Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 17
"Siapa yang mau membunuh anakmu, Mas?" Gisela mengedipkan mata secara cepat untuk menghalau cairan bening yang hendak keluar dari sana.
"Kamu! Memang siapa lagi? Di rumah ini hanya ada kita bertiga!" bentak Abram.
"Ah, aku lupa kalau di rumah sebesar ini hanya ada kita bertiga. Aku yang berstatus sebagai istri sah justru sekarang menjadi pembantu. Pasti ini soal pecahan gelas itu, bukan? Biar aku bersihkan, TUAN!" Gisela memberi penekanan ketika memanggil Abram dengan sebutan 'tuan'.
Wanita itu berjalan pergi meninggalkan Abram begitu saja. Ia masuk ke kamar utama dan langsung membersihkan pecahan gelas. Sikapnya begitu tidak peduli ketika melihat Stevani yang sedang bersedekap sembari tertawa senang.
Ketika telah selesai membersihkannya, Gisela langsung pergi tanpa mengucap sepatah kata pun. Bahkan, ia sama sekali tidak berbicara ketika melewati Abram yang sedang berdiri di ambang pintu.
"Hallo," sapa Gisela saat baru memasuki kamar ia mendengar deringan ponsel dan nomor baru yang tertera di sana. "Ini siapa?"
"Ini aku, Gis. Dirga."
Gisela mematung saat mendengar suara yang sangat tidak asing baginya. Suara yang sangat dikenali meskipun hanya lewat panggilan suara.
"Dir-Dirga." Suara Gisela terbata. "Kamu dapat nomorku dari mana?"
"Dari Om Hendarto. Aku hanya ingin bisa bertukar kabar denganmu."
"Oh dari papa." Gisela terdiam. Ada rasa kecewa kepada papanya karena tidak meminta izin terlebih dahulu sebelum memberikan nomornya kepada Dirga. Bukannya Gisela tidak ingin lelaki itu menghubunginya, tetapi Gisela sangat menjaga jarak apalagi sekarang Dirga sudah tahu kalau ia adalah wanita bersuami.
"Gis, besok aku libur dan kebetulan ada pameran buku di pusat kota. Apa kamu mau ke sana? Nanti biar aku jemput."
"Jam berapa acaranya?" Gisela begitu antusias. Datang ke acara pameran buku adalah kesukaannya sejak dulu.
"Jam tujuh pagi sampai malam."
"Kalau begitu aku besok berangkat sendiri saja."
"Kenapa? Kamu tidak ingin aku jemput?" tanya Dirga. Suaranya terdengar begitu menuntut.
"Tidak perlu. Aku tidak mau merepotkan siapa pun. Aku matikan dulu." Gisela segera mematikan panggilan tersebut bahkan ponselnya juga. Ia tidak ingin Dirga kembali menghubunginya lagi.
"Aku harus izin sama Mas Abram tidak ya," gumam Gisela. Merasa bimbang. "Ah, biarkan saja. Toh, Mas Abram tidak akan peduli kalaupun aku pergi ke mana saja."
Gisela merebahkan tubuh di atas ranjang lalu berusaha untuk tidur.
***
Pagi ini Gisela sudah menyiapkan segala sarapan untuk suami dan selingkuhan suaminya. Ia masih begitu bodoh. Menerima perlakuan sebagai pembantu. Setelah semua siap, Gisela tidak mengucap apa pun. Ia justru bergegas masuk kamar untuk mengambil tas kecil miliknya.
Ketika hendak keluar dari rumah itu, langkah Gisela terhenti saat sudah sampai di ambang pintu ia mendengar panggilan dari Abram. Gisela berbalik dan melihat suaminya yang menatapnya penuh selidik.
"Kamu mau ke mana?" tanya Abram.
"Pergi."
"Pergi ke mana!"
"Itu bukan urusanmu." Gisela menjawab santai.
"Ingat, aku ini suamimu. Jadi, ke mana pun kamu pergi harus dengan izinku!" Suara Abram mulai meninggi.
"Ah, iya, sampai lupa kalau aku ini istrimu, Mas. Aku merasa pelayan di sini bukan istrimu. Bahkan, kita tidak tidur dalam satu kamar, apakah pantas itu disebut suami-istri?"
"Kamu—"
"Maaf, Mas. Aku sudah kesiangan." Gisela menatap jam di pergelangan tangan. "Aku sudah siapkan sarapan untukmu dan nona mudamu itu. Ada sayur yang baik untuk kehamilannya. Juga minuman jahe untuk meredakan rasa mual karena trisemester kehamilan pertama, wanita hamil akan sering merasakan mual."
Gisela pergi begitu saja meninggalkan Abram yang hanya diam. Lelaki itu tidak mampu berbicara apa pun lagi. Ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan cara apa pun.
Abram pun menghubungi salah satu pengawal untuk mengikuti ke mana pun Gisela pergi karena pagi ini ia memiliki rapat yang sangat penting.
"Awas saja kalau sampai kamu pergi dengan lelaki lain!"
🤪🤪🤪
Sambil nunggu, mampir ke karya temen Othor yukk
dijamin seru banget
Yuk cuss👇👇👇