Kenangan mungkin tak selalu berisi manis.
Rasa pahit akan selalu menyertai.
Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keping ke-17
Amira tak pernah lagi mengangkat telepon sejak kejadian di klinik. Berkali-kali Vian coba datang ke rumahnya, tapi tetap saja tidak bisa bertemu. Amira seolah menghindar. Padahal, Vian tidak bisa hanya duduk dan menunggu. Vian butuh penjelasan tentang kenapa Amira merahasiakan soal hubungan mereka di masa lalu.
Jadi, kalau hari ini Vian berdiri di depan pintu rumah Amira, itu bukan hal yang aneh. Ia menekan bel, wanita tengah baya yang membukakan pintunya. “Cari siapa?”
“Amira, Tante,” jawab Vian. Wanita itu terlihat masih asing dengan wajah Vian. Ini memang pertemuan mereka yang pertama. Sebelumnya hanya Vian yang mengajak dan mengenalkan Amira dengan Mamanya. Kalau mengenal Mama Amira, sepertinya gadis itu sama sekali tidak punya rencana soal itu.
“Amira sedang ke pasar,” jawab wanita itu.
“Pasar mana, Tante?”
“Pasar Tradisional Bugis.”
Meski kemungkinannya kecil untuk bertemu, tapi Vian akan mencobanya. Ia mengucapkan terima kasih pada wanita itu dan pamit undur diri, ingin menyusul Amira.
***
Terlalu banyak orang di pasar. Vian sampai bingung harus melewati sela yang mana. ia tak pernah menginjakkan kaki di pasar tradisional yang benar-benar masih berlantai tanah tanpa paving sekalipun. Jika hujan pasti sangat becek. Vian tidak suka berdesakan. Klimaksnya, ia juga tidak menemukan Amira. Rasanya percuma saja datang ke pasar. Tapi, saat Vian hendak meninggalkan pasar, mendadak sosok Amira terlihat dengan sekantong belanjaan.
“Amira!” teriak Vian. Yang merasa namanya dipanggil menoleh, namun ia buru-buru melengos dan berlalu pergi. Vian berdecak, tak mengerti kenapa Amira harus menghindar.
Amira memilih menenggelamkan tubuhnya ke dalam orang-orang yang memenuhi pasar, tapi Amira seakan punya radar yang bisa membuat Vian menemukannya.
“Kamu tidak akan bisa lari lagi,” kata Vian setelah sampai di luar pasar. Ia baru akan diantar tukang ojek kalau saja Vian tidak sampai lebih dulu.
“Kenapa jadi kamu yang menghindar?” Vian menghadang langkah Amira. Pemuda itu bahkan meraih sebelah tangan Amira, hanya berjaga-jaga agar gadis itu tidak kabur.
“Maaf…” Amira menunduk. Lidahnya kelu, sulit sekali mengatakan hal lain.
“Kenapa minta maaf?” Vian mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti dengan isi kepalanya. Sungguh, ia memang kecewa pada Amira. Ia ingin marah tapi tidak bisa.
“Soal…” Amira menggantung kalimatnya.
“Kamu memperbudak saya saat SMA?” Vian mulai mengingat dengan jelas, bagaimana rasa cinta itu membuatnya mengabaikan segalanya termasuk harga diri. Yang ia lihat di dalam puzzle yang mulai tersusun itu, hanyalah hal yang selalu saja membuat ia kasihan pada diri sendiri.
“Itu…” Amira sampai menjatuhkan barang belanjaannya. Ada kubis dan terong yang jatuh menggelinding dan Amira hanya menatapnya, tanpa niat meraihnya kembali. Justru Vian yang meraihnya dan mengembalikannya ke kantong kresek.
“Kalau masalahnya memang itu, saya tidak masalah. Sungguh.”
Amira terdiam, makin merasa bersalah.
“Kamu tidak perlu menghindar hanya karena itu.”
“Ah, aku...”
“Saya kangen kamu.”
***
“Please, stop, Vian!” Amira melempar kantong kresek yang baru Vian serahkan padanya. Ia berlari masuk rumah tanpa peduli pada pemuda yang spontan terperangah oleh sikapnya itu. Amira lelah, ia merasa memang sudah waktunya untuk tidak berhubungan lagi dengan Vian. Ia tidak ingin terus dihantui rasa bersalah, juga tidak ingin menyakiti Vian untuk kesekian kali. Masa bodoh bagaimana perasaan Vian padanya, masa bodoh dengan rasa cintanya pada Vian juga, gadis itu tidak ingin Vian menunjukkan kemarahan jika berhasil mengingat siapa diri Amira sebenarnya.
Sakit, sesak, sungguh Amira tidak bisa membuang rasa cinta dan pedulinya pada pemuda yang sedang berdiri mematung sambil menundukkan kepala di halaman rumahnya. Amira hanya bisa mengintipnya dari balik jendela. Rasa takut, bersalah, rindu, semua, bercampur jadi satu dalam dada. Ingin Amira menjerit sejadinya. Tapi urung, ketika tiba-tiba hujan deras mengguyur badan jangkung Vian.
“Apa-apaan dia?” Amira membelalakkan mata.
Vian tidak beranjak dari tempatnya. Hujan terus mengguyur, bahkan sekujur badannya sudah benar-benar kuyup sekarang.
“Bodoh! Kamu pikir ini drama Korea?!” Amira geram dengan tingkah Vian yang terus membiarkan dirinya terguyur hujan. Amira menggigit bibir bawahnya saat Vian tampak mulai menggigil kedinginan.
“Pergi dari sana!”
Suara Amira tak kan bisa tertangkap pendengaran Vian. Amira ingin sekali keluar. Amira ingin menggeret Vian ke dalam. Tapi kakinya serasa berat untuk beranjak. Amira berusaha mengumpulkan nyali dengan memejamkan mata. “Saya kangen kamu.”
Deg! Kenapa justru kalimat Vian itu yang terlintas di pikirannya? Tapi hal itulah yang akhirnya membulatkan tekad Amira. Tanpa pikir panjang, Amira menyambar payung motif pelangi yang tergeletak di bawah kolong meja TV. Ia melesat keluar dan...
Vian tersenyum ramah sekali padanya. Degup jantung Amira yang semula tak beraturan kini jadi makin tak karuan.
“Vian...” Amira menangis. “Kenapa?!” Tapi tetesan air matanya bersatu dengan luluhan hujan. Ia sengaja menaruh payungnya di atas kepala Vian hingga giliran dirinya yang kebasahan.
“Karena.... Akan lebih baik kalau sepayung berdua, kan?” Tiba-tiba saja Vian menarik pinggang Amira hingga mendekat padanya.
Amira menenggelamkan wajahnya di dada Vian. “Bukan itu jawaban yang kuinginkan...”
Vian tidak menyahut lagi. Meminjamkan dada bidangnya untuk jadi tempat tangis Amira adalah suatu hal yang membuat hatinya bisa tertawa. Hingga tangis Amira reda. Hingga lelah berdiri menghampiri mereka berdua. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk naik beranda.
“Saya duduk sini saja.” Vian melepas kemejanya.
Amira berdecak. “Nanti tubuh indahmu dilihat banyak orang.”
“Habisnya, basah sih.”
“Terserah.” Amira berlalu masuk rumah.
Vian hanya bisa tersenyum melihat Amira sebal tapi pipinya memerah. Ia yakin sebentar lagi Amira keluar membawa handuk dan teh hangat. Sembari menunggu, Vian memeras kemejanya. “Huh, bisa masuk angin ini nanti...”
Tin..Tin!!
Spontan Vian mengedarkan pandang. Bunyi klakson mobil itu seperti tak asing baginya. Benar saja, mobil yang berhenti di depan rumah tetangga Amira itu seperti mobil dokter Adrian. Teringat lagi bagaimana kompaknya dokter dan Mama saat panik mengenai sakit kepalanya. Senyum Vian mengembang. Tapi sedetik kemudian senyumnya pudar.
Terlihat seorang gadis berseragam SMA turun dari mobil itu. Gadis cantik berambut lurus sebahu. Seragam SMA yang dikenakan pun tampak tak asing baginya. Amira? Entah kenapa mendadak Vian teringat sosok Amira mengenakan seragam yang sama. Kepala Vian kembali terserang nyeri, sakit sekali. Dan bertambah sakit ketika matanya menangkap sosok laki-laki berjas yang keluar dari mobil dan menghampiri gadis tadi.
“Bibi nggak keluar ya?”
“Nggak. Ini gemboknya juga nggak bisa dibuka, Pa!” ujar gadis itu.
Papa? Vian menundukkan kepala. Sakit yang ia rasa seolah ingin menendang keluarnya otaknya. Papa? Mata Vian terpejam kuat karena nyeri di kepalanya makin hebat. Dan saat itu juga terlintas scene memori buruk yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.
“Amira? Papa?!” Vian melotot, tak percaya. Dua orang yang dicintainya itu sedang bercumbu di kursi ruang tamu.
“AAARGH!” Vian menjerit sekerasnya. Tangan kanannya menjambak rambut, sedangkan tangan yang sebelah meremas kemeja basahnya.
“Vian? I‒ini... tidak seperti yang kau bayangkan, Nak!” Laki-laki berjas hitam yang dipanggil Papa itu berusaha menangkap tangan Vian yang berlari keluar rumah.
“Lepas! Kamu brengsek...! Kalian...! Menjijikkan!”
Beda halnya dengan Papa, Amira justru bersikap tenang. Gadis itu hanya membenahi kancing kemeja seragamnya lalu memasukkan sebuah amplop cokelat kecil ke dalam tas selempang. Melambai pada kedua laki-laki itu dan kemudian menghilang di balik gerbang.
“AAAARGH!” Kali ini jeritan Vian lebih keras dan panjang.