NovelToon NovelToon
Cerita Dua Mata

Cerita Dua Mata

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Identitas Tersembunyi / Kaya Raya / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: R M Affandi

Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling menemukan hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan,dan ada dilema yang harus diputuskan.

Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.

Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.

Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.

Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter Kedua Belas Buku Itu

“Tok..tok..tok..!” aku mengetuk pintu rumah Andra.

Tidak lama, pintu rumah Andra berderit. Seorang laki-laki berambut cepak muncul dari balik pintu kayu berwarna coklat tua. Kumis tipis di atas bibirnya melengkung mengikuti senyumnya yang tiba-tiba. “Fan!” ujarnya menyambutku.

Aku membalas senyuman Andra.

“Kapan pulang?” tanya Andra membukakan pintu lebih lebar.

“Baru aja nyampe,” jawabku.

“Ayo masuk!” ajak Andra berjalan menuju sofa yang ada di ruang tamu rumahnya.

Aku memasuki rumah Andra, duduk di sofa busa berwarna krem.

“Gimana kabarmu?” tanya Andra kembali tersenyum. Sahabat masa kecilku itu terlihat sangat senang dengan kedatanganku. Kami yang telah berteman sejak sekolah dasar, sering menghabiskan waktu bersama di kampungku itu.

“Baik Dra, cuman nggak sebaik biasanya,” jawabku.

“Aku tahu apa yang terjadi pada keluargamu Fan. Ayahmu sudah bercerita di rumah ini,” ucap Andra mengerti apa yang ku maksud.

“Aku pikir kamu nggak di rumah Dra. Tapi pas kulihat motormu ada di teras, aku langsung aja ke sini!

“Semenjak tamat sekolah dulu, aku di rumah aja Fan, nggak ke mana-mana.

“Kenapa nggak kuliah?” tanyaku heran, karena kehidupan keluarga Andra yang berkecukupan tidak akan sulit baginya untuk kuliah.

“Minatku kan bukan ke sana Fan!

Aku berpikir sejenak, mengingat cita-cita Andra yang dulu pernah diceritakannya. “Iya ya, aku lupa!” ujarku tersenyum, akhirnya teringat keinginan Andra yang sejak dulu ingin jadi tentara. Postur badannya yang bagus memang sesuai dengan cita-citanya itu. “Udah daftar?" sambungku.

“Udah, tapi belum lulus! Pembukaan tahun depan dicoba lagi.” jawabnya masih tampak semangat mengejar cita-cita itu.

“Kuliahmu jadi lanjut Fan?” Andra bertanya tentang kuliahku.

“Nggak Dra,” jawabku singkat.

“Kata Ayahmu, kamu mau kerja sambil kuliah di Pekanbaru?” tanya Andra lagi. Sepertinya Ayahku memang sudah bercerita banyak di rumah Andra.

“Niatnya emang gitu, tapi kenyataan yang ku dapatkan, nggak sejalan dengan apa yang aku pikirkan! Nyari kerja di kota besar nggak seperti apa yang pernah kita hayalkan dulu. Bawa ijazah ke perkantoran, lalu diterima, habis itu gajian, pas lebaran pulang kampung pakai mobil!” beberku sambil tersenyum mengingat-ingat cerita di masa kecil kami.

“Hahaha..!” Andra tertawa lepas. “Kamu masih ingat aja cerita kita waktu SD! Tapi itu emang benar. Waktu dulu tuh, aku berpikir jadi tentara sekedar daftar aja, kemudian diterima, pergi perang, dan pulang kampung bawa senjata! Hahaha!” tawa Andra kembali terdengar di akhir ceritanya.

“Kamu lagi sibuk nggak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil melihat ke teras rumah Andra. Motor milik Andra masih terlihat dari ruang tamu tempatku berada.

“Kalau sekarang sih nggak! Palingan nanti sore aku mau ke ladang. Kenapa?

“Anterin aku ke rumah Rani,” jawabku berharap sambil senyum.

“Hubunganmu dengan Rani masih lanjut?

“Masih,” ungkapku mengangguk. "Tapi sejak dua bulan terakhir ini, aku sudah tidak menghubunginya lagi.

" Kenapa? kalian bertengkar?" tanya Andra ingin tahu. Wajahnya sedikit tegang.

"Nggak lah Dra! Cuma karena HP-ku hilang aja, aku nggak bisa menghubunginya lagi. HP-ku dicopet waktu naik bis di Pekanbaru. Dan seminggu setelah itu, aku mencoba menghubungi Rani kembali, tapi nomornya nggak aktif lagi. Mungkin Rani ganti nomer, " uraiku menjelaskan.

"Pantas aja aku menelponmu tapi nggak nyambung-nyambung!

Andra melihat jam dinding bulat yang terpajang di dinding ruang tamu rumahnya. “Sekarang dia masih kelas tiga SMA kan?” tanyanya kemudian, tahu tentang Rani karena aku pernah bercerita kepadanya waktu pertama aku mengajaknya menemui Rani.

“Iya, Kenapa?

“Masih jam sepuluh Fan. Dia pasti di sekolah saat ini,” jelas Andra.

“Iya ya? aku lupa!” ujarku tersenyum kecut tak menyadari waktu yang masih pagi di saat itu.

Aku dan Andra bercerita panjang lebar sambil menunggu jam dinding rumah Andra menunjukan pukul dua. Dua gelas kopi hitam yang di buat Andra kemudian, menemani kebersamaan kami. Kehidupanku selama di Pekanbaru dan cerita Andra selama di kampung, membaur dalam perbincangan hangat di ruang tamu rumah itu.

Empat jam tak terasa telah berlalu. Aku dan Andra segera menaiki sepeda motor, melaju bersama menuju rumah Rani. Jalanan yang telah lama tak ku tempuh, kembali ku telusuri di bawah teriknya matahari di siang itu. Jantungku terasa berdegup kencang sama seperti awal-awal aku melewati jalanan itu saat pertama ingin menemui Rani.

Hampir lima belas menit perjalanan, sampailah aku dan Andra di depan rumah Rani. Rumah itu masih terlihat sama seperti dulu. Hanya saja, bunga-bunga yang tumbuh di halamannya sudah tak terawat seperti dulu lagi. Rumput-rumput liar sudah mulai tumbuh di sela-sela rumpunnya.

“Rumahnya tampak sepi Fan!” ujar Andra mematikan sepeda motornya.

Aku segera turun, mendekati pagar kayu rumah Rani yang sudah mulai lusuh. Pagarnya tidak di kunci. Hanya ada gembok yang terbuka mengapit tepi tiang pintu masuk pagar rumah itu.

“Dikunci nggak?” tanya Andra padaku yang saat itu masih duduk di atas motornya.

“Nggak,” sahutku menggeleng.

“Masuk aja!” sarannya.

Tapi hatiku saat itu masih ragu-ragu untuk membuka pintu pagar rumah Rani. Aku masih ingat ucapan Rani yang melarangku untuk tidak menemuinya ke rumahnya. “Bagaimana kalau Rani dimarahi oleh orang tuannya?” pikirku saat itu sambil melihat ke arah jendela rumah Rani yang ditutupi gorden berwarna putih.

“Coba ketuk dulu pintu rumahnya!” saran Rendra lagi, melihatku yang hanya berdiri di depan pintu pagar.

Aku beranikan diri untuk membuka pintu pagar rumah Rani, sambil memikirkan alasanku menemui Rani jika seandainya orang tua Rani yang membuka pintu rumah itu.

“Dek, dek!” seseorang memanggilku. Aku melihat ke samping kanan, ke arah rumah yang ada di samping rumah Rani. Seorang laki-laki berdiri di balik pagar kayu pembatas antara rumah Rani dan rumah orang itu.

“Mau kemana?” tanya orang itu.

“Nemuin Rani bang!” jawabku pada pria yang tampak lebih tua dariku itu.

“Rani tidak ada di rumah! rumahnya kosong. Orangnya sudah pindah!” ujarnya.

“Pindah?” Aku memandangi kembali rumah Rani, mencoba melihat isi rumah itu lewat sela-sela gorden. Kain gorden yang bermotif bunga itu tak dapat ku tembus lewat pandanganku dari jarak jauh. “Pindah kemana bang?” Akhirnya ku bertanya kembali.

“Katanya ke daerah Padang Dek!” terang orang itu dari jauh.

“Ayahnya si Rani dipindah tugaskan!” imbuhnya.

Sambil menutup kembali pintu pagar yang telah setengah terbuka, aku teringat cerita Rani yang menceritakan profesi Ayahnya sebagai seorang Polisi. Ayahnya sudah dua kali dipindah tugaskan selama menjabat jadi Polisi. Waktu Rani masih SD, Ayahnya dipindahkan ke daerah selatan, lalu pindah kembali ke kampungnya. Dan di saat aku datang ke Rumah Rani hari itu ternyata Ayahnya juga telah dipindahkan kembali ke daerah lain.

“Padang, dimananya Bang?” tanya Rendra juga ingin tahu.

“Kalau itu kurang tahu Dek,” jelas laki-laki itu.

“Ada nomor HP-nya Bang?” tanyaku berharap. Mungkin saja tetangga Rani itu menyimpan nomor HP Rani.

Orang itu menggeleng sambil sedikit tersenyum.

Hilang sudah harapanku untuk bertemu dengan Rani di saat itu. Wajah yang selama ini ku lamunkan, tak jua dapat ku nyatakan setelah sekian bulan. Angan-angan yang kupikir akan terwujud di hari itu, nyatanya tetap hanya menjadi angan-angan belaka. Entah mengapa suratan tidak hanya menyudahi cita-citaku, tapi juga menjauhkan aku dari cintaku.

Bersambung.

1
Riani
lebih ke perasaan
wekki
semangat thor
Marissa
Rata-rata baca buku harian, tapi penasaran juga
Robi Muhammad Affandi: Terimakasihh dukungannyaa😁
total 1 replies
Marissa
ini cerita misteri apa cinta? /Grin/
Hietriech Ladislav
dah mampir nih 🫡 next mampir baca novel saya & beri komen
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!