Azzam tidak menyadari bahwa wanita yang ia nikahi bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembarnya.
Sejak kepulangannya dari Kanada, sebenarnya Azzam merasa ada yang aneh dengan kekasihnya, ia merasa kekasihnya sedikit berubah, namun karena rasa cintanya pada sang kekasih, ia tetap menerima perubahan itu.
Bagaimana jika suatu saat Azzam mengetahui yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shangrilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamar Zahwa
Happy reading..
Zura berjalan pelan memasuki kamar Zahwa, kakinya seolah tak ingin mengganggu ketenangan yang terasa menggantung di udara. Dinding kamar itu penuh dengan foto-foto yang menjadi saksi bisu pertumbuhan Zahwa dari masa ke masa.
Ada foto ketika mereka masih bermain lumpur di halaman, foto saat mereka tersenyum lebar di hari kelulusan sekolah, dan foto-foto saat mereka berdua tak terpisahkan pada berbagai acara keluarga.
Zura menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Setiap foto yang ia sentuh seakan memiliki cerita yang ingin diceritakan, seolah-olah Zahwa bisa muncul dari balik bingkai dan mereka dapat tertawa bersama lagi.
Ia berhenti di sebuah foto di mana mereka berdua mengenakan baju adat di sebuah festival, tawa Zahwa terlihat begitu nyata sehingga Zura bisa mendengarnya di telinganya.
Kemudian Zura duduk di tepi tempat tidur Zahwa, Zura meraih satu album foto yang terselip di antara tumpukan buku di rak. Perlahan, ia membuka halaman demi halaman, jari-jarinya dengan hati-hati menyusuri setiap gambar yang mengingatkannya pada masa-masa yang tidak akan pernah terulang kembali. Kenangan tentang Zahwa, tentang mereka, terasa begitu nyata, seolah Zahwa hanya sedang berada di ruangan sebelah.
Air mata mulai mengalir di pipi Zura, tetapi ia membiarkannya, membiarkan kesedihannya meluap bersama kenangan indah yang kini hanya bisa ia genggam dalam foto-foto dan ingatan.
Lembaran-lembaran kenangan. Setiap foto yang di sentuhnya seakan memanggil namanya, mengajaknya menyelami lautan masa lalu yang manis dan pahit. Dia tersenyum tipis saat melihat foto Zahwa yang sedang tersenyum lebar di ulang tahunnya yang kelima, lalu matanya berkaca-kaca saat melihat gambar Zahwa mengenakan seragam sekolahnya untuk pertama kalinya.
Pintu kamar terbuka pelan dan ibu Zura, dengan langkah lembutnya, memasuki ruangan itu. "Zura, ternyata kamu disini, nak."
Zura hanya mengangguk, tangannya masih memegang sebuah foto dimana dia dan Zahwa berpelukan erat. Ibu duduk di sampingnya, meraih tangan Zura yang beku dan menatap foto-foto itu bersamanya.
Mereka berdua terdiam, larut dalam kenangan dan rindu yang tak terucapkan, berbagi kehilangan yang sama namun dengan cara yang berbeda. Di kamar yang dipenuhi dengan sunyi dan sesekali suara halus dari halaman foto yang dilipat, ibu dan anak itu menemukan sedikit penghiburan dalam diam dan kenangan tentang Zahwa, bintang kecil mereka yang kini menghilang di langit yang jauh.
Tok! Tok! Tok!
Zura menatap lekat ke arah pintu yang baru saja diketuk oleh Ayahnya, seolah ingin melihat melalui kayu itu. Matanya yang sembab menunjukkan betapa rindunya dia kepada Zahwa.
Sisi ranjang tempat Zahwa biasa tidur terasa begitu kosong dan menggema kesunyian. Di samping Zura, sang Ibu duduk dengan tatapan nanar, seolah-olah sebagian jiwanya ikut pergi bersama Zahwa.
"Iya, Yah. Kami sedang... mengingat Zahwa," jawab Zura dengan suara serak, mencoba menyembunyikan getaran dalam nadanya. Ibu Zura meraih tangan Zura, mencoba memberikan kekuatan meski hatinya sendiri rapuh.
"Zahwa," panggil Ayahnya dari luar. Seketika Zura dan ibunya saling tatap, mengapa Ayahnya memanggil Zahwa? Bukan Zura?
Ketukan Ayah Zura yang lembut itu seperti membawa realitas pahit bahwa kehidupan harus terus berlanjut, meskipun tanpa Zahwa. "Nak Azzam sudah datang, ini sudah di ruang tamu,"
Sesuai janjinya tadi pagi, Azzam akan menjemput Zura ketika ia pulang kerja.
Zura mengangguk perlahan, mengusap air mata yang terus menderas. Dia berdiri, mengambil napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri untuk menghadapi dunia luar tanpa Zahwa di sisinya. Sang Ibu memeluk Zura sebentar, memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkan.
"Sudah, jangan bersedih terus menerus, lihat nak Azzam, dia begitu menyayangimu." bisik Ibu dengan suara yang bergetar, mencoba menjadi tegar untuk anaknya.
"Dia menyayangi Zahwa. Bukan Zura." sahut Zura dalam hati.
Dengan langkah gontai, Zura berjalan keluar dari kamar, setiap langkah terasa berat seakan membawa seluruh kenangan yang pernah dibagi bersama Zahwa. Ayah Zura mengikuti di belakang, hatinya pun berat namun tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Di ruang tamu, Azzam sudah menunggu dengan senyum lembutnya.
"Kamu dari kamar siapa, sayang?" tanya Azzam ketika Zura sudah sampai di ruang tamu.
"K- kamar,"
"Kamar rahasia Ibu dan Zahwa. Bahkan Ayah pun nggak boleh masuk kesana." sahut Ayah Zura. "Khusus kamar perempuan katanya," lanjut Ayah di sertai Keke kecil.
"Iya, Mas. Itu adalah kamar rahasiaku dan ibu," imbuh Zura.
"Kamar untuk ngerumpi," Ibu Zura menimpali.
"Nak, Azzam, terimakasih ya oleh-olehnya, Ibu suka." ucap Ibu Zura untuk mengalihkan topik, supaya Azzam tidak bertanya lebih lanjut tentang kamar itu.
"Itu hanya hadiah kecil, Bu." jawab Azzam.
"Mau seberapapun nilainya, tapi itu bukti bahwa kalian masih memikirkan kami disana padahal kalian disana untuk bersenang-senang," imbuh Ayah Azzam.
"Tentu kami memikirkan Ayah dan Ibu, karena Ayah dan Ibu adalah orangtua kami," sahut Azzam.
Ayah dan Ibu Zura saling tatap dan tersenyum, mereka bersyukur memiliki menantu yang baik dan bertanggung jawab seperti Azzam.
"Mau pulang sekarang, mas? Atau kamu capek mau istirahat sebentar di kamarku?" tawar Zura.
"Boleh, biar aku tahu kamar kamu." jawab Azzam.
"Ayo," ajak Zura.
"Kami ke kamar dulu, Ayah, Ibu." pamit Azzam seraya beranjak dari tempatnya.
"Silahkan nak Azzam,"
Azzam dan Zura berjalan beriringan menuju kamar Zura. Langkah Azzam terasa berat saat mendekati pintu kamar Zura. Rasa penasaran dan canggung bercampur menjadi satu.
Sejak menikah beberapa minggu yang lalu, inilah pertama kalinya ia memasuki kamar pribadi istrinya di rumah orang tua Zura. Kamar itu sederhana, dindingnya dipenuhi dengan warna pastel lembut dan hiasan foto-foto kecil masa kecil Zura.
Zura, dengan senyum yang agak gugup, membuka pintu dan mempersilakan Azzam masuk. “Silahkan masuk, Mas,” ucapnya sambil mengedarkan pandangan. Azzam mengangguk, matanya menjelajahi setiap sudut, mencoba membaca cerita dari setiap objek yang ada.
Di sudut kamar, terdapat rak buku kecil yang dipenuhi oleh novel dan beberapa buku sastra. Di dinding, tergantung sebuah lukisan abstrak yang menarik. Namun, yang paling menarik perhatian Azzam adalah meja kecil di dekat jendela dengan sebuah lampu meja dan sebuah buku harian tergeletak di atasnya.
Zura mengikuti pandangan Azzam, lalu dengan cepat mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam laci. “Itu hanya catatan kecilku, tidak penting,” katanya, suaranya bergetar sedikit. Azzam hanya tersenyum, memberikan ruang dan menghormati privasi yang Zura perlukan.
Kamar itu, meski sederhana, mencerminkan kepribadian Zura yang tenang dan terorganisir, membuat Azzam merasa lebih dekat dengan istrinya. Mereka berdua duduk di tepi tempat tidur.
"Kok duduk, Mas. Katanya mau istirahat sebentar?" tanya Zura.
"Istirahat kan tidak harus tidur, sayang. Duduk disini sambil ngobrol sama kamu, juga namanya sudah istirahat ini." jawab Azzam.
"Kamu betah tinggal di rumah Mama?" Azzam bertanya seraya menarik Zura ke dalam pelukannya dan mencium puncak kepalanya beberapa kali.
"Belum tahu, Mas. Aku kan tinggal disana baru beberapa hari," jawab Zura.
"Kalau kamu merasa tidak nyaman disana, langsung bilang aku ya. Anjuran agama kita kalau sudah menikah seharusnya tinggal berdua. Tapi kasihan Mama kalau kita tinggal di rumah sendirian. Jadi, apapun yang kamu rasakan, atau apa pun yang terjadi, kamu bilang sama aku ya, supaya kita bisa mencari solusinya bersama,"
"Iya, Mas. Aku akan berusaha nyaman tinggal disana." sahut Zura.
"Makasih sayang, makasih untuk pengertiannya."
To be continued.