Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 ACICD - Pelajaran Kecil Ruby
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari pusat kota, mobil Ruby melaju pelan melewati jalanan berliku sempit dan rumah-rumah modern yang berubah menjadi ladang luas.
Wanita itu kemudian mengemudi menyusuri deretan pepohonan tinggi yang menaungi jalan tanah.
Di ujung rute tersebut, Ruby akhirnya tiba di sebuah desa kecil yang seolah tersembunyi di balik perbukitan. Sebagian besar orang kota bahkan tidak tahu desa ini masih eksis. Udaranya lebih dingin, lebih bersih dan jauh dari deru kendaraan.
Inilah lokasi Hidden Culture Project tempat Ruby ditugaskan meliput.
"Oke, finally sampai," kata wanita cantik itu begitu menghentikan mobilnya.
Soal perseteruan dengan Tara di lounge karyawan tadi, bisa dikategorikan case closed, pasalnya Tara langsung pergi. Ruby juga harus berangkat liputan, makanya dia tidak memperpanjang masalah dengan wanita itu. Tapi awas saja Tara menyebar hal yang tidak benar mengenai dirinya. Dia akan memberinya pelajaran kecil.
Jangan salah menilai, pelajaran kecil bagi Ruby ini beda tentunya. Saat menetap di London sebagai penjaga perpustakaan, Ruby pernah diganggu juga dengan wanita sejenis Tara. Dia menggantung wanita itu di bawah kobaran merah api. Dia membuat wanita itu sampai pipis di tempat saking ketakutannya di celupkan ke lidah api yang menjilat ujung kaki.
Nah, kalau sampai Tara mengusiknya lagi, dia akan menghadiahkan pelajaran kecil yang lain tentunya untuk wanita itu.
Oh iya! sekarang, Ruby harus liputan, dia segera turun dari mobil. Penduduk setempat dengan pakaian bermotif menyambutnya dengan senyum ramah.
Ruby kemudian menyapu sekitar, memandangi rumah-rumah kayu berjejer dengan ukiran khas yang menjadi identitas suku kecil ini. Ukiran yang konon memiliki arti perlindungan.
Di tengah desa, terdapat sebuah bangunan panggung terbuka, tempat para tetua sedang menyiapkan upacara yang hanya dilakukan satu kali setahun.
Ruby mengeluarkan kamera digital berwarna merah, merekam proses mereka menyiapkan kain tenun, topeng dari kayu serta alat musik kuno berbahan bambu.
Suasana terasa magis. Hening, namun penuh tradisi yang hidup. Ruby mencatat setiap detail dan mulai mewawancarai tetua di sana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam menunjuk pukul satu siang waktu pulang di sebuah TK swasta elit. Alveroz Kindergarten.
Suasananya riuh oleh suara tawa dan langkah kecil-kecil anak. Matahari sedang terang-terangnya, sinarnya masuk lewat dinding kaca besar, membuat lorong sedikit silau.
Di sana, seorang pria dengan seragam petugas kebersihan, rompi kusam, topi penutup kepala dan masker standar, sedang mendorong troli pel melewati pintu samping. Tidak ada yang memperhatikannya karena jam pulang memang waktu paling sibuk. Guru-guru sedang menyiapkan anak untuk dijemput, beberapa orang tua berdiri di area lobby, dan staf lain sibuk melayani.
Di sudut ruang kelas Polaris, pria itu melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun, tubuh kecil dan rambut rapi memakai topi. Dia memperhatikan Narell, putra Kayrell dan Raisa Yoseviano. Tampaknya dia sedang menunggu gurunya. Inilah kesempatannya. Pria itu mengangguk seolah memeriksa lantai, lalu mendekat dengan langkah santai.
"Adek hati-hati yah, lantainya basah," katanya ramah, menyamarkan suara. Narell menatapnya polos.
Pria itu kemudian pura-pura menoleh dan menatap name tag Narell. "Oh iya adek namanya Narell, ya?"
"Iyaa, Bapak itu namanya Ayel," sahut si bocah.
"Oh kebetulan, itu gurunya tadi manggil ke sana." Dia sambil menunduk agar tidak menarik perhatian.
"Miss Lana, yaa, Bapak?" tanya Narell polos. Dia memang sedang bingung mencari gurunya di keramaian.
"Iya, mari Bapak antar."
Mereka akhirnya berjalan ke koridor sepi dekat gudang kantin area yang jarang dilewati saat jam pulang.
Begitu sudah cukup jauh dari orang-orang, pria itu berjongkok.
"Nanti adek ketemu Miss Lana di sini, ya."
"Tapiiy inyi tempatnya syepi, Ayel mau ke kelasnya ayel aja, Bapak nanti kasih tau Miss Lana kalau Ayel takut di sini."
"Ayel pelmici…"
Setelah Narell berbalik ingin pergi, tangan pria itu bergerak cepat. Kain kecil dengan cairan bius ringan menutup mulut Narell. Dalam hitungan detik, tubuh mungil itu limbung dan tidak sadarkan diri.
Dari pintu belakang kantin, muncul rekannya wanita berhoodie sambil memegang keranjang besar berisi bahan dapur, seolah baru selesai belanja untuk masak hari itu.
Mereka memasukkan Narell ke dalam keranjang, menutupinya dengan kain dan beberapa kotak bekal kosong, terlihat seperti barang bawaan normal.
Mereka lalu keluar lewat pintu servis yang jarang diawasi, mendorong keranjang menuju area belakang yang sepi.
Si wanita berambut pendek dengan tindik di hidung, Wenna, langsung mengeluarkan Narell dan menggendong bocah itu masuk ke dalam mobil MPV gelap yang menunggu di belakang gedung.
Si pria bernama Roger masuk dari pintu lain di jok belakang. "Jalan sekarang!" titahnya pada pria di kursi kemudi.
Dalam beberapa detik, mobil itu langsung meluncur pergi. Roger menoleh pada Narell yang tidak sadarkan diri. "Bocah itu aman kan?" tanyanya pada Wenna.
"Ya, sekitar satu jam ke depan, dia pasti sudah sadar."
Roger bersender di sandaran jok. "Oke, setelah tiba di lokasi nanti, kita langsung menelepon si Kayrell kep*rat itu. Aku yakin dia akan frustasi mengetahui anak kesayanganya disandera."
Sementara itu, wanita bernama Miss Lana akhirnya keluar dari toilet setelah merias diri dan menyemprot parfum dari ujung kepala sampai kaki. Dia begitu effort karena dapat kabar kalau Adriel yang akan menjemput Narell. Tapi, saat tiba di kelas Polaris, dia tidak menemukan Narell. Tadinya dia meminta anak itu menunggu sebentar.
"Narell!" Wajahnya yang berseri-seri langsung berubah panik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beberapa saat kemudian, Adriel tiba di Alveroz Kindergarten untuk menjemput keponakannya. Pintu kaca terbuka otomatis begitu dia melangkah masuk.
Staf di resepsionis langsung ciut ketakutan begitu menatap pria itu. Gawat ini kalau Adriel tahu kalau keponakannya hilang.
"Saya mau menjemput Narell. Kelas Polaris," kata Adriel. Di belakangnya, Hougan menyusul dengan pose profesionalnya sebagai asisten pribadi.
Sebelum staf itu menjawab, Miss Lana buru-buru muncul dengan sorot mata kacau, dia menghampiri Adriel. "P-pak Adriel… m-maaf sebelumnya, t-tapi Narell belum ditemukan sejak 30 menit yang lalu. Kami sudah mencari kemana-mana." Dia menundukkan wajah, merasa bersalah.
Sekejap, rahang Adriel mengeras. Mata hitamnya menyipit tajam. "Apa!? Tidak ditemukan!?" suaranya rendah, dingin, menggetarkan ruangan itu. "Maksudnya keponakan saya hilang?"
"I-iya, Pak." Miss Lana menelan ludah, suaranya bergetar. "S-saya tadi meninggalkan dia sebentar karena ingin ke toilet, Pak. Tapi, setelah saya kembali, Narell sudah tidak ada dalam kelas."
Adriel mencondongkan tubuh ke meja, tangan besarnya mengepal, buku-buku jarinya memutih. Aura dominannya membuat guru lain spontan mundur selangkah.
"Bisa-bisanya Anda membiarkan anak lima tahun sendirian!" Tatapan Adriel menusuk seperti baja panas, membuat siapa pun sulit bernapas di dekatnya. Dia berdiri lebih tegak, mengambil napas perlahan, bukan menenangkan diri, tapi menahan amarahnya yang siap meledak. Miss Lana semakin gemetaran, dia meremas kedua tangannya erat.
"Petugas keamanan sedang memeriksa CCTV, Pak," sahut seorang guru laki-laki.
Tanpa menunggu lagi, Adriel melangkah cepat menuju ruang kontrol, langkah sepatunya menghentak lantai marmer, meninggalkan seluruh staf TK itu dalam ketakutan.
Tidak ada gunanya terus marah dan menyalahkan. Sekarang dia harus menemukan Narell, keponakannya.