Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - Mode Belajar (Palsu)
Mobil sedan coupe itu kembali melaju, meninggalkan Rest Area yang kini terasa seperti zona perang yang baru saja mereka tinggalkan.
Juan menginjak gas lebih dalam dari biasanya.
Mesin menderu, mendorong punggung mereka menempel ke jok kulit.
Di luar, pemandangan berubah drastis.
Ruko-ruko pinggir jalan yang berdebu perlahan digantikan oleh hamparan kebun teh yang hijau, basah, dan berkabut.
Udara di luar sana pasti sejuk, mungkin dingin.
Tapi di dalam kabin mobil yang kedap suara ini, udara terasa panas oleh ketegangan.
Yuni duduk tegak di kursi penumpang.
Lututnya dirapatkan, tangannya memegang erat lembaran Skenario V.3.0 yang kini sudah lecek dan penuh dengan coretan tinta merah dari diskusi sebelumnya.
Pertemuan dengan Tante Lisa di Rest Area tadi bukan sekadar kejutan.
Itu adalah tamparan realitas. Sebuah trailer horor sebelum film utamanya dimulai.
Dan jika Tante Lisa—yang menurut Juan "hanya" adik ayahnya yang nyinyir—saja sudah mampu membuat Juan si Raja Teknik berkeringat dingin, Yuni tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berhadapan dengan "Bos Terakhir": Oma.
"Juan," panggil Yuni. Suaranya memecah keheningan kabin yang hanya diisi alunan musik jazz instrumental yang rumit.
"Hm?" Juan tidak menoleh.
Matanya fokus pada jalanan Puncak yang mulai menyempit dan berkelok. Rahangnya mengeras, tanda dia sedang berpikir keras.
"Berapa banyak?"
"Berapa banyak apa? Uang saku? Masih kurang?"
"Musuh," kata Yuni tegas. "Berapa banyak orang seperti Tante Lisa yang akan ada di sana?"
Juan tertawa kecil.
Tawa yang kering, tajam, dan sama sekali tidak memiliki unsur humor.
"Tante Lisa itu kelas ringan, Yuni. Dia cuma nyinyir, tapi nggak gigit. Dia cuma peduli sama brand tas dan gosip arisan."
"Kelas beratnya?"
Juan menghela napas panjang. Dia memelankan mobil sedikit saat melewati tikungan tajam.
"Ayahku. Pak Adhitama."
Nama itu diucapkan dengan nada yang berbeda. Ada rasa hormat, tapi juga rasa takut yang terpendam.
"Dia nggak akan nyinyir soal bajumu. Dia nggak peduli kamu pakai Hermes atau tas kresek."
"Lalu?"
"Dia akan mengaudit masa depanmu. Dia akan tanya visi hidupmu, rencana lima tahunmu, dan bagaimana kamu bisa memberikan 'nilai tambah' buat aku."
Yuni menelan ludah. Tenggorokannya kering.
"Ibuku. Bu Linda," lanjut Juan.
"Dia akan tersenyum manis. Sangat manis. Sambil menawarkan teh hangat dan kue kering buatan koki pribadi."
"Terdengar baik."
"Itu jebakan," potong Juan. "Dia akan membunuhmu dengan sopan santun. Dia akan melontarkan komentar pasif-agresif tentang latar belakangmu dengan nada selembut sutra."
Contohnya: 'Wah, Yuni mandiri sekali ya, harus kerja sambil kuliah. Tante salut lho, kalau Tante sih nggak akan kuat kalau nggak ada sopir.'
Yuni bergidik. Dia tahu tipe ibu-ibu seperti itu.
"Dan Oma?" tanya Yuni pelan.
Juan terdiam cukup lama.
Mobil melintasi jembatan kecil di atas sungai berbatu.
"Oma... dia anomali. Dia tidak bisa diprediksi."
"Dia bisa jadi nenek peri yang baik yang memberimu permen, atau dia bisa jadi hakim agung yang menjatuhkan vonis mati tanpa mengetuk palu."
"Dia punya mata yang bisa melihat kebohongan, Yuni. Dia psikiater pensiunan, ingat?"
Yuni membuka tasnya dengan gerakan cepat.
Dia mengeluarkan kotak pensilnya. Mengambil stabilo kuning dan pulpen merah.
Dia meletakkan kertas skenario di atas dashboard mobil yang mahal itu.
"Oke," kata Yuni. "Mode belajar diaktifkan."
"Maksudnya?"
"Aku butuh peta," kata Yuni tegas, matanya menyala. Naluri akademisnya mengambil alih rasa takutnya.
"Aku butuh peta kekuatan. Siapa berafiliasi dengan siapa. Siapa yang musuhan dengan siapa. Siapa yang netral."
"Ini bukan Game of Thrones, Yuni. Ini acara makan malam keluarga."
"Bagi orang luar sepertiku, ini persis Game of Thrones. Bedanya nggak ada naga, cuma ada mobil mewah."
"Dan aku nggak mau mati di episode pertama karena salah ngomong sama orang yang salah."
Juan meliriknya sekilas.
Ada senyum tipis, sangat tipis, di sudut bibirnya. Kekaguman.
"Oke. Ambil halaman terakhir skenario. Ada bagan silsilah kosong di situ. Sengaja aku siapin."
Yuni membalik kertasnya. Benar. Ada diagram pohon keluarga yang kompleks.
"Mulai mencatat, Mahasiswi Teladan. Kuliah dimulai."
Selama satu jam berikutnya, mobil mewah itu berubah menjadi ruang kelas privat yang bergerak dengan kecepatan 60 km/jam.
Juan mendiktekan dinamika politik keluarganya dengan ketajaman seorang analis intelijen, sementara Yuni mencatat dengan kecepatan stenografer.
"Om Pras—suami Tante Lisa. Tadi kamu lihat mobilnya di depan?"
"Yang Mercy hitam?"
"Iya. Dia itu penjilat. Kariernya bergantung sama Ayahku. Jadi, dia akan setuju dengan apapun yang dibilang Ayahku."
"Kalau Ayahku bilang kamu oke, Om Pras bakal muji kamu. Kalau Ayahku buang muka, Om Pras bakal ikut buang muka."
Yuni mencoret nama Om Pras dengan tinta merah. Menulis: Follower/Penjilat.
"Sepupuku, Kevin. Anak Om Pras. Umurnya sepantar kita. 21 tahun."
"Dia kuliah di luar negeri?"
"London. Bisnis. Dia... arogan. Dia selalu merasa lebih pintar dari aku karena dia kuliah di luar dan aku 'cuma' di dalam negeri."
"Padahal IPK-mu 3.9," gumam Yuni.
"Dia nggak peduli IPK. Dia peduli gengsi. Dia pasti bakal nanya-nanya soal pengetahuan umummu, atau isu global, pakai bahasa Inggris, cuma buat mempermalukanmu di depan umum."
Yuni melingkari nama Kevin. Menulis: Rival Intelektual / Sok Inggris.
"Sepupu cewek, Bella. Anak Tante Rina. Umur 19. Dia influencer."
"Seberapa terkenal?"
"Dua juta followers. Dia hidup di Instagram. Hati-hati sama dia."
"Kenapa?"
"Dia itu CCTV digital. Apapun yang kamu lakukan, jangan sampai masuk Instagram Story-nya kalau kamu lagi berantakan atau salah table manner."
"Sekali masuk story dia, seluruh sirkel sosialita Jakarta bakal tahu aibmu dalam 5 menit."
Yuni merinding. Dia menulis di samping nama Bella: CCTV Digital / Zona Bahaya.
"Terus siapa yang aman?" tanya Yuni putus asa, melihat kertasnya penuh dengan tanda bahaya. "Masa nggak ada satu pun yang normal di keluarga ini?"
Juan berpikir sejenak.
"Ada," kata Juan. "Om Haryo. Adik bungsu Ayah."
"Dia?"
"Dia seniman. Pelukis. Dia 'kambing hitam' keluarga karena satu-satunya yang nolak masuk bisnis korporat."
"Dia biasanya mabuk wine di pojokan atau ngelukis di taman belakang."
"Dia aman?"
"Dia nggak peduli," koreksi Juan. "Dan di keluarga ini, 'nggak peduli' adalah bentuk kebaikan tertinggi yang bisa kamu dapatkan."
"Dia nggak akan menghakimimu karena dia sendiri benci dihakimi."
Yuni menandai Om Haryo dengan bintang hijau besar. Aliansi Potensial.
Yuni menatap kertas di pangkuannya.
Itu bukan lagi silsilah keluarga. Itu adalah peta ranjau darat.
Setiap nama memiliki potensi ledakan yang berbeda.
Kepalanya pening. Campuran antara mabuk perjalanan akibat membaca di jalan berkelok, dan mabuk informasi.
"Mual?" tanya Juan, melihat wajah Yuni yang memucat dari pantulan kaca spion.
"Sedikit. Baca tulisan kecil sambil diguncang di kelokan Puncak bukan ide bagus buat lambung."
"Tutup matamu. Tarik napas. Jangan muntah di mobilku, detailing-nya mahal."
Yuni menurut. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Memejamkan mata.
Dunia berputar di balik kelopak matanya.
"Kamu pinter, Yun," kata Juan tiba-tiba.
Suaranya pelan, nyaris tertutup suara deru mesin dan gesekan ban di aspal.
Yuni membuka satu matanya. "Apa?"
"Cara kamu memetakan keluargaku. Analisismu. 'Peta kekuatan'. 'Aliansi'. Kamu cepat tanggap."
"Biasanya cewek yang aku bawa cuma nanya, 'Oma galak nggak?' atau 'Nanti makanannya apa?'."
"Kamu... kamu menganalisis mereka seperti strategi perang."
"Itu pujian?"
"Itu fakta. Dan itu... mengesankan."
Yuni tersenyum miring, matanya kembali terpejam.
"Yah, aku harus pinter, Juan," gumamnya. "Kalau nggak pinter, orang miskin sepertiku sudah mati dimakan kota ini dari dulu."
"Kami nggak punya privilege buat jadi bodoh atau naif."
Hening sejenak.
Kata-kata itu menggantung di udara. Berat.
Menggarisbawahi jurang perbedaan di antara mereka.
Juan tidak menjawab. Dia hanya mengeratkan pegangannya pada setir, buku-buku jarinya memutih.
"Sebentar lagi sampai," kata Juan akhirnya, mengubah topik. Suaranya lebih kaku.
"Siapkan mentalmu. Pakai kacamatamu."
Yuni menegakkan duduknya. Jantungnya mulai berpacu lagi.
Dia mengambil kacamata hitam besarnya dari dashboard.
Memakainya.
Bukan untuk gaya. Tapi untuk menyembunyikan ketakutan di matanya. Kacamata itu adalah perisainya.
Mobil berbelok keluar dari jalan utama yang macet, masuk ke sebuah jalan aspal pribadi yang mulus dan lebar.
Suara bising kendaraan lain lenyap seketika.
Di kanan kiri jalan, pohon-pohon pinus menjulang tinggi, berbaris rapi seolah menjadi penjaga gerbang istana.
Cahaya matahari menerobos sela-sela daun, menciptakan pola bayangan yang bergerak-gerak di kap mobil.
Di ujung jalan, sebuah gerbang besi raksasa setinggi lima meter tertutup rapat.
Besi tempa hitam dengan ornamen emas. Megah. Angkuh.
Ada pos satpam di sampingnya. Pos satpam yang lebih bagus, lebih bersih, dan mungkin lebih luas daripada rumah kos Yuni.
Seorang satpam berseragam safari lengkap keluar.
Dia melihat mobil Juan. Posturnya langsung tegak. Dia membungkuk hormat, dalam sekali.
Lalu menekan tombol.
Gerbang raksasa itu terbuka perlahan secara otomatis. Tanpa suara.
Mobil meluncur masuk.
Dan Yuni menahan napas.
Dia pikir dia sudah siap. Dia pikir dia sudah membayangkannya.
Tapi imajinasinya tidak cukup.
Vila itu... bukan vila.
Itu istana.
Bangunan putih bergaya kolonial dengan pilar-pilar besar yang menopang serambi depan. Jendelanya tinggi-tinggi dengan tirai beludru yang mengintip.
Halamannya seluas lapangan bola, dengan rumput yang dipotong presisi milimeter. Hijau sempurna.
Ada air mancur tiga tingkat di tengahnya, dengan patung-patung cherub yang memuntahkan air jernih.
Dan mobil-mobil itu.
Di halaman samping, di atas paving block yang bersih, berjejer deretan mobil mewah.
Ferrari merah menyala (pasti punya Kevin).
Mercedes S-Class hitam (Ayah Juan).
Alphard putih (Ibu Juan).
Dan Porsche kuning (Tante Lisa, pasti).
Mobil sedan coupe Juan yang harganya miliaran itu... terlihat "biasa saja" di antara koleksi itu.
Yuni merasa kecil. Sangat, sangat kecil.
Seperti semut yang menyusup ke pesta para dewa.
"Selamat datang di Neraka Indah," gumam Juan, memarkir mobilnya di slot kosong terakhir.
Yuni meremas kertas skenarionya sampai lecek tak berbentuk.
"Aku mau pulang," cicitnya. Suaranya hampir menangis. "Aku mau pulang ke kos. Aku mau makan mi instan."
Juan mematikan mesin.
Keheningan turun mendadak.
Dia menoleh ke Yuni.
Dia melepaskan kacamata hitamnya, menatap mata Yuni dalam-dalam.
"Hei," panggilnya lembut.
Yuni menoleh. Matanya berkaca-kaca di balik lensa gelap.
"Ingat Tante Lisa tadi? Di Rest Area?"
"Kamu menang lawan dia. Kamu bikin dia diam."
"Ini beda level, Juan. Ini sarangnya."
"Sama saja. Mereka cuma manusia, Yuni. Manusia yang pakai baju mahal, makan makanan mahal, tapi punya ego yang rapuh."
"Mereka juga punya rasa takut. Takut jatuh miskin. Takut nggak dihormati. Takut skandal."
"Kita punya satu keunggulan dibanding mereka."
"Apa?"
"Kita punya satu sama lain. Dan kita punya skenario."
Juan mengulurkan tangannya.
Bukan untuk bersalaman.
Dia meraih tangan Yuni yang dingin dan gemetar di atas pangkuan.
Membuka kepalan tangan Yuni yang kaku.
Dan menggenggamnya. Erat.
Interlocking fingers.
Sama seperti saat latihan di taman.
Tapi kali ini, tidak ada kecanggungan.
Hanya ada rasa putus asa yang saling menopang.
"Aku pegang kamu," kata Juan. Suaranya rendah, serius.
"Selama tangan kita nyatu kayak gini, aku janji, nggak ada yang bisa nyakitin kamu di dalam sana."
"Kalau ada yang nyerang kamu, mereka harus lewatin aku dulu."
Yuni menatap Juan.
"Itu janji skenario?" tanya Yuni.
Juan menggeleng pelan.
"Itu janji Juan," jawabnya.
Jantung Yuni berdesir aneh.
Itu... terdengar tulus.
Terlalu tulus untuk sebuah transaksi.
Tapi saat ini, dia membutuhkan ketulusan itu, palsu atau tidak, untuk bisa melangkah keluar dari mobil.
"Oke," bisik Yuni.
Dia membalas genggaman Juan. Meremasnya balik.
"Oke. Ayo kita lakukan."
"Ayo keluar. Pertunjukan dimulai."
Juan membuka pintu.
Udara dingin Puncak langsung menyerbu masuk ke dalam kabin, membawa aroma pinus dan rumput basah.
Yuni menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen tipis pegunungan.
Dia keluar dari mobil.
Kakinya menapak di paving block.
Dia berdiri di samping Juan.
Membiarkan Juan menggandeng tangannya.
Dia merapikan blazer-nya. Mengangkat dagunya.
Memasang topeng "Yuni si Calon Menantu Idaman".
Di depan sana, pintu utama yang terbuat dari kayu jati ukir setinggi tiga meter terbuka lebar.
Suara tawa sopan, denting gelas kristal, dan alunan piano samar-samar terdengar dari dalam.
Suara monster yang sedang berpesta.
"Jangan lepaskan tanganku," bisik Yuni.
"Nggak akan," jawab Juan.
Dan mereka berjalan bersama. Masuk ke dalam sarang singa.