 
                            Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya. 
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Villa Winterhil dimana kedua orang tua Amira berada disana.
Ibu Endah sedang berada di dapur untuk membuat kopi dan memasak nasi goreng kesukaan suaminya.
"Bu, biar saya saja yang membuatnya. Nanti saya dimarahi Tuan Diko." ucap Tiara yang merupakan pelayan yang dipilih oleh Diko untuk melayani Pak Herman dan Bu Endah.
Ibu Endah tersenyum tipis dan meminta Tiara untuk tidak usah khawatir.
"Nak Tiara. Bapak paling suka dengan kopi buatan Ibu." ucap Bu Endah
"Betul itu, Tiara." potong Pak Herman yang barusan keluar dari kamar.
Setelah selesai membuat kopi, Bu Endah mengajak Tiara untuk sarapan bersama.
"Bu, saya harus mengerjakan pekerjaannya lainnya." ucap Tiara yang takut jika Diko akan datang dan memarahinya.
Bu Endah menggandeng tangan Tiara dan mengajaknya ke ruang makan.
"Sarapan dulu, Nak. Nanti kalau Diko marah. Bapak yang akan memarahinya." ucap Pak Herman sambil menyeruput kopi buatan istrinya.
Tiara menganggukkan kepalanya dan ia mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan oleh Ibu Endah.
Aroma nasi goreng buatan Ibu Endah memang menggugah seleranya.
Ia menyendok nasi goreng hangat yang penuh potongan telur dan irisan bakso.
“Wah, nasi gorengnya enak sekali, Bu. Ini nasi gorengnya beda banget dari yang biasa saya masak. Apa rahasianya, Bu?" tanya Tiara sambil menikmati nasi gorengnya dengan lahap.
“Rahasianya yaitu masak dengan hati dan senyuman manis." jawab Ibu Endah.
Tiara mengangguk kepalanya dan saat akan hendak menyendokkan makanannya , tiba-tiba terdengar suara langkah tegas terdengar dari arah pintu depan.
Ceklek!
Diko muncul dengan jas hitamnya yang masih basah sedikit oleh embun pagi.
Tatapannya langsung tertuju ke arah meja makan dan ia langsung mengernyitkan keningnya begitu melihat Tiara duduk bersama Pak Herman dan Bu Endah.
“Tiara! Bukankah saya sudah bilang, pekerjaan dapur belum selesai? Kenapa kamu malah...."
Belum sempat Diko menyelesaikan kalimatnya, Pak Herman sudah berdiri dan tertawa lebar.
“Diko, Diko! Duduk dulu. Kamu boleh marah setelah minum kopi buatan istri saya. Ini aturannya di rumah kami.”
Diko mengerjap, separuh bingung, separuh tak enak hati.
“Pak Herman, saya tidak bermaksud—”
“Sudah, sudah. Sekarang minum dulu, Nak. Kata orang Jawa, kopi bisa menurunkan marah. Baru nanti bicara.”
Tiara menunduk dalam, berusaha menahan senyum di balik wajah tegangnya.
Diko akhirnya duduk perlahan, menyerah pada suasana hangat yang terlalu tulus untuk ditolak.
Begitu ia menyeruput kopi buatan Bu Endah, ekspresinya langsung berubah.
“Ini, enak sekali. Pahitnya pas, tapi ada manis di ujungnya,” ujarnya tulus.
Pak Herman menepuk bahu Diko sambil tertawa kecil.
“Nah, makanya jangan marah-marah dulu. Dunia ini bisa diselesaikan dengan kopi dan sarapan, bukan dengan omelan.”
Semua tertawa kecil mendengar celetukan Pak Herman.
Tiara akhirnya bisa bernapas lega dan kembali duduk.
“Maaf ya, Tuan. Saya cuma disuruh Ibu sarapan,” ucap Tiara.
Diko menggeleng sambil tersenyum tipis sambil kembali menyeruput kopinya.
“Ya sudah, kali ini dimaafkan. Tapi dengan satu syarat.”
“S-syarat, Tuan?” tanya Tiara sambil membelalakkan matanya.
“Saya juga ikut sarapan,” ucap Diko santai sambil menarik piring kosong dan menatap nasi goreng di wajan.
“Kalau aromanya begini, siapa yang bisa tahan, coba?”
Pak Herman tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari Diko.
“Bagus! Baru kali ini ada tamu yang tahu cara menikmati hidup. Sini, Nak Diko, tambah sendiri sebelum habis.”
Mereka kembali menikmati sarapannya sambil sesekali tertawa kecil mendengar lelucon Diko.
Sementara itu di rumah sakit Korea dimana Dokter Han sudah memperbolehkan Amira untuk pulang.
Ia berdiri di depan jendela kamar rumah sakit, menatap langit Seoul yang biru jernih setelah berhari-hari diguyur salju tipis.
Amira yang baru selesai berganti pakaian muncul dari balik pintu kamar mandi.
Gaun pastel lembut yang dipilihkan Casandra membuat kulitnya terlihat bercahaya.
Rambutnya yang dulu rusak kini tergerai indah, wajahnya bersih tanpa luka benar-benar Amira yang baru.
Sebastian menoleh dan terdiam saat melihat istrinya yang baru selesai mandi.
“Kenapa? Ada yang salah dengan bajuku?” tanya Amira sambil merapikan ujung gaunnya.
Sebastian menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum.
“Salahnya cuma satu.” jawab Sebastian.
Amira mengernyitkan keningnya saat mendengar jawaban dari suaminya.
“Kamu terlalu cantik. Dunia kayaknya belum siap menerima kamu hari ini.”
Amira menahan tawa sambil memukul pelan bahu suaminya.
“Dasar gombal kamu, Bas."
Sebastian mendekat ke arah istrinya sambil memeluknya dari belakang.
“Sayang, mumpung kita masih di Korea. Bagaimana kalau sekalian bulan madu di sini?”
“Bulan madu? Di Korea?” tanya Amira.
Sebastian menganggukkan kepalanya dengan bibirnya yang mencium leher istrinya.
"Aku sudah minta Diko urus tiket dan penginapan di Jeju Island." jawab Sebastian.
Amira membalikkan tubuhnya dan menatap wajah suaminya.
"Bas, terima kasih atas apa yang sudah kamu berikan kepadaku. A-aku..."
Sebastian melihat air mata Amira yang akan menetes.
"Ssshhh, jangan berkata seperti itu. Ini sudah kewajiban aku sebagai suami." ujar Sebastian sambil menepuk-nepuk punggung istrinya.
Setelah beberapa detik kemudian, Sebastian melihat istrinya yang mulai tenang.
"Ayo, kita siap-siap dan lekas ke bandara." ucap Sebastian sambil memasukkan pakaian ke dalam koper.
Disaat mereka sedang berkemas, tiba-tiba Casandra dan Jiho datang dan membantu mereka berdua.
"Jadi bulan madunya?" tanya Casandra.
"Iya, Ma. Kita jadi bulan madu." jawab Sebastian.
Casandra tersenyum lebar mendengar jawaban putranya.
“Akhirnya, setelah semua badai itu berlalu,” ujar Casandra.
Jiho yang berdiri di belakang Casandra ikut tersenyum sopan sambil membawa koper tambahan.
“Selamat ya, Tuan dan Nyonya. Jeju Island sedang indah-indahnya sekarang. Cuacanya juga pas untuk pasangan yang sedang jatuh cinta.”
“Terima kasih, Jiho. Kami hanya ingin waktu berdua tanpa gangguan dulu.” ucap Amira.
Casandra menghampiri Amira, memegang kedua tangannya.
“Sayang, kamu sudah melalui banyak hal. Sekarang waktunya kamu menikmati kebahagiaanmu. Jangan pikirkan masa lalu lagi, ya?”
Amira mengangguk pelan, air matanya hampir jatuh karena hangatnya pelukan dari ibu mertuanya.
“Iya, Ma. Terima kasih, karena sudah menerimaku apa adanya.”
Casandra tersenyum, lalu mencium kening menantunya.
“Sebastian beruntung memiliki kamu, dan kamu juga beruntung memiliki dia. Jaga satu sama lain.”
Sebastian yang sejak tadi merapikan koper mendekat dan memeluk kedua wanita yang ia cintai itu sekaligus.
“Tenang saja, Ma. Aku nggak akan biarkan Amira pergi sejauh ini cuma untuk kehilangan dia lagi.”
Casandra tertawa kecil dan menepuk bahu putranya.
“Kalau begitu, Mama doakan perjalanan kalian lancar. Nikmati waktu kalian berdua. Mama akan tinggal di villa beberapa hari lagi bersama Jiho.”
“Baik, Ma. Nanti setelah pulang dari Jeju, aku dan Amira akan langsung ke Villa Winterhil." jawab Sebastian.
Casandra mengangguk sambil tersenyum penuh makna.
“Di villa itu juga, ada dua tamu istimewa yang sedang menunggu kabar bahagia.” ucap Casandra.
“Tamu istimewa?” tanya Amira.
Sebastian menganggukkan kepalanya dan ia pun lekas mengajak istrinya keluar dari rumah sakit.
"Iya sayang, tamu istimewa." jawab Sebastian.
Mereka berdua masuk kedalam mobil dan Jiho lekas mengantarkan mereka berdua.
karna bastian mandul