Di malam yang sama, Yu Xuan dan Chen Xi meregang nyawa. Namun takdir bermain jiwa Yu Xuan terbangun dalam tubuh Chen Xi, seorang budak di rumah bordil. Tak ada yang tahu, Chen Xi sejatinya adalah putri bangsawan Perdana Menteri, yang ditukar oleh selir ayahnya dengan anak sepupunya yang lahir dihari yang sama, lalu bayi itu di titipkan pada wanita penghibur, yang sudah seperti saudara dengan memerintahkan untuk melenyapkan bayi tersebut. Dan kini, Yu Xuan harus mengungkap kebenaran yang terkubur… sambil bertahan di dunia penuh tipu daya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16.Rahasia mulai terungkap.
Ruang itu kembali sunyi setelah pintu tertutup rapat.
Hanya terdengar napas berat Hua Xuan yang tersengal di antara rasa sakit dan lelah.
Cahaya pagi menembus kisi jendela, jatuh di punggungnya yang berlumur luka. Sisa darah telah mengering di tepi kulitnya yang memar, bercampur dengan bekas obat dari malam sebelumnya. Tubuhnya tengkurap di atas ranjang, setengah telanjang, karena pakaian bagian atasnya telah dipotong agar tidak menempel pada luka.
Nyonya Shen duduk di sisi ranjang, matanya memerah.
Tangannya yang halus gemetar ketika ia mengambil kain basah dari mangkuk air obat. Ia menatap punggung putranya yang penuh garis merah keunguan itu lama, sebelum akhirnya mulai membersihkannya perlahan.
“Apa masih sakit?. ”
“Masih bu. ”
Setiap kali kain itu menyentuh luka, Hua Xuan menahan napas dan menggigit ujung bantal. Tapi ia tidak mengeluh. Tidak sekalipun.
“Bodoh…” suara Nyonya Shen lirih, nyaris tak terdengar.
“Kenapa kamu melanggar peraturan ayahmu?lihat jadinya kamu terluka seperti ini! ”
Ia mengganti kainnya dengan lembut, lalu mengambil wadah kecil berisi salep obat berwarna kehijauan. Jemarinya bergerak hati-hati, menorehkan ramuan itu di atas luka satu per satu. Sentuhannya begitu pelan, seolah takut menambah rasa sakit.
Hua Xuan mengerjap pelan, matanya separuh terbuka. “Ibu…” suaranya parau.
“Jangan bicara,” ucap Nyonya Shen cepat, tapi suaranya bergetar. “Tidurlah. Obat ini akan sedikit perih.”
“Tidak apa,” bisik Hua Xuan lemah. “Aku… sudah terbiasa.”
Kata-kata itu membuat jemari Nyonya Shen terhenti di udara. Ia menatap punggung anaknya yang penuh luka itu dengan pandangan hancur. Setetes air mata jatuh ke kulit yang memar, bercampur dengan ramuan obat.
“Anakku,” katanya lirih. “Janganlah kamu marah dengan ayahmu nak, dia melakukan ini karena kebaikan mu. ayahmu tidak mau kamu melanggar moral keluarga yang ayahmu bangun,tapi ibu tidak menyangka secepat itu ayahmu mengetahui kabar kamu ke Yue zhi.”
Hua Xuan mencoba menoleh, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Ibu… apa maksudmu?,”lanjut Hua Xuan dengan suara lemah. “apa ibu tidak menyadari kalau semua itu dari mulut adikku yang seperti racun itu? aku heran dengan Yun Xin sebenarnya dia itu saudara kandung ku atau bukan? sikapnya padaku seakan aku ini musuhnya. ”
Nyonya Shen tak menjawab. Ia hanya mengusap lembut rambut anaknya, berusaha menyembunyikan getar di suaranya. “Apa..apa yang kamu katakan dia itu saudara kembarmu?.”ucap gugup nyonya Shen.
Keheningan kembali mengisi kamar.
Aroma obat herbal memenuhi udara.
Beberapa waktu kemudian, ketika Hua Xuan terdiam mencoba mengingat kejadian penting di Yue zhi. “Ibu, tanda lahir di pergelangan tangan mu apa hanya ibu yang memiliki? karena di tangan Yun Xin tidak ada tanda lahir milik ibu. ”
“Tentu saja, ini tanda lahir keluarga ibu hanya wanita dari garis keturunan ibu yang memiliki tanda unik seperti ini. ”
“Tapi aneh, aku samar-samar pernah melihat tanda itu di pergelangan tangan wanita di Yue zhi. ”
Ucapan Hua Xuan itu sontak saja membuat nyonya Shen terkejut, sehingga ia menjatuhkan obat yang ia pegang ditangannya.
Suara benda pecah memecah kesunyian kamar.
Wadah porselen kecil jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang membuat Hua Xuan tersentak lemah di ranjang.
“Ibu?” panggilnya lirih.
Namun Nyonya Shen tidak segera menjawab.
Tangannya yang masih gemetar buru-buru meraih pecahan wadah itu, tapi gerakannya tampak kaku seolah pikirannya terbang jauh dari tempat itu.
Wanita di Yue zhi… memiliki tanda yang sama?
Itu tidak mungkin. Tidak seharusnya ada orang lain… selain dirinya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Kau… yakin dengan apa yang kau lihat, Hua Xuan?” suaranya nyaris berbisik, tapi ada nada getir yang sulit disembunyikan.
Hua Xuan mengangguk perlahan. “Aku tidak terlalu jelas. Tapi waktu itu… cahaya lentera menyinari tangannya, dan aku melihat… bentuknya seperti teratai. Sama persis seperti yang di tangan Ibu.”
Hening.
Jemari Nyonya Shen bergetar di udara. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu rapuh.
“Mungkin kau salah lihat, Nak. Di tempat seperti Yue Zhi, banyak gadis memakai lukisan di tubuhnya untuk menarik perhatian tamu. Tanda itu… mungkin hanya gambar.”
“Tapi…”
“Cukup, Hua Xuan,” potongnya lembut tapi tegas. “Kau masih harus beristirahat. Luka di punggungmu belum sembuh. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak penting.”
Nada suaranya terdengar menenangkan, tapi matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan.
Ia berdiri perlahan, menata kembali mangkuk obat yang tumpah, namun pandangannya kosong.
Setelah memastikan putranya kembali terpejam, Nyonya Shen melangkah pelan keluar dari kamar.
Lorong di luar sepi. Hanya suara burung pagi yang terdengar samar dari taman belakang.
Ia berhenti di depan pintu samping, menatap sekeliling untuk memastikan tak ada pelayan yang lewat.
“Gao Zu,” bisiknya.
Pelayan setia itu muncul dari balik pilar, menunduk hormat. “Ya, Nyonya?”
“Mulai malam ini, aku ingin kau mencari tahu sesuatu. Tapi lakukan diam-diam tanpa sepengetahuan tuan besar.”
Gao Zu menatapnya dengan hati-hati. “Perintah apa yang harus saya jalankan, Nyonya?”
Nyonya Shen menatap lurus ke depan, matanya dingin tapi bergetar di ujung kalimatnya.
“Di rumah hiburan Yue Zhi, cari seorang gadis yang putraku jumpai di Yue zhi, dan…” ia berhenti sejenak, menelan kegelisahan, “…undangan mereka di kedai kota secara diam-diam.”
Gao Zu tampak terkejut, walaupun ia tidak paham maksud dari ibu dari tuannya. “Baik, Nyonya?”
“Aku tunggu di kedai Lue,ingat jangan ada yang tahu termasuk tuan mudamu sendiri.”
Pelayan itu menunduk dalam. “Baik, Nyonya. Saya akan segera melaksanakannya.”
Setelah Gao Zu pergi, Nyonya Shen berdiri lama di koridor yang diterangi cahaya pagi.
Angin membawa aroma bunga plum dari taman, tapi hatinya justru semakin berat.
Nyonya Shen berjalan di temani dayang setianya, bibi Chan dia pelayan kepercayaan nyonya Shen yang menemaninya masuk kedalam keluarga Shen.
Melihat wajah nyonya Shen yang resah setelah mendengar ucapan putranya, “Nyonya tidak apa-apa?. ”
“Tidak bi, aku baik-baik saja. Tapi jika benar yang dikatakan Hua Xuan tentang gadis yang ia temui di Yue zhi itu benar, itu berarti putriku masih hidup. ”
“Iya nyonya, ketakutan nyonya selama ini kalau nona muda sudah meninggal tidak benar. ”
“Iya bi, selama delapan belas tahun ini aku hidup dalam kepura-puraan hanya untuk mendengar kabar ini. Dan aku tidak menyangka, Hua Xuan sendiri yang menemukan keberadaan saudaranya. ”
“Ini takdir nyonya. ”
Nyonya Shen pun berdiri terdiam memandangi halaman dekat paviliun putranya, sambil mengingat kejadian dimasa lalu.
Angin pagi berhembus lembut, menggoyangkan tirai sutra di paviliun timur.
Namun di balik ketenangan halaman itu, hati Nyonya Shen bergejolak hebat.
Ia menatap jauh ke arah taman, tapi matanya tidak benar-benar melihat pikirannya terseret kembali ke masa delapan belas tahun lalu.
Hari ketika ia melahirkan anak kembar… dan hari ketika kebahagiaan berubah menjadi kebingungan dan duka yang tak pernah bisa diucapkan.
Delapan belas tahun yang lalu.
Langit di atas kediaman keluarga Shen malam itu kelam dan diselimuti badai.
Petir menyambar jauh di langit, dan di dalam paviliun utama, jeritan seorang perempuan terdengar berulang kali di sela hujan deras.
“Ayo, Nyonya… sedikit lagi…!” seru tabib wanita dengan suara panik.
Nyonya Shen, yang masih sangat muda kala itu, berbaring di atas ranjang persalinan, wajahnya pucat namun matanya bersinar dengan tekad seorang ibu.
Setelah berjam-jam perjuangan panjang, tangisan bayi akhirnya memenuhi udara.
“Selamat, Nyonya,” kata tabib itu dengan lega. “Putra dan putri! Keduanya sehat!”
Air mata haru mengalir di pipi Nyonya Shen. Ia nyaris tak percaya, dan setelah melahirkan ia terbaring lemas. Malam itu nyonya Shen tidak melahirkan keluarga Shen sendiri,bersama di paviliun selir Wu ia juga melahirkan bayi perempuan.
Dan karena malam itu keluarga Shen yang sepi tidak banyak pelayan dan suami mereka pergi ke perbatasan, selir Wu memiliki rencana licik pada kedua bayi perempuan itu.
Pagi hari nya setelah kondisi mulai membaik setelah dia berusaha dengan meras melahirkan bayi kembar untuk keluarga Shen,ia menatap dua bayi yang dibungkus kain sutra seorang bayi laki-laki yang menggeliat pelan, dan seorang bayi perempuan yang tampak mungil, begitu lembut dan tenang.
Namun, begitu tabib menyerahkan bayi perempuan itu ke dalam pelukannya, senyum di wajahnya perlahan memudar.
Tangannya yang gemetar menyentuh pergelangan tangan bayi itu. Kosong.
Kulitnya bersih tanpa tanda apapun, tanda rahasia sebagai identitas garis keturunan keluarga darinya.
Hatinya seolah berhenti berdetak.
Ia tahu, dari setiap generasi keluarga ibunya, putri pertama selalu lahir dengan tanda teratai di pergelangan tangan kanan. Tanda itu simbol garis darah yang sah dari klan asalnya, sebuah rahasia turun-temurun yang bahkan keluarga Shen sendiri tak sepenuhnya tahu.
Namun bayi ini… tidak memilikinya.
“Tabib,” ucapnya pelan, “apa… apa kau yakin ini bayiku?”
Tabib itu menatapnya bingung. “Tentu, Nyonya. Kami baru saja memandikan dan menyelimutinya. Bayi perempuan Nyonya lahir bersamaan dengan putra Nyonya—”
“Tidak…” bisiknya, matanya bergetar. “Tidak mungkin.”
Ia menatap ke arah sisi ruangan lain, di mana suara tangisan lain baru saja mereda. Di sanalah Selir Wu, seorang wanita dari kamar dalam yang juga tengah melahirkan pada malam yang sama, berbaring lemah dengan wajah pucat.
Menurut kabar, Selir Wu juga melahirkan bayi perempuan tapi bayi itu dinyatakan meninggal beberapa saat setelah lahir.
Namun sesuatu di hati Nyonya Shen berteriak tidak percaya.
Tatapan Selir Wu saat itu tenang, namun terlalu tenang, seolah menyembunyikan sesuatu menorehkan rasa curiga yang tajam di benaknya.
Beberapa hari kemudian, saat luka persalinannya belum benar-benar pulih, Nyonya Shen diam-diam memerintahkan dayang kepercayaannya, Bibi Chan, untuk memastikan kebenaran kabar itu.
Namun hasilnya membuat hatinya semakin kalut.
“Bayi selir Wu dikubur sebelum fajar, Nyonya,” lapor Bibi Chan lirih. “Tidak ada yang diizinkan melihat wajahnya. Bahkan tabib yang menolongnya sudah dipulangkan malam itu juga.”
Nyonya Shen terdiam lama.
Tangannya mengepal di atas selimut, sementara pandangannya jatuh ke buaian di samping ranjangnya di dalamnya, bayi perempuan kecil itu tidur dengan tenang, tidak sadar bahwa hidupnya dimulai dari sebuah kebohongan.
Akhirnya, setelah malam panjang penuh air mata, Nyonya Shen mengambil keputusan yang teramat berat.
Ia tidak akan membuka kebenaran itu.
Tidak akan melawan Selir Wu—belum, tidak saat itu.
Karena ia tahu, jika ia menuduh tanpa bukti, suaminya, Tuan Besar Shen, hanya akan menganggapnya cemburu atau paranoid.
Dan jika ia menolak anak perempuan itu, maka keluarga besar Shen akan kehilangan kehormatan sekaligus rahasia garis darahnya akan terungkap.
Maka, ia memilih diam.
Ia mengasuh bayi itu yang diberi nama Yun Xin seolah seperti darah dagingnya sendiri.
Ia tersenyum setiap kali orang memuji kemiripan wajah ibu dan anak itu, meski hatinya berdarah setiap kali melihat pergelangan tangan yang tak bertanda itu.
Dan di malam-malam sepi, ia sering memandangi langit sambil berbisik lirih, “Di mana kau, anakku yang sebenarnya… apakah kau masih hidup?”
Kini, berdiri di bawah sinar matahari pagi yang lembut, kenangan itu kembali menghantam jantungnya.
Bibi Chan menatapnya iba. “Jadi, Nyonya benar-benar yakin, gadis di Yue Zhi itu…”
Nyonya Shen memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya.
“Jika dia memiliki tanda teratai di tangannya… maka tidak diragukan lagi.”
Ia membuka mata, sorotnya kini penuh tekad, bukan lagi ketakutan.
“Aku akan menemukan putriku. Apa pun yang terjadi.”
Dan untuk pertama kalinya setelah delapan belas tahun, mata Nyonya Shen memancarkan sesuatu yang berbeda bukan kesedihan, tapi api yang siap membakar semua kebohongan yang telah lama ia sembunyikan.