Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Rada berusaha berjalan secepat mungkin menuju lantai tiga, lantai tempat divisi Backend Development berada sambil menunduk untuk menghindari tatapan penasaran para karyawan yang masih sibuk membicarakan kejadian di depan gedung tadi.
Namun Sania, rekan barunya yang cerewet sekaligus ramah, tidak berhenti mengikuti langkahnya.
“Jadi kamu beneran bareng Pak Gavin dari apartemen?” tanya Sania setengah berbisik tapi dengan nada penuh semangat, seolah mereka sedang membahas selebriti.
“Sania…” Rada menatapnya letih. “Jangan mulai, ya.”
“Tapi, Ra, itu nggak bisa disebut kebetulan loh. Aku aja kerja di sini dua tahun belum pernah lihat Pak Gavin jalan bareng siapa pun, apalagi satu mobil. Kamu itu... fenomena baru di Apexion.”
Rada menghela napas panjang, mencoba mengalihkan fokus ke lift yang baru terbuka.
“Dia cuma ngasih tumpangan, kebetulan arah kami sama.”
Sania mendecak pelan. “Kebetulan yang luar biasa, kalau aku bilang. Satu apartemen, satu mobil, satu kantor… tinggal satu hati aja belum.”
“Sania!” Rada menoleh cepat, wajahnya memerah bukan karena senang, tapi karena sebal. Ia jadi menyesal keceplosan satu satu gedung apartemen dengan Gavin, sekarang Sania memberondongnya dengan berbagai pertanyaan aneh.
Sania tertawa kecil, mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, oke, aku berhenti. Tapi serius, Ra, aku harus kasih tahu kamu sesuatu.”
Mereka keluar dari lift dan berjalan menuju ruang kerja yang dipenuhi barisan meja komputer, beberapa orang sudah sibuk menatap layar dengan earphone di telinga. Sania menurunkan suaranya, mencondongkan tubuh sedikit mendekat.
“Kamu tahu Gilsha, kan?”
“Belum. Siapa?”
“Manager Keuangan. Cantik, elegan, tajam kayak pisau,” jawab Sania cepat. “Dia udah lama banget ngejar Pak Gavin. Semua orang tahu itu.”
Rada memiringkan kepala, mencoba terlihat tidak peduli. “Dan itu urusanku karena…?”
Sania memutar mata. “Karena sekarang semua orang udah lihat kamu datang bareng Pak Gavin pagi ini. Kamu tahu kan gimana orang kantor, mereka bakal langsung nyambungin apa pun. Dan kalau Gilsha tahu, dia pasti nggak bakal diem aja.”
Rada berhenti di depan mejanya, menatap Sania dengan pandangan tak percaya. “Kamu ngomong kayak aku barusan rebut pacar orang.”
“Justru itu,” bisik Sania cepat, “masalahnya bukan kamu rebut siapa-siapa, tapi Gilsha tipe yang nggak mau ada perempuan lain dekat sama cowok yang dia incar. Bahkan cuma terlihat dekat.”
Rada menghela napas, menyalakan komputernya dan duduk. “Ya ampun… aku baru dua hari di sini.”
“Makanya aku bilang, hati-hati aja. Apalagi kamu kerja di divisi teknis, dan Gilsha sering datang ke lantai kita buat minta laporan sistem keuangan atau update aplikasi. Kalau dia tahu kamu itu Rada yang tadi turun dari mobil Pak Gavin...” Sania ikut duduk di mejanya yang bersebelahan dengan meja Rada.
“Saniaa” potong Rada pelan tapi tegas, “aku cuma mau kerja dengan tenang. Aku nggak peduli gosip atau siapa pun yang ngejar CEO itu. Aku cuma pengen kerja.”
Sania menatapnya lama, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kalau nanti kamu tiba-tiba dapat tatapan tajam di pantry, jangan bilang aku nggak kasih peringatan.”
Rada hanya menggeleng sambil menatap layar komputernya yang mulai menyala. Dalam hati ia berusaha menenangkan diri, tapi ucapan Sania terus terngiang di kepalanya.
Gilsha.
Nama yang bahkan belum ia kenal, tapi sudah membuatnya merasa akan ada badai kecil di kantor ini. Tapi tak masalah, toh sedari dulu Rada juga sudah berteman dengan badai.
Pukul delapan pagi semua orang fokus ke komputer masing-masing, bahkan Sania yang cerewet sekalipun.
Rada menegakkan punggungnya di kursi kerja, menatap layar monitor penuh baris kode yang berderet rapi. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, sesekali berhenti untuk menyesap kopi dingin yang mulai kehilangan rasa.
Bagi Rada, ini jauh lebih menenangkan. Tenggelam dalam logika, algoritma, dan baris-baris program dibandingkan memikirkan omongan orang tentang siapa yang turun bersamanya dari mobil pagi tadi.
Ia sempat mendengar beberapa rekan di cubicle belakang berbisik pelan, menyebut nama Gilsha, membandingkan, berasumsi. Tapi Rada tidak menoleh sedikitpun. Hatinya sudah terlalu keras untuk diguncang hal seperti itu.
Ia sudah meninggalkan hidup yang jauh lebih rumit di New York. Meninggalkan El, pria yang seharusnya menjadi suaminya tapi justru memilih kakak kandungnya sendiri tepat sebelum pernikahan mereka. Luka itu sudah cukup membentuk kulit baja di dalam dirinya.
“Kalau bisa ninggalin tunangan yang berkhianat, masa cuma omongan seorang perempuan kantor aja harus aku pikirin,” gumamnya pelan sambil mengetik lagi.
Sania sempat melirik dan tersenyum kecil. “Kamu ngomong sesuatu?”
Rada hanya mengangkat alis. “Ya, aku nggak punya waktu buat drama. Aku cuma mau kerja, dapet hasil bagus, dan selesai tepat waktu. Bulan depan game baru mau diluncurkan, dan backend-nya masih banyak bug. Itu masalah yang nyata.”
Ia membuka tab sistem utama, memeriksa daftar error log yang baru masuk. Matanya fokus, ekspresinya tenang tapi tajam, menunjukkan bahwa di balik sikap lembut dan sopan yang ditampilkan di luar, Rada punya sisi profesional yang kuat dan tidak mudah digoyahkan.
Ketika satu per satu notifikasi internal muncul di layar, permintaan update dari tim lain, laporan dari tim desain, jadwal rapat dari manajer, Rasa menanganinya cepat dan efisien.
Beberapa kali Sania melihat senior mereka memperhatikan Rada dengan ekspresi kagum.
“Anak baru tapi kerjanya bersih banget,” bisik salah satu dari mereka.
“Ya iyalah, dia dari kantor cabang New York. Level-nya beda.”
Rada mendengar itu, tapi tidak bereaksi. Ia hanya menghela napas, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Baginya, satu-satunya hal penting saat ini adalah membuktikan kalau dirinya bisa berdiri sendiri, tanpa bayangan masa lalu dan tanpa ketergantungan pada siapapun termasuk Gavin, pria yang entah kenapa terus muncul di hidupnya dengan cara yang tidak pernah ia duga.
“Ra, udah jam sembilan nih. Ada rapat di lantai tujuh sama divisi lain, kamu ikut hadir.” Kata Vella mulai membereskan mejanya.
Rada menghela nafas panjang, tersenyum tipis dan mengikuti Vella bersama dua orang lainnya.
......
22.00, New York.
Di New York malam itu, lampu-lampu kota memantul di jendela apartemen tinggi yang menghadap ke Central Park. Suara hujan halus memukul kaca, tapi suasana di dalam ruangan jauh dari tenang.
El berdiri di depan meja kerja dengan wajah menegang. Ponselnya baru saja menampilkan notifikasi berita di situs finansial Indonesia. Salah satu media bisnis yang menulis tentang “kemungkinan aliansi keluarga Argaya dan keluarga Agler melalui pernikahan anak mereka.”
Pernikahan? Juan Agler hanya memiliki dua orang anak, Karina dan Gavin. Karina sudah menikah, berarti tidak mungkin dia yang dimaksud. Edwin Argaya memiliki tiga anak, hanya Daniel dan Rada yang belum menikah. Apa itu artinya Rada dan Gavin akan menikah?
Tangannya mengepal. “Jadi dia benar-benar mau menikah dengan pria lain,” gumamnya, suaranya dingin tapi matanya berkilat tajam.
Dari sofa di belakang, terdengar tawa pelan yang terdengar lebih seperti ejekan.
“Lucu sekali,” ucap Naysa, kakak kandung Rada yang kini menjadi istrinya. “Kamu marah karena apa, El? Karena dia ternyata bisa move on? Atau karena ternyata dia menikah secepat itu setelah pernikahan kalian gagal?”
El menoleh cepat. “Kau tahu aku tidak pernah ingin semua ini terjadi,” katanya dengan nada geram. “Aku dan Rada—”
“—sudah selesai,” potong Naysa dengan santai. Ia menegakkan tubuh, menyandarkan siku di sandaran sofa sambil menatap El penuh tantangan. “Dan sekarang dia akan menikah dengan pria yang jauh lebih kaya, lebih terhormat, dan jelas jauh lebih pintar dari kamu.”
Wajah El menegang. “Kau pikir aku peduli soal kekayaan?”
Naysa tersenyum sinis. “Tidak. Tapi kamu peduli kalau dia tidak lagi menangis karena kamu.”
Kalimat itu menancap seperti pisau. El menghela napas tajam, memutar badan, menatap jendela yang berembun. “Dia tidak mencintaiku begitu saja, Naysa. Aku tahu Rada. Dia tidak mudah jatuh hati. Ini pasti ada alasan lain.”
“Alasan?” Naysa bangkit dari sofa, berjalan pelan mendekati El. Nada suaranya kini lembut tapi dingin seperti racun. “Mungkin alasan itu adalah… kamu dan aku.”
El menatapnya tajam. “Kau yang memaksaku waktu itu.”
“Tidak,” Naysa menyeringai. “Kamu yang lemah. Aku hanya membuka pintu. Kamu yang masuk sendiri.”
Mereka saling menatap lama, dua orang yang terjebak dalam hubungan yang bahkan mereka tahu dibangun di atas kebohongan dan rasa bersalah.
El berjalan menjauh, menyalakan rokok meski ia jarang melakukannya. “Kau tahu, aku pikir menikah denganmu akan membuatku lupa. Tapi aku tetap memikirkan Rada. Dan sekarang…” ia menatap layar ponselnya lagi, membaca berita yang sama, “…dia ternyata lebih pintar dari yang aku kira. Dia tidak hancur. Dia malah bangkit.”
Naysa terkekeh, menyilangkan tangan di dada. “Kau tahu yang lebih menarik? Semua orang di New York sekarang menertawakanmu. Mereka pikir kau pria yang ditinggalkan dan ditukar dengan pewaris perusahaan besar di Asia. Kau kehilangan reputasi dan wanita yang mencintaimu. Dua-duanya, El.”
El menatapnya dengan pandangan tajam yang sulit dibaca. “Dan kau pikir aku akan diam?”
“Kalau kau mau kejar dia, silakan,” Naysa menantang. “Tapi jangan lupa, pernikahan itu mungkin terjadi bukan karena Rada jatuh cinta. Tapi kita sama-sama tahu, Rada adalah odang yang kuat dengan komitmennya. Dia punya prinsip, menerimamu kembali jelas tidak mungkin.”
El membuang pandangannya, menggenggam ponsel erat. Kata-kata Naysa memang benar, tapi rasa tak rela membakar di dalam dirinya setiap kali mendengar nama Rada.
Ia membuka laptop, mencari jadwal penerbangan ke Jakarta.
Dan ketika Naysa melihat itu, ia hanya tersenyum sinis, memutar segelas wine di tangannya.
“Pergilah,” ucapnya pelan. “Tapi aku penasaran, El… kali ini kau kejar dia karena cinta, atau karena ego?”
El tidak menjawab. Tapi tatapan matanya yang tajam ke layar laptop menjawab segalanya.
......