Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Terakhir
Setelah warga mengetahui fakta yang sebenarnya, emosi terhadap Ajat mendadak padam, lalu tiba-tiba warga berlari ke arah sungai dan menyiram kobaran api yang sudah terlanjur melahap rumah Ajat.
Warga lainnya ikut terpancing, mereka menyesal sudah membakar rumah Ajat. Kini, mereka berbondong-bondong melemparkan air ke arah kobaran api yang masih menyala hebat.
Wijaya tertegun sedih menatap mereka, lalu Arini mendekati Wijaya, berbisik dengan nada pelan namun terdengar penuh emosi, "Kamu kejam Wijaya, kamu tetaplah pemimpin desa yang pilih kasih! Aku tidak akan pernah memaafkanmu."
"Arini, ayo pergi dari desa ini sebelum polisi datang," ucap ibunya menarik lengan Arini.
"Aku tahu Ajat juga bersalah, tapi kekejaman bapakmu tidak bisa disembunyikan, Arini... Kamu harus bertanggung jawab atas tindakan bapakmu," tegas Wijaya menatap Arini dengan penuh emosi.
"Akang Wijaya, tolong lepaskan anak saya," pinta ibunya.
"Tidak bisa bu, di mata hukum seseorang yang tahu kejadian pembunuhan apalagi ikut bekerja sama dan menyembunyikan pelaku, juga bersalah," jawab Wijaya, memegang lengan Arini dengan penih tenaga.
"Lepaskan aku!" teriak Arini.
"Akang Wijaya, tolong lepaskan Arini," ibunya menangis memohon belas kasih sang Kepala Desa.
"Tidak bisa, bahkan jika Ajat ada di depan mataku, dia juga akan aku tangkap. Semua orang harus mempertanggung jawabkan tindakannya," kata Wijaya.
"Aku mau dibawa kemana, lepaskan aku!" Arini meronta, dengan tenaganya dia berusaha melawan cengkraman tangan Wijaya yang kekar.
"Ke balai desa," kata Wijaya, menyeret Arini meninggalkan lokasi.
Arini tidak bisa melawan lagi, dia hanya bisa pasrah menerimanya. Di kurung dalam ruangan balai desa, di luar, ibu-ibu berkumpul dan bergosip.
"Gak nyangka ya, si Neng Arini meuni setega itu," Wijaya mendengar bisikan seorang warga.
"Saya akan turun ke bawah, tolong jaga Arini. Jangan sampai dia kabur," Kata Wijaya, beberapa pemuda mengangguk.
Wijaya, dengan membawa barang bukti, pergi ke Desa Sagara Dua lagi untuk menemui Ujang, dia ingin meminta bantuan Ujang lagi menghubungi pihak kepolisian.
Saat di perjalanan, dia bertemu dengan Ajat yang ternyata bersembunyi di hutan perbatasan Desa Talaga Seungit dan Karajaan Sagara. Ajat muncul dari balik pepohonan memanggil nama Wijaya.
"Kang Wijaya," teriaknya.
"Jat! Ajat!" jawab Wijaya, suaranya nyaris pecah karena kaget.
"Akang, maafkan saya Kang. Saya sudah melakukan perbuatan dosa," ucap Ajat dengan suara bergetar penuh penyesalan.
"Jat, kamu mau bersembunyi sampai kapan?" tanya Wijaya sedih.
"Saya takut Kang, saya menyesal!" jawab ajat, matanya berkaca-kaca lalu meneteskan air mata, dia pun mencoba menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya.
"Selama kamu hidup dan bersembunyi, perasaan bersalah akan terus menemanimu. Semua rasa bersalah itu akan hilang kalau kamu mengakui kesalahan itu di hadapan hukum adat dan negara. Ajat, aku tidak pernah menyalahkan kamu. Tapi aku harap kamu menyerahkan diri ke polisi. Hanya itu satu-satunya jalan terbaik."
"Kang Wijaya, saya takut. Kang, tolong jangan bawa saya ke polisi. Saya takut Kang," Ajat akhirnya menangis.
Tangisan itu, mengingatkan Wijaya pada masa kecil saat Ajat menangis karena tidak punya mainan perahu, lalu Wijaya mengajaknya membuat perahu dari kulit semangka.
Wijaya menatap sedih sahabatnya dan perasaan bimbang kini menyeruak dalam dirinya. Di hati kecilnya, dia tidak ingin Ajat ditangkap polisi.
"Kang Wijaya, biarkan aku pergi menghilang dari desa adat ini, aku tidak akan pernah kembali. Aku akan merahasiakan harta karun itu dari siapapun," kata Ajat.
Ajat mundur perlahan lalu pergi menghilang dari balik pepohan.