NovelToon NovelToon
Secret Admirer

Secret Admirer

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Persahabatan
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Macet

Ketika Laura mendapatkan surat cinta, dia dengan tekad bulat akan menyusuri jejak sang pengagum!

....

Laura ingin rasanya memiliki seorang pacar, seperti remaja di sekitarnya. Sayangnya, orang-orang selalu menghindar, ketika bersitatap dengannya. Jadi, surat cinta itu membawanya pada ambisi yang kuat! Mampukah Laura menemukan si pengagum dan mendapatkan akhir bahagia yang ia impikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Macet, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Ayo Pacaran

Ayo, Pacaran!

Aku sedang duduk bersama dengan Wafi di bangku kantin, sedangkan Yuna masih di dalam kelas mencatatat materi yang tidak dipedulikan alias tidak dicatatat pada waktu jam ke enam. Kalau duduk berdua saja dengan Wafi selalu membuat jantungku berpacu dua kali lebih cepat, apa lagi saat ini dia hanya menatapku. Tanpa gawai di genggaman.

"Wajahmu memerah," kata Wafi. "Kau sakit?"

Kata-kata sakral yang  seharusnya tidak dikatakan, karena terlanjur malu aku membenamkan wajah di meja. Dapat kudengar Wafi terkekeh kemudian usapan lembut di rambutku. Untuk mendongak saja, aku tidak punya nyali.

"Kau malu?" kata Wafi. "Untuk apa malu? Ayo, angkat kepalamu, aku ingin melihat wajahmu."

Dengan malu-malu aku mengangkat kepalaku. Menatap lurus dengan serius supaya rasa gugup ini hilang. Perang dingin dengan Wafi beserta senyuman hangatnya, kupastikan aku akan kalah sebelum mengangkat senjata. Aku tidak ingin munafik, dihadapkan dengan laki-laki tampan, pada akhirnya juga akan luluh. Pengecualian untuk laki-laki yang memiliki sikap biadab. Attitude tetap nomor satu.

Aku tersenyum sekilas melihat Wafi yang tidak berpaling menatapku. Wah, apakah setelah ini dia akan mengajakku jadian? Jika ya, akan kuterima dengan baik! Teman jadi pacar, menarik bukan?

"Senyumanmu manis," celetuk Wafi. "Jika bersamaku jangan lupa untuk tersenyum. Senyumanmu bagaikan semangat melalui hari."

Bagaikan melayang di langit ketujuh, hatiku berbunga-bunga. Oh God, aku sangat senang mendengarnya! Kalau Wafi memujiku seperti itu jangan ditanya lagi ekspesiku, aku saja sadar sudah sangat memalukan. Aku menatap sembarang arah, asalkan tidak melihat manik mata Wafi.

"Kenapa berpaling? Aku tidak melakukan kesalahan kan? Perkataanku itu benar adanya." kata Wafi. Aku menoleh ke arahnya,dia meraih tanganku dan menggengarnya.

"Wafi berhentilah memujiku, hal itu tidak baik untuk kesehatan jantung." kataku jujur. Wafi malah tertawa itu membuatku kesal dan menatapnya tajam. Mendadak rasa gugupku hilang seketika, berganti kesal karena ditertawakan.

"Manis sekali!" seru seseorang secara tiba-tiba. Tanpa permisi duduk di bangku sebelahku. Aku pernah melihat gadis ini, gadia yang sama yang melabrakku dan mengaku sebagai pacar Wafi. Padahal aslinya mantan.

Kemudian aku melirik sisi sebelah Wafi, Mutia duduk di sana sembari menatap ke arahku. Aku tidak mengerti arti tatapan itu. Secara tiba-tiba Cindy merangkul pundakku, mendekatkan diri dan membisikkan sesuatu, "Korban baru ya? Padahal aku sudah marah-marah padamu, tetapi kamu tidak kapok-kapok juga. Belum melihat wajah aslinya ya?"

Aku berdecak kesal dan menepis kasar tangan Cindy, gadis itu mengaduh kesakitan kemudian menutup mata. Atensiku kemudian teralih pada Mutia yang berbicara.

"Bagaimana hari ini Wafi?" katanya. "Kau merasa senang atau bagaimana? Dan lagi, di mana Yuna teman kalian itu?"

"Tentu baik. Dan Yuna tidak ada di sini karena dia sedang ada urusan dengan beberapa materi," kata Wafi. "Untuk apa bertanya? Adakah hal penting dengan informasi itu?"

Mutia menggeleng dan menyeruput es teh miliknya. Ketika kami bersitatap, dengan cepat dia memutuskan kontak mata dan menatap ke arah Cindy. Cindy sendiri berkedip dengan cepat dan tersenyum manis, mereka pasti memiliki rencana yang tidak baik untukku.

"Hai, Mantan!" seru Cindy dengan riang, tangannya melambai dengan gerakan cepat. "Setelah putus denganku, kau mendapatkan pengganti jauh lebih cepat dari yang kuduga. Padahal aku berpikir, menemukan pasangan lain kira-kira membutuhkan waktu dua tahun."

Aku mendelik sinis, merasa perkataan Cindy meninggikan diri sendiri. Seolah berkata, aku adalah yang terbaik, bagaimana mungkin kau melupakanku secepat itu? Tetapi aku tidak akan berbicara, aku ingin melihat respon Wafi.

"Oh? Ada banyak perempuan lain yang lebih baik darimu yang kutemui dua tahun terakhir ini." ujar Wafi dengan mantap. Aku tertawa kecil melihat ekspresi masam Cindy, gadis itu sudah pasti panas dikatai mantan.

"Ya, katakan saja aku memang yang terlalu percaya diri kamu tidak bisa move on," kata Cindy. "Padahal sebenarnya akulah yang gagal move on."

Tidak heran jika Cindy gagal melupakan Wafi, laki-laki itu adalah tipikal pacar idaman. Semua orang pasti berebut menjadi pacarnya, semoga setelah drama ini Wafi segera menembakku dan aku dapat melepas status jombloku!

"Oh?" kata Wafi santai. Aku berkedip memperhatikan bibir Wafi yang terangkat naik. Dia tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Pertanyaannya, kenapa dia menampilkan senyum mengerikan itu?

"Jika kau ingin balikan, aku tidak masalah dan dengan lapang dada akan menerimamu kembali. Bagaimana?" kata Cindy tersenyum. Dasar rubah! Aku memandang takut-takut pada Wafi yang terdiam, jika dia menerima tawaran Cindy bagaimana dengan aku?

"Mantan tetaplah mantan, jangan bermimpi untuk menjadi pacarku lagi. Aku masih ada orang lain yang harus dikejar, untuk yang terakhir kalinya." kata Wafi sendu. Apakah itu artinya dia akan memilih si calon pacar dan dijadikan pacarnya yang terakhir? Apakah itu aku. Jika benar, Wafi tidak kunjung menembakku sudah pasti karena memikirkan hal ini matang-matang.

"Yeah!" Cindy memberenggut kesal, ekspresinya kentara kecewa. Dia kemudian menggenggam tanganku dan menarikku.

"Ikut aku!" katanya tajam.

......................

Aku kembali ke kantin dengan kesal, untung saja di meja kami tidak lagi kudapati Cindy ataupun Mutia. Tetapi wajah Wafi menjadi masam, mungkin saja Mutia sudah melontarkan kata-kata yang membuat laki-laki itu sakit hati atau kepalang kesal.

Aku menepuk pundak Wafi dan duduk di sebelahnya. Masih terhitung sepuluh menit lagi sebelum jam pelajaran kembali dimulai, jadi kami masih memiliki kesempatan untuk berbicara banyak.

"Kau akan menerima tawaran Cindy? Mau bagaimanapu. dia tetap gadis yang cantik, sayang sekali jika ditolak," kataku berniat menyindir. Jika dia peka sudah pasti tatapannya sinis, dan ya tatapannya memang sinis.

"Ngomong-ngomong, aku penasaran alasan kalian putus." lanjutku dan langsung menutup mulut. Rasa penasaran ini selalu membuatku susah.

"Jika aku beri tahu apa untungnya untukmu dan apa untungnya untukku?" tanya Wafi. Kenapa mendadak laki-laki ini jadi perhitungan, sih? Aku mendengus kesal dan mengibaskan tangan, yasudah kalau tidak mau memberi tahu, aku juga tidak akan mati karena penasaran.

Dia tertawa kemudian berdehem, aku menoleh dan menaikkan alis. "Akan kuceritakan, tetapi tolong jangan tertawa." kata Wafi dan aku mendelik tidak suka, aku bukan tipikal orang yang suka menertawakan ketika orang lain bercerita. Pengecualian untuk suatu hal yang sudah di luar nalar.

"Kami putus karena aku yang meminta supaya hubungan kami berakhir saja," kata Wafi. "Dia berselingkuh. Aku laki-laki normal yang akan meminta putus jika sudah diselingkuhi. Diselingkuhi itu tidak enak."

Aku tidak percaya, jika memang karena selingkuh, kenapa Cindy tampaknya tidak merasa bersalah dan seolah tidak tahu. Cindy itu seperti sangat mencintai Wafi dan tidak menunjukkan wajah-wajah seorang perempuan yang berselingkuh. Manik matanya menunjukkan itu semua.

"Dia tidak tahu jika aku tahu dia berselingkuh, oleh karena itu reaksinya masih tetap sama," kata Wafi. Hah, maksudnya? Aku menaikkan alis meminta penjelasan pada klausa di baris pertama.

"Aku diam saja ketika tahu dia berselingkuh, sehingga sampai saat ini dia mengira hubungan kami berakhir karena potensi orang ketiga. Aneh bukan? Dia sendiri yang selingkuh kemudian menuduhku yang berselingkuh." jelas Wafi. Aku menganggukkan kepala dan kemudian menggeleng, masih ada yang janggal.

"Kenapa kau tidak bongkar saja kelakuannya supaya Cindy tidak lagi mengejarmu?" tanyaku dan Wafi menggeleng, tampaknya dia enggan memberitahukan alasannya dan aku harus maklum. Hal itu mungkin menyangkut privasi.

"Sudah, jangan lagi membahas Cindy. Dia sudah tidak lagi penting dalam hidupku," kata Wafi. Dia secara tiba-tiba menggengam tanganku, menatapku dalam dengan senyum andalannya. Bisa kutebak, wajahku saat ini sudah pasti memerah.

"Bagaimana jika kita bahas mengenai surat-menyurat?" tanyanya melanjutkan perkataan sebelumnya. Aku menunduk, jantungku berpacu dengan cepat, apakah ini adalah saat di mana aku akan melepas masa jombloku? Tetapi hatiku merasa tidak senang dan gelisah. Kusentuh dadaku yang kembang kempis tidak tahu kenapa, mendongak dan seketika senyumanku luntur melihat Wafi menatap ke arah sekumpulan gadis.

"Wafi..." kataku menyadarkan. Dia lekas menoleh dan wajahnya terlihat gugup.

"Kau sudah punya pacar, belum?" tanya Wafi. Aku berkedip dua kali, merasa aneh.

"Belum," jawabku. "Jangankan pacar, ada yang suka saja sudah bersyukur."

Jika kuingat lagi tentang penemuan surat di loker, aku langsung menatap wajah Wafi. Laki-laki itu sangat tenang dan menatapku dengan senyuman andalan.

"Kamu cantik, baik dan tipe ideal untuk seseorang yang ingin mencari pacar," katanya. Pernyataan itu seolah menjebak, siluet Wafi menyatakanmaksud lain.

"Aku tidak percaya kau masih belum punya pacar." lanjutnya dan aku langsung berdecak kesal. Kenapa jadi membahas masalah pacar, sih? Wafi yang kuketahui memiliki satu mantan versus diriku yang selalu gagal dalam hal percintaan. Mentalku tidak aman jika disandingkan seperti itu. Aku mendelik tidak suka dan membuang muka.

"Benar-benar tidak punya, ya?" kata Wafi menantang. Aku masih enggan melihat wajah Wafi, pasti sekarang ekspresinya mengejek.

"Bagaimana kalau jadi pacarku saja, sekalian kau melepas masa jomblo!" ujar Wafi dan langsung saja aku menoleh, menatapnya intens guna mencari kebohongan di antara netra indahnya. Sialnya, aku tidak menemukannya.

Aku ragu untuk merespon, merasa perkataan itu bukan untukku. Aku menunduk dan memperhatikan sepasang sepatu.

"Bagaimana?" tanya Wafi. Aku belum siap untuk menjawab, masih ada keraguan yang harus kuselesaikan. Dengan kecewa aku menghela nafas dan akan melontarkan penolakan, ya penolakan karena belum siap. Hatiku mengatakan itu.

"Hei, hei! Enak sekali kaumeminta alaura menjadi pacarmu. Padahal dia kemarin sudah menerima tawaranku untuk menjadi babu, seharusnya jika ingin menjadi pacarnya, mendaftar dulu padaku!" celetuk Zen yang datang entah dari mana. Aku melotot menyadari perkataannya.

"Jangan menggangguku, kau sama sekali tidak memiliki hak berbicara saat ini." ujar Wafi datar.

"Tuli? Aku sudah mengatakan dia menerima tawaranku untuk menjadi babu. Sebagai majikan yang baik, aku harus menyeleksi siapa saja yang ingin menjadi pacarnya," kata Zen kemudian merangkul pundakku. "Benar bukan?"

"Jangan menghalangiku," tukas Wafi. Wajahnya gelap sekali dengan alis menukik tajam pertanda kekesalannya sudah di level tertinggi. "Ini urusan antara aku dan Laura, aku hanya ingin mendengar jawabannya bukan komentar darimu."

Zen menarikku ke belakang punggungnya di kala Wafi ingin meraih tanganku. Zen mendengus kesal dan melipat lengan bajunya ke atas. Dia melayangkan satu pukulan ke perut Wafi, pasokan udara seolah menipis, mau bagaimanapun ini masih di area sekolah. Kenapa Zen bisa seberani itu?

Wafi berdecak kesal sembari memegang perutnya, dia menerjang Zen dan menarik kerah baju lelaki itu. Aku dan para penghuni kantin lainnya langsung panik, kulihat beberapa siswi berlarian tak tentu arah. Kutebak di antara mereka menuju ruang BK, semoga saja.

"Kau yang selalu mencari masalah pada Laura sama sekali tidak berhak untuk berbicara," kata Wafi tajam. "Sebaiknya minggir, aku hanya ingin mendengar jawaban dari Laura."

Zen menimpali dengan sarkas, "Seorang play boy tidak perlu banyak bicara. Kau yang seperti musuh di balik selimut lebih menjijikkan dan tidak layak untuk Laura. Aku sudah mengamatimu, kembalilah dengan perasaan dongkol."

Walaupun aku tidak terlalu mengerti mengapa Zen berkata seperti itu, hati kecilku turut senang karena tidak perlu memberi jawaban pada Wafi.

Perkelahian kecil itu terpaksa dibubarkan karena guru BK sudah datang. Diam-diam aku menghela nafas lega dan langsung pergi tanpa sepengetahuan siapa pun, jika terus di sana aku juga akan dihukum.

Aku terus melangkah menuju kelas dengan telinga yang berdengung. Sial, berita Wafi mengungkapkan rasa suka padaku ternyata terdengar di telinga para penghuni kantin dan dengan cepat menyebar ke orang lain. Aku tidak nyaman menjadi topik pembicaraan, jika memang ingin mengungkapkan rasa suka tidak seharusnya membuat kekacauan.

1
tishabhista
lanjutttt...
Pena Macet: ceritanya udah tamat kak/Smile/
total 1 replies
Mona
lanjut kakkkk
Mona
Asekk dapat surat cinta 🔥
Khana Imoet
absen dl kk
Shinn Asuka
Tidak bisa menunggu untuk membaca karya baru dari author yang brilian ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!