Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Duka
Perjalanan panjang lima jam akhirnya berakhir saat azan subuh berkumandang pelan dari kejauhan. Mobil berhenti di depan sebuah hotel kecil dekat rumah sakit. Udara Parepare terasa dingin, membuat Zahra memeluk kedua lengannya.
Mereka masuk ke kamar hotel sederhana. Zahra langsung menjatuhkan diri ke sofa, sementara Althaf membuka sejadah dan bersiap sholat. Setelah subuh, keduanya beristirahat sebentar sebelum bergegas menuju rumah sakit saat hari mulai terang.
Lorong rumah sakit masih sepi. Aroma antiseptik menyengat, lampu-lampu putih menyala terang. Setelah mendaftar dan mengenakan baju steril, keduanya dipersilakan masuk ke ruang ICU.
Begitu melihat sosok ayahnya terbaring dengan alat bantu pernapasan, raut wajah Althaf berubah muram. Nafasnya tertahan. Ia mendekat perlahan, lalu menggenggam tangan sang ayah yang dingin.
“Bapak,” bisiknya.
Zahra berdiri di belakangnya. Ia tak tahu harus berkata apa. Pemandangan ini saja membuat dadanya ikut sesak.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Setelah itu, perawat mempersilakan mereka keluar.
Ketika pintu ICU tertutup kembali, langkah kaki ringan terdengar mendekat. Seorang gadis berseragam SMA berlari kecil ke arah mereka.
“Kak Althaf?” serunya.
Althaf menoleh. “Khalisa. Sejak kapan datang?”
“Baru juga tadi … tapi —eh? Sejak kapan Ki datang?” tanya gadis itu cepat.
“Tadi subuh,” jawab Althaf pelan.
Khalisa hendak mengangguk, namun pandangannya langsung berhenti pada Zahra. Ia menunjuk Zahra secara polos namun tegas.
“Terus itu siapa ta Kak? Pacarta?”
Zahra langsung tersedak udara sendiri.
Althaf menggeleng. “Ini istriku, Dek.”
“Apa?” Khalisa langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melebar. “Sejak kapan Ki menikah? Jangan-jangan … kutanyaki Mama nah!”
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu langsung lari terbirit-birit menyusuri lorong.
Zahra menoleh pada Althaf, bingung. “Dia siapa? Kok dia lari begitu?”
“Adikku bungsu. Khalisa,” jawab Althaf.
“Terus kenapa—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, suara langkah tergesa-gesa disertai helaan napas berat terdengar mendekat. Seorang wanita paruh baya datang sambil membawa kain di tangan. Dan tanpa aba-aba.
Plak! Plak! Plak!
Kain lap itu mendarat berkali-kali di bahu dan punggung Althaf.
“Ya ampun Althaf! Kenapa ko hamili anaknya orang, nak?” serunya dengan logat Bugis yang kental. “Baru ko datang dari Jakarta bikin masalah meko, nak! Mamak ndak pernah ajarko begini!”
Zahra langsung meringis iba. Althaf hanya bisa melindungi kepalanya sambil mundur sedikit.
“Mak! Bisa ka dengar dulu!” seru Althaf.
“Dengar apa lagi? Kau hamili anaknya orang to?!” protes sang ibu lagi, makin semangat memukuli. “Oh Puangku. Addampengi atammu kesinah! ( Ya Allah ampunilah hambamu ini!).”
“Mamak!” Althaf hampir putus asa. “Tidak kuhamili anaknya orang!”
Sang ibu berhenti sekejap, menatap Althaf penuh curiga. “Lalu, itu siapa?” Ia menunjuk Zahra lagi.
“Zahra memang istriku,” jelas Althaf cepat. “Tapi menikah baik-baik, Mak. Ini anaknya Om Sultan. Kenalki toh?”
Wanita itu, Mia langsung terdiam. Tatapannya beralih pada Zahra dari atas sampai bawah. Zahra langsung tersenyum kaku.
“Halo … ehehe. Saya Zahra,” sapanya pelan.
Mia memicingkan mata, lalu menatap Althaf lagi. “Lalu kenapa bisa ko menikah kalau bukan karena kau hamili? Bagaimana ceritanya?”
Althaf menghela napas panjang, tampak lelah. “Mak … panjang ceritanya. Nanti kujelaskan ki semua.”
Dari ujung lorong, suara kecil terdengar. “Kak … maaf.” Khalisa berdiri sambil meringis, jelas menyesal sudah lari dan melapor terlalu cepat.
Althaf hanya menatap sang adik dengan wajah datarnya.
*
Zahra, Althaf, Mak Mia, dan Khalisa duduk di bangku panjang dekat kolam kecil. Udara sejuk menenangkan suasana setelah drama di lorong tadi.
Mak Mia mengusap wajahnya, tampak sudah lebih tenang. Althaf baru saja selesai menceritakan semuanya, pernikahan mendadak itu
Khalisa mengangguk-angguk pelan, wajahnya merah karena malu sudah salah sangka.
Zahra menarik napas, lalu menundukkan kepala dalam-dalam. “Maaf ya, Mak … kalau Althaf dijadiin pengganti. Saya … saya tidak berniat buat semuanya ribet begini.”
Mak Mia menatapnya lama. Lalu ia tersenyum lembut, penuh keibuan. “Ndak apa-apa, Nak. Mungkin memang begini jalannya. Takdir anakku memang harus lewat perjodohan.”
Zahra menggigit bibir, matanya terasa panas. “Tetap saja … saya merasa bersalah.”
Mak Mia menggeleng, kemudian meraih tangan Zahra dan menggenggamnya hangat. “Jangan meki rasa bersalah, Nak. Semua yang terjadi sudah Allah tentukan. Kita cuma menjalani saja.”
Zahra tak bisa menahan senyum kecilnya. Ada rasa hangat menyebar di dadanya nyaman, sekaligus asing.
Althaf yang duduk di sampingnya mencuri pandang. Ia memperhatikan bagaimana ibunya begitu cepat menerima Zahra. Ada sesuatu yang merayap di dada Althaf lega, dan entah kenapa hangat.
Khalisa tiba-tiba ikut bicara, suaranya lirih, “Minta maaf ka kak nah, tadi salah sangka ka.”
Zahra menoleh dan tersenyum. “Tidak apa, Dek. Namanya juga panik.”
Sebelum suasana makin melunak, seorang perawat berlari kecil menuju mereka.
“Maaf, keluarga Pak Burhan?” panggilnya.
Mereka semua menoleh serempak.
“Pasien atas nama Pak Burhan sudah sadar,” lanjut sang perawat. “Dan beliau memanggil keluarganya.”
Mak Mia langsung menutup mulutnya, air mata menetes. “Alhamdulillah, Ya Allah.”
Althaf berdiri cepat, wajahnya berubah lega sekaligus tegang. “Ayo, Mak.”
Zahra ikut bangkit. Jantungnya ikut berdegup kencang.
*
Althaf dan Zahra kembali memasuki ruang ICU dengan langkah perlahan. Di atas ranjang, mata Pak Burhan tampak sayup setengah terbuka, seolah menunggu sesuatu.
Saat melihat putranya masuk, lelaki tua itu menampilkan senyum lembut.
“Ada meko pulang, Nak,” ucapnya lirih.
Althaf mendekat, menahan guncangan di dadanya. Ia menunduk dan mencium punggung tangan sang ayah dengan penuh hormat.
“Iye, Pak. Althaf pulang,” jawabnya pelan.
Pak Burhan mengalihkan pandangannya, memperhatikan sosok gadis yang berdiri di samping Althaf. Mata tuanya berkedip pelan, seakan memastikan penglihatannya tidak salah.
Sebelum sang ayah bertanya, Althaf buru-buru menjelaskan, “Pak … ini istriku. Zahra. Anaknya Om Sultan.”
Alis Pak Burhan terangkat. Ia menatap putranya lalu kembali pada Zahra, seolah mencoba mencocokkan wajah yang dilihatnya dengan kenangan masa lalu.
Althaf menjelaskan dengan cepat—m tentang pernikahan, kondisi yang terjadi beberapa hari terakhir, dan bagaimana Zahra menjadi bagian keluarga mereka.
Perlahan, pengertian muncul di wajah keriput itu. Pak Burhan mengangkat tangan, memberi isyarat agar Zahra mendekat.
Zahra menunduk dalam-dalam, lalu mencium punggung tangannya. Hangat dan rapuh.
“Mirip sekali ki, sama bapakmu, Nak,” ucap Pak Burhan, suaranya pecah. “Bagaimana kabar bapakmu?”
“Alhamdulillah baik, Pak,” jawab Zahra lembut.
Pak Burhan tersenyum kecil, seolah lega. Ia kembali memandang putra sulungnya.
“Thaf … panggilkan mamakmu dulu, Nak. Panggil juga kedua adikmu.”
Ada kegelisahan yang tiba-tiba menyambar dada Althaf. Namun ia tetap mengangguk, berusaha menelan kecemasan.
“Iye Pak, tunggu kupanggilkan ki’.”
Althaf meminta izin pada perawat. Awalnya perawat menolak, namun melihat kondisi Pak Burhan yang makin lemah, akhirnya mereka mengiyakan.
Beberapa menit kemudian, ruang ICU yang biasanya sunyi kini dipenuhi orang-orang terdekat. Mak Mia yang matanya sembab, si kembar Khalisa dan Karel yang terlihat ketakutan, serta Zahra yang berdiri di sisi Althaf.
Pak Burhan menatap keluarganya satu per satu. Ada bangga, cinta, dan keikhlasan di matanya.
“Althaf,” panggilnya.
“Iye Pak,” jawab Althaf mendekat.
“Jaga adek-adekmu, Nak. Jaga mamakmu nah.”
Khalisa mulai menangis, menutup mulutnya. Karel mengepalkan tangan, berusaha tegar namun gagal.
Pak Burhan mengalihkan pandangan kepada Zahra, lalu pada Althaf. “Dan kamu, Nak jaga istrimu. Jangan sakiti hatinya. Dia aman di tanganmu.”
Zahra terkejut, kemudian menunduk dengan mata memerah. Air mata Mak Mia mengalir deras, bahunya bergetar.
Pak Burhan menarik napas berat, seperti mengumpulkan tenaga untuk kata-kata terakhirnya.
“Dan … jaga sholatmu, Nak.”
Ucapan itu membuat suara tangis semakin pecah. Khalisa memeluk Karel. Mak Mia menutup wajah dengan tangan, tubuhnya goyah.
Napas Pak Burhan terputus-putus—seolah tertarik, lalu kembali, lalu tertarik lagi. Zahra menutup mulutnya, air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.
Pak Burhan menoleh pada Zahra yang tengah menangis.
“Jangan ki menangis, Nak. Semua yang bernyawa pasti akan mati.”
Suara itu lembut, menenangkan, seolah bukan dirinya yang sedang meregang nyawa.
Ia kembali memandang Althaf. “Bimbing bapak, Nak.”
Mata Althaf memerah, suaranya hampir pecah. Namun ia tetap berdiri tegar, memegang tangan ayahnya kuat-kuat.
“Iye Pak ikuti Althaf.”
Dengan suara bergetar, Althaf mulai mengucap. “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu .…”
Pak Burhan mengikutinya perlahan, terbata-bata, bahkan menarik napas pun seperti susah. “Wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah ....”
Saat kata terakhir selesai terucap, napas Pak Burhan tertahan. Kepalanya miring sedikit.
Matanya menutup pelan sambil tersenyum.
Diam sejenak, lalu dunia seakan runtuh.
“Bapak!!”
Teriakan Khalisa menghantam udara.
Karel memeluk ibunya yang histeris.
Mak Mia jatuh berlutut sambil meratap.
Zahra menutup mulutnya, tubuhnya bergetar hebat. Air mata jatuh tanpa henti.
Althaf tidak menangis. Tidak saat itu.
Ia hanya menutup mata ayahnya dengan tangan gemetar namun tegas, lalu berbisik, “Istirahatki, Pak. Inalillahi wa innailaihi rojiun.”
Kemudian ia memeluk ibu dan adik-adiknya, mencoba menjadi sandaran meski dirinya nyaris roboh.
Note:
Dalam Bahasa Makassar, "ko" dan "ki'" adalah partikel penegas yang berarti "kamu" atau "Anda", tetapi digunakan dalam konteks berbeda: "ki'" (kita) lebih sopan untuk orang yang lebih tua atau dihormati, sedangkan "ko" (kau) lebih akrab untuk teman sebaya atau lebih muda, seringkali digabung seperti "mauko" (mau kamu) atau "dimanaki'" (dimana kamu). "Ko" (dari Kau):
kalau mama rani tau kelakuan anaknya dah pasti geleng-geleng 🤭
tapi sekarang udah langka🤭🤭
emang enak klu dmakan dkasih gula putih dcampur gitu rasanya ada manis n asamnya, 😃
Bunne tuh buah Buni ya thor
kapok sukurin kau hahaha
pak sul sul ketauan juga kan heh
awas kau pak sul sul ketauan baru tau rasa wkwkwk