NovelToon NovelToon
Keluarga Untuk Safina

Keluarga Untuk Safina

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak / Ibu Tiri / Istri ideal
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Secara kebetulan aku bertemu dengan keluarga kecil itu, hadir sebagai seorang istri terutama ibu pengganti untuk anak pria itu yang berstatus duda saat menikahiku.

Sungguh berat ujiannya menghadapi mereka, bukan hanya satu, tapi empat. Namun, karena anak bungsunya yang paling menempel padaku, membuatku terpaksa bersabar. Mungkinkah aku akan mendapatkan cintanya mereka semua? Termasuk Ayah mereka?

Kami menikah tanpa cinta, hanya karena Delia, anak bungsu pria itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dasar Pembawa Sial!

🌻🌻🌻

Kali ini aku menggantikan tugas Bu Tika mengajar di kelas dua belas, lebih tepatnya di kelas Shani. Setelah Bu Sulis ke rumah sakit, orang yang menjaga Zien digantikan olehnya, wanita paruh baya itu bersikukuh menyuruhku untuk bekerja dan membiarkan dirinya yang menjaga cucunya itu. Hal yang diragukan Mas Lintang juga dirasakan oleh Bu Sulis, aku bisa merasakan itu. Oleh karena itu, aku akhirnya tetap berangkat ke sekolah untuk mengajar. 

Dari semua murid yang ada di kelas itu, Shani yang menjadi murid paling malas di mataku, mungkin karena masalah pribadi kami. Kepalanya selalu menempel di atas meja dan pandangan mengarah ke jendela. Keberadaanku di depan benar-benar diabaikan sampai aku berpikir, akan jadi seperti apa masa depan anak ini? Selain itu, aku juga mendengar cerita dari beberapa guru mengenai kualitas belajarnya yang buruk sampai mereka merasa Shani akan menjadi murid paling buruk nilainya saat lulus nanti. 

Bel istirahat berbunyi, menandakan juga mata pelajaran yang aku ajarkan berakhir. Para murid yang ada di hadapanku langsung menyimpan buku-buku mereka dan meninggalkan kelas dengan menyalam tanganku. 

Masih aku perhatikan Shani. Pemuda yang terlihat dekat dengannya sebelumnya menghampiri gadis itu, mengajaknya ke kantin, tetapi Shani menolaknya dengan lembut dan menunjukkan senyuman. Pemuda itu akhirnya ikut meninggalkan kelas dan tersisa kami berdua. 

“Tidak ke kantin?” tanyaku sambil mendekatinya. 

Senyuman di bibir Shani yang masih terukir sambil memperhatikan kepergian pemuda itu spontan menghilang. Posisi kepalanya kembali seperti semula dan mengabaikanku. 

Aku duduk di samping gadis itu. 

“Kakak benar-benar minta maaf jika yang terjadi kepadamu malam itu karena Kakak,” ujarku yang masih diabaikannya. 

“Shani …! Kakak tidak bermaksud membuat kalian berada dalam masalah. Kakak hadir dalam keluarga kalian bukan untuk mengambil cinta Ayah kalian. Kakak hanya ingin menemani Delia tumbuh baik.” 

Gadis itu masih mengabaikanku. 

“Sekarang Shani sudah kelas dua belas. Sebaiknya Shani belajar lebih giat dan tentukan masa depan. Shani anak yang cerdas, kembangkan itu dan gapai cita-cita Shani. Kakak mengatakan itu bukan karena Kakak ingin Shani memikirkan diri sendiri.”

Gadis itu masih mengabaikanku, masih tidak mau menoleh ke arahku. 

“Kakak bisa merasakan apa yang kalian rasakan. Kakak juga tidak punya Ayah. Ibu dan Ayah itu memang berbeda, tapi kehilangan salah satu dari mereka itu seperti kita kehilangan salah satu sayap kita.” Ketika itu rasa sedih tiba-tiba menghantui jiwaku sampai air mata menetes kala mengingat orang-orang bisa bersama ayah mereka saat mereka tumbuh, sedangkan aku tidak merasakannya. 

“Sekarang Shani hanya punya Ayah. Banggakan Ayah, buat dia merasa paling beruntung mendapat anak seperti Shani,” ucapku dengan suara terdengar bergetar karena tangisan. 

Kedua tanganku menyeka air mata di pipiku. Setelah itu, aku bangkit dari posisiku dan meninggalkan kelas tersebut. 

***

Setelah pulang sekolah, aku ke rumah sakit sendirian, sedangkan Shani kembali ke rumah menggunakan bus bersama teman-temannya. Sesampai di sana, Delia langsung menghampiriku, memelukku setelah melihat diriku berdiri di pintu kamar inap Zien. 

Plastik yang aku jinjing, berisikan martabak cokelat yang menjadi kesukaan Zien aku bawakan. Kebetulan sekali, Revan juga ada di sana, bocah itu juga menyukainya, Bu Sulis yang memberitahunya kepadaku. 

“Siapa yang mau makan martabak cokelat …?” tanyaku dengan riang sambil menaruh kotak yang dibalut kertas itu di atas meja, membukanya, dan memperlihatkannya kepada mereka. 

“Aku …?” Delia lebih dikit angkat tangan.

“Buang saja ke tong sampah. Mungkin saja racun sudah ditaruh di sana,” ketus Zien. 

“Zien!” teriak Bu Sulis, marah. “Kak Fina selalu saja baik kepadamu, tapi kamu malah membalasnya begitu. Kamu tidak sadar? Seharusnya kamu, seharusnya kalian bersyukur mendapatkan Ibu sepertinya. Nenek benar-benar kecewa mendengar perkataanmu itu,” ucap Bu Sulis dengan wajah marah. 

“Sudah, Bu …,” tegurku dengan nada lembut. 

“Diam! Semua karena kamu! Nenek dan Ayah berubah karena kamu! Kamu itu pembawa masalah. Kak Shani mendapatkan masalah juga karenamu! Dasar pembawa sial!” seru Zien dalam emosi, dengan nada suara cukup keras sampai perawat yang kebetulan lewat di depan kamar itu mendengarnya dan membuka pintu kamar. 

“Maaf, Sus,” ucapku kepada perawat itu dengan senyuman ringan. 

Pintu kamar yang dibuka perawat itu kembali ditutup. 

“Urus dirimu sendiri. Nenek lelah menghadapimu. Revan! Kita kembali ke rumah,” ajak Bu Sulis, menggenggam tangan Revan, dan membawa bocah itu meninggalkan kamar Zien. “Fina! Kita pulang, biarkan saja dia yang mengurus dirinya sendiri,” ucap Bu Sulis setelah memberhentikan langkah kakinya di depan pintu kamar. 

Wanita paruh baya itu menungguku mengikutinya. Aku perhatikan Zien yang masih menatapku marah. Sepertinya aku masih belum bisa menghadapinya. Jadi, aku mengikuti ajakan Bu Sulis dengan menggendong Delia di bagian depan tubuhku. Sesekali aku menoleh ke belakang saat meninggalkan kamar itu, memperhatikan Zien yang duduk membuang muka menjauh dari kami. 

Kakiku berjalan mengikuti Bu Sulis beberapa meter dari kamar Zien sambil berpikir, aku merasa meninggalkan remaja laki-laki itu sendirian dalam kemarahan malah akan bertambah buruk.

“Bu …! Bawa Delia kembali ke rumah. Sepertinya aku di sini saja. Tenang saja, semua akan baik-baik saja,” ucapku setelah memberhentikan Ni Sulis di lorong di mana kamar Zien masih berada di sana. 

“Kamu tidak akan bisa menghadapi anak itu. Lebih baik pulang saja.”

“Tidak apa-apa, Bu.” 

“Baiklah.” Bu Sulis mengambil Delia dari gendonganku dan menurunkan anak itu untuk digandeng tangannya. 

Kepergian mereka aku perhatikan terlebih dahulu sebelum kembali ke kamar Zien. Setelah mereka sudah tidak terlihat lagi, aku kembali ke kamar remaja laki-laki itu. Suara pintu yang terdengar mengundang pandangannya ke arahku, lalu kembali memalingkan pandangan setelah tahu aku yang masuk. 

“Kamu masih marah kepada Kakak? Maaf,” ucapku setelah berdiri di sampingnya.

Mataku menoleh ke arah martabak yang tadi aku sajikan di atas meja. Aku putar otak mencari ide untuk menarik perhatian Zien. Sebuah ide terlintas di benakku, memunculkan senyuman di bibirku karena aku merasa itu cukup berhasil jika dilakukan. Aku tarik bangku yang ada di pojokan, menaruhnya di samping ranjang rumah sakit yang ditiduri Zien, duduk di sana. 

“Hmm … Kakak akan membelikan ponsel dan headphone baru. Bagaimana? Zien boleh minta merek apa saja,” tawarku. 

Benar saja, ideku berhasil. Zian mengarahkan pandangan kepadaku dengan wajah tampak ragu setelah mendengar perkataan yang baru aku lontarkan. Namun, setelah itu tergambar ekspresi yang terlihat murung.

“Ayah sudah bilang pagi ini kalau aku tidak diperbolehkan menggunakan ponsel sebelum mendapatkan nilai yang bagus di sekolah.”

Ternyata itu penyebab kemurungan tersebut. Sadar, sih. Zaman sekarang teknologi menggegerkan manusia dan anak yang sudah terbiasa menghabiskan waktu banyak dengan gadgetnya akan mengalami kesulitan untuk meninggalkannya. Emosi mereka seakan telah menyatu dengan teknologi itu. 

“Kakak akan bujuk Ayah. Tapi, Zien juga harus mengikuti perkataan Ayah. Bagaimana?” tanyaku. 

“Mustahil.”

“Tidak ada yang mustahil. Kakak akan bantu Zien untuk mendapatkan nilai yang bagus.”

“Aku tidak suka belajar,” balas Zien. 

Sejenak aku diam sambil berpikir. Jika dilihat-lihat dan diingat-ingat, Zien memang bukan anak yang terbilang cakap dalam pelajaran yang berhubungan dengan angka-angka maupun bahasa. Zien terlihat seperti anak yang suka dan cakap dalam bidang olahraga dan aku melihat ada beberapa medali dan piagam di rumah, hasil lomba lari, badminton, dan jenis olahraga atletik lainnya. 

“Kakak akan membantu. Yang terpenting, mau dulu,” ucapku, masih berusaha membujuknya.

“Baiklah,” balasnya, terlihat gengsi untuk setuju.

1
Mariyam Iyam
lanjut
Darni Jambi
bagus,mendidik
Ig: Mywindersone: Terima kasih.
🥰🥰
total 1 replies
LISA
ya nih penasaran jg..koq bisa yg menculik itu mengkambinghitamkan Fina..pdhl Fina yg sudah menolong Shani..
LISA
Moga dgn kejadian itu Shani sadar dan tidak memusuhi Fina lg jg mau menerima Fina sebagai Mamanya
Darni Jambi
upnya yg rutin kak,
Darni Jambi
kok ngak up2 to mbk ditungguin, bagus critanya
LISA
Ya nih Kak
LISA
Pasti ibunya anak²
LISA
Ya Kak..Fina bijak bgt..salut deh sama Fina..istri yg pengertian
LISA
Pasti ke rmhnya Delia
LISA
Aq mampir Kak
Rina Nurvitasari
semangat terus thor
Rina Nurvitasari
mampir dulu thor semoga ceritanya menarik dan bikin penasaran...

semangat terus rhor💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!