Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JIJIK
Livia terdiam. Dia tak membantah ataupun meng-iya-kan. Hatinya sudah terlalu penuh dengan luka. Dadanya pun sesak, tak mampu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata.
Airmata Livia langsung mengalir deras, meski dengan suara lirih. Bukan tangis yang menjerit-jerit heboh dan memekakkan telinga.
"Aku minta maaf, karena tak bisa bertahan dalam situasi ini. Rasanya hatiku terlalu berat meninggalkan Keysha. Aku sudah jatuh hati pada anak itu. Apalagi dia tak memiliki ayah. Sejak usia 1 tahun ayahnya meninggal dalam kecelakaan."
Tutur Alex, masih tak melihat wajah Livia.
"Kamu juga akan menyesal nanti, mas. Anak kita akan mengalami hal yang sama. Seharusnya kasih sayang kamu untuk dia, tapi kamu sudah menyerahkannya lebih dulu pada anak orang lain." Bisik hati Livia, perih. Tapi dia tak ingin memberitahukan Alex.
"Daripada kita saling menyakiti, lebih baik kita berpisah." Lanjut Alex setelah sekian lama Livia hanya diam.
"Aku bekerja atas seijinmu. Dan sebelum kita menikah pun, kita sudah berkomitmen. Kamu juga tahu, sebagai anak yang dibesarkan di panti asuhan, aku sangat bangga bisa berada di titik ini. Memberi kebanggaan pada panti asuhan tempatku dibesarkan dan memberi motivasi juga
Pada adik-adikku di panti. Tapi saat aku sudah merasa di puncak karier dan ingin kembali memperbaiki rumah tanggaku, kamu malah mendua." Akhirnya keluar juga suara Livia setelah beberapa saat. Meski dengan getaran yang menggambarkan suasana hatinya yang terluka.
"Tapi kamu terlena Liv. Kamu terlalu mementingkan karier disaat aku meminta seorang anak. Kamu terlalu larut dalam pekerjaanmu disaat aku membutuhkan kehadiran dan perhatianmu. Rumah tangga kita jadi dingin. Dan rumah kita hanya jadi terminal pemberhentian. Bukan rumah tempat kita berbagi kehangatan lagi" Balas Alex melepaskan unek-uneknya.
Livia terdiam. Dia tak memungkiri itu. Tapi bukan berarti Alex bisa berselingkuh.
Livia kembali mengatur napasnya yang sesak.
"Sudah berapa lama kalian berhubungan? Sudah berapa lama kamu berselingkuh dariku?" Suaranya meninggi dengan emosi yang mulai terlepas dari kendalinya.
"Liv, tenang! Aku tidak berselingkuh darimu. Aku hanya dekat dengan Ishana karena Keysha."
"ITU SAMA SAJA!" Livia langsung berdiri. Matanya sudah merah dan banjir.
"Baiklah, sudah cukup! Segera urus perceraian kita.
Karena aku tak bisa mentolelir perselingkuhan. Aku tidak butuh harta gono-gini atau apapun. Aku hanya ingin kita secepatnya berpisah!"
Tubuh Livia bergetar. Tapi sekuat tenaga dia menahan emosinya supaya tidak meledak. Dia tak ingin
Kejadian kemarin terulang lagi dan akan membahayakan janinnya.
Setelah itu dia pergi dengan langkah pelan sambil memegangi perutnya.
"Liv, tunggu Liv!"
Alex berseru, berharap masih bisa bicara lagi baik-baik. Tapi Livia tak mau mendengar. Wanita itu tetap melajukan langkah menuju kamarnya.
Alex hanya bisa menghembus napas kasar. Melihat kemarahan dan luka di mata Livia, hati Alex kembali berat. Cintanya pada wanita itu masih ada. Tapi bayangan Keysha dan masa depan dengan anak-anaknya kelak, terus menyesaki rongga dadanya.
Alex menemui sahabatnya Anton, seorang pengacara, di kantornya. Dia bermaksud untuk berkonsultasi tentang rumah tanggannya dan kemungkinan untuk bercerai.
Tentu saja Anton sangat kaget saat sahabatnya itu mengutarakan niatnya. Pasalnya yang dia tahu, Alex sangat mencintai Livia. Bahkan bisa dikatakan bucin.
"Lo beneran sudah yakin dengan keputusan Lo?
Jangan hanya karena emosi, nanti malah akan membuat Lo nyesel." Tanya Anton. Tetap masih meragukan kesungguhan Alex.
"Livia yang akhirnya minta gue urus perceraian secepatnya."
Anton menatap curiga pada Alex.
"Jangan-jangan Lo selingkuh?"
Alex terdiam lesu. Tangannya meraih cangkir kopi yang masih panas. Baru saja seorang OB menyajikannya. Bibirnya meniup-niup kopi itu sebelum menyeruputnya.
Sementara Anton masih menunggu jawabannya.
"Lo beneran selingkuh? Livia kurang apa, Lex? Dia cantik, cerdas, kariernya bagus dan satu lagi, ingat perjuangan Lo saat mendapatkannya!" Cerocos Anton tak sabar.
"Gue nggak selingkuh. Gue cuma gak bisa lepas dari seorang gadis kecil bernama Keysha."
Akhirnya Alex menceritakan semuanya. Menceritakan tentang permasalahan rumahtangganya dan menceritakan semua tentang Keysha dan Ishana.
"Astaga... gila ya, Lo! Hanya demi seorang anak kecil yang nggak punya bapak, Lo rela mempertaruhkan rumahtangga?"
"Nggak sesederhana itu, bro! Nyokap gue selalu ngatain Livia mandul. Dia juga terus nanyai soal anak sama gue, sementara Livia tak kunjung hamil. Gue takut apa yang dikatakan nyokap gue jadi kenyataan kalau Livia mandul."
Anton kini geleng-geleng kepala. "Jadi semua ini tentang anak? Apa Lo udah bicarain semua ini pada Livia?"
Alex mengangguk. "Dia cuma bilang, sabar. Tapi gue dan nyokap udah gak bisa sabar."
"Tapi kalian udah periksa kesuburan?"
"Saat sebelum menikah kita udah periksa. Syukur kami berdua subur."
"Ya kalau gitu bener kata Livia dong. Lo harus sabar, karena yang menentukan semua itu Tuhan."
Alex menggeleng sambil tersenyum getir.
"Masalahnya dia yang menunda demi karier."
"Kan lo bilang, sekarang Livia ingin memperbaiki semuanya."
Alex diam lagi. Masalahnya sekarang dia sangat sulit jika harus dipisahkan dari Keysha. Sementara Livia tak ingin dia dekat-dekat dengan Kesha apalagi Ishana. Sementara di dekat mereka dirinya merasa sangat dibutuhkan, dihargai dan diperhatikan.
"Sudahlah Ton, gue gak mau kami terus saling menyakiti. Mungkin jika kita berpisah, hubungan kami akan lebih baik sebagai teman. Mumpung diantara kita belum ada anak."
Anton tak bisa berkata-kata lagi, untuk memberikan argumennya.
"Baiklah kalau niat Lo sudah bulat, gue akan urus semuanya."
Sementara itu Livia pun sudah mulai memikirkan untuk pergi menjauh. Kalau perlu ke kota lain atau sekalian ke luar negeri. Yang penting, Alex tidak akan tahu tentang kehamilannya
Saat ini dia sedang berada di ruangan Sean, karena lelaki itu memanggil ke ruangannya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanyanya dengan raut wajah penuh perhatian.
"Saya baik pak, terimakasih."
"Padahal jika kamu masih ingin rehat, tidak apa-apa kok. Saya akan memberi kamu ijin cuti."
Livia tersenyum lembut. "Tidak apa-apa pak, saya masih kuat. Oh iya, ada apa anda memanggil saya?"
"Ada klien high end dari perusahaan fashion yang butuh penanganan kamu. Tapi jika kamu tidak bersedia, it's okay, masih ada Brenda yang bisa menggantikan kamu." Kata Sean ragu. Dia khawatir Livia akan memaksakan diri. Tapi klien ini juga benar-benar membutuhkan seorang senior brand consultant. Dan Livia lah yang terbaik diantara semuanya.
"Akan saya tangani. Pak Sean tenang saja, Saya masih bisa survive untuk masalah pekerjaan kok. Tidak usah khawatir."
Sean merapatkan bibir. Matanya mengarah lekat pada wajah Livia, seakan ingin memastikan kebenaran ucapan wanita itu.
Livia mengerti, ia pun terkekeh. "Kalau begitu saya permisi untuk menemui klien." Ujarnya dan bersiap keluar ruangan Sean.
"Tunggu, pertemuannya di luar, biar saya temani. Sekalian saya juga ada keperluan."
Livia mengangkat alisnya. Dia tahu Sean hanya beralasan. Tapi dia tak bisa menolak.
Akhirnya dia hanya bisa mengangguk.
Livia dan Sean baru saja selesai melakukan pertemuan dengan klien mereka. Dari wajah kliennya yang bahagia, bisa dipastikan kalau mereka sangat puas dengan hasil kerja Livia. Wanita itu memang selalu profesional dan detail dalam setiap presentasinya. Bahkan di tengah keadaannya yang tidak ideal seperti sekarang, Livia tetap tampil memukau.
"Luar biasa," gumam Sean sambil membuka pintu mobil untuk Livia.
"Kamu selalu bisa mengesankan orang, bahkan saat kamu sendiri sedang tidak baik-baik saja."
Livia hanya tersenyum kecil lalu satu kakinya mulai terangkat dan siap memasuki mobil.
Tapi matanya menangkap sebuah mobil yang sangat dikenalnya memasuki halaman parkir restoran.
Livia menarik kembali kakinya dan berdiri tegak di sisi mobil dengan hati yang bergemuruh.
"Tunggu sebentar pak, ada yang harus saya samperin."
Meski tak mengerti Sean tetap mengangguk dan menyuruh sopirnya menunggu.
Tak lama kemudian sepasang laki-laki dan perempuan nampak melangkah akan memasuki restoran.
"Mas!" Teriak Livia agak keras.
Alex yang mengenali suara Livia langsung menoleh.
Wajahnya langsung terlihat tegang. Begitu juga perempuan yang ada di sisinya.
Livia melangkah mendekat. Dan berdiri di hadapan mereka dengan anggun. Matanya menyorot tajam keduanya. Sementara Sean memperhatikannya dari
Kejauhan.
"Kalian semakin terang-terangan? Kamu tidak menghargai aku mas. Dan kamu perempuan, apa kamu tidak bisa bersabar sedikit saja, menunggu kami bercerai?!" Suara Livia tidak keras, tapi tegas dan sangat menusuk.
"Liv, tolong, kita bicara baik-baik." Alex mencoba menenangkan. Matanya menoleh ke san ke mari, khawatir ada orang yang mengenali mereka.
"Kenapa, malu? Takut aku membuat onar? Itu tidak mungkin aku lakukan, aku bahkan jijik melihat pasangan pengkhianat yang tak tahu malu!"
"Livia tolong, jangan berkata kasar seperti itu!"
Livia hanya melemparkan tatapan sinis pada keduanya. Setelah itu dia pergi meninggalkan Alex yang sangat merasa bersalah. Ada penyesalan di hatinya.
Alex ingin menyusul Livia dan memeluknya. Lalu meminta maaf dan menjelaskan kalau dia tidak sengaja bertemu dan mengajak Ishana makan. Tapi itu tidak mungkin, karena hanya akan mengundang perhatian orang.
Alex hanya bisa menatap Livia masuk ke dalam mobil bossnya. Dia tahu, pasti Livia dan Sean sudah bertemu klien di restoran ini.
Sementara itu dalam perjalanan kembali ke kantor, Sean beberapa kali melirik ke arah Livia yang tampak menyandarkan kepala di sandaran jok, menutup mata sejenak.
"Are you okay?"
Livia mengangguk, sambil mengelus perutnya.
"Kamu yakin masih bisa seperti ini terus?
Maksudku... Alex dan kehamilanmu. Liv?" tanya Sean lagi, dengan suara pelan, seakan takut mengganggu suasana hati Livia yang sedang kacau.
Livia membuka matanya yang sudah basah. Lalu berkata perlahan. "Saya sudah yakin. Akan bercerai darinya."