian, amarah kembali membakar dirinya. Ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
“Ini pasti gara-gara perempuan sialan itu!” desisnya marah. “Kania! Ini semua salah kamu! Awas aja, aku nggak akan tinggal diam! Aku pastikan kamu bakal menyesal karena sudah berani merebut perhatian Mas Adrian!”
Laras berbalik dengan langkah kasar. Dalam hatinya, ia sudah menyusun rencana untuk menghancurkan perempuan yang dianggapnya sebagai ancaman itu. Kania akan membayar mahal. Begitu pikirnya, sementara Adrian di kamar atas hanya ingin satu hal—bebas dari semua ini.
“Selidiki lebih lanjut siapa bocah itu. Aku tidak mau tahu, malam ini kamu harus mengirimkan informasinya padaku,” titah Laras pada seseorang di seberang telepon.