NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pergi ke mall dan kesalon bersama ibu mertua

Pagi ini Reva bangun seperti biasa ,namun kali ini dia bangun agak kesiangan ,sementara itu Raka sudah bangun terlebih dahulu karena sudah menjadi kebiasaannya ,setiap pagi Raka joging

Belum sempat Reva bangkit dari tempat tidur, suara ketukan pelan terdengar di pintu.

“Boleh masuk, Nak?” terdengar suara Bu Laras yang hangat.

“Silakan, Ma,” jawab Reva sambil buru-buru duduk.

Pintu terbuka, dan Bu Laras masuk dengan senyum lebar, memakai dress katun berwarna pastel dan rambut yang disanggul rapi. Di tangannya, secangkir susu hangat dan sepotong roti panggang dengan selai stroberi buatan sendiri.

“Selamat pagi, calon akuntan!” sapa Bu Laras riang, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur. “Hari ini hari spesial.”

Reva mengernyit. “Spesial? Apa ada acara keluarga?”

Bu Laras duduk di tepi kasur, matanya berbinar seperti anak kecil yang menyimpan rahasia manis. “Kita akan ke mall. Belanja persiapan kuliah—baju, sepatu, alat tulis, bahkan tas laptop. Dan setelah itu… kita ke salon.”

Reva terkejut. “Salon, Ma?”

“Iya,” jawab Bu Laras sambil mengelus lengan Reva lembut. “Kamu cantik, Nak. Tapi selama ini kamu terlalu sibuk bertahan hidup sampai lupa merawat dirimu sendiri. Hari ini, aku ingin kamu merasa… istimewa.”

Air mata kecil menggenang di mata Reva. Ia menunduk, suaranya bergetar. “Tapi… saya nggak pernah ke salon, Ma. Saya biasa potong rambut di tukang cukur dekat pasar—dua puluh ribu, sekalian cuci.”

Bu Laras tertawa pelan, tapi tidak mengejek. “Nah, makanya hari ini kita ubah itu. Bukan karena kamu harus jadi mewah. Tapi karena kamu *layak* merasa dihargai—oleh dunia, dan terutama oleh dirimu sendiri.”

Reva mengangguk perlahan. Di hatinya, rasa hangat menyebar—bukan hanya karena ajakan itu, tapi karena ia tahu: ini bukan sekadar belanja. Ini adalah bentuk kasih sayang yang diam-diam mengatakan, *“Kamu bagian dari keluarga ini. Dan aku bangga padamu.”*

***

Dua jam kemudian, mobil SUV keluarga Hartono Wijaya meluncur pelan menuju salah satu mall mewah di Jakarta Selatan. Reva duduk di kursi penumpang, memegang tas kecil yang berisi dompet—yang isinya hanya uang receh dari sisa tabungnya dulu Ia merasa canggung. Di sekelilingnya, perempuan-perempuan berpakaian rapi, bersepatu kulit, tertawa sambil membawa kantong belanja dari butik ternama. Ia menarik ujung bajunya yang sederhana—kaos lengan panjang dan celana jeans bekas yang masih layak pakai.

“Jangan gelisah,” bisik Bu Laras, seolah membaca pikirannya. “Kita bukan ke sini untuk pamer. Kita ke sini untuk mempersiapkanmu menjadi versi terbaik dari dirimu—bukan versi yang orang lain mau, tapi versi yang *kamu* banggakan.”

Reva menatap ibu mertuanya, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Ma.”

“Jangan bilang terima kasih dulu,” jawab Bu Laras sambil mengedipkan mata. “Nanti kalau kamu jadi direktur, kamu yang traktir aku makan siang di restoran Prancis!”

***

Di dalam mall, Bu Laras tidak langsung menuju butik mahal. Ia membawa Reva ke toko pakaian profesional yang nyaman dan tidak terlalu mencolok—tempat di mana mahasiswi dan pekerja muda biasa berbelanja.

“Kita cari yang simpel, rapi, tapi nyaman,” kata Bu Laras, memilihkan blazer putih dan rok selutut berbahan katun. “Kamu akan duduk berjam-jam di kelas. Jangan sampai bajunya bikin gerah.”

Reva mencoba beberapa setelan di ruang ganti. Awalnya ia ragu—merasa terlalu formal, terlalu “bukan dirinya”. Tapi ketika ia keluar dan melihat cermin, sesuatu berubah.

Di sana, bukan lagi perempuan yang kabur dari paksaan pernikahan dengan tas plastik dan sendal jepit.  

Tapi perempuan muda yang tegak, percaya diri, dan siap menatap masa depan.

Bu Laras tersenyum lebar. “Lihat? Itu kamu, Reva. Bukan ‘istri Raka’. Bukan ‘anak tiri yang disia-siakan’. Tapi *Reva*—yang punya mimpi, punya harga diri, dan punya tempat di dunia ini.”

Reva menatap bayangannya, lalu berbisik, “Saya… terlihat seperti orang yang layak kuliah.”

“Karena kamu memang layak,” jawab Bu Laras tegas. “Sekarang, coba sepatu itu.”

Mereka membeli dua pasang sepatu—satu hitam polos untuk kuliah, satu cokelat muda untuk santai. Juga tas laptop, agenda kulit, pena berkualitas, dan bahkan payung lipat kecil—“untuk jaga-jaga kalau hujan pas pulang kampus,” kata Bu Laras.

Setiap kali Reva hendak menolak karena harganya mahal, Bu Laras hanya menggeleng.  

“Ini bukan pengeluaran, Nak. Ini investasi. Investasi pada perempuan hebat yang akan jadi tulang punggung keluarga ini suatu hari nanti.”

***

Setelah belanja, mereka menuju salon—tempat yang selama ini hanya Reva lihat dari luar, lewat jendela mobil saat lewat di jalan utama.

Salon itu tenang, beraroma lavender dan kayu putih. Penata rambut menyambut mereka dengan hangat, lalu membawa Reva ke kursi empuk yang dilengkapi cermin besar.

“Potong saja yang rapi, Mbak,” kata Reva gugup. “Jangan terlalu pendek.”

Tapi Bu Laras menyela. “Biar aku yang tentukan. Aku tahu gaya yang cocok untukmu.”

Selama proses potong rambut, Reva menutup mata sejenak. Ia merasakan jemari penata rambut yang lembut, suara gunting yang ritmis, dan aroma sampo mewah yang menenangkan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa… dirawat. Bukan karena butuh, tapi karena *berharga*.

Ketika rambutnya selesai—dipotong layer, disisir rapi, dengan poni samping yang lembut—Reva membuka mata.

Dan ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.

Rambutnya yang dulu kusut dan panjang sebahu kini terlihat sehat, berkilau, dan membingkai wajahnya dengan sempurna. Matanya terlihat lebih tajam, senyumnya lebih percaya diri.

“Wah… kamu cantik banget, Nak,” bisik Bu Laras, matanya berkaca-kaca. “Seperti bunga yang akhirnya mekar setelah lama terpendam.”

Air mata Reva jatuh—tapi kali ini, bukan karena sedih. Melainkan karena rasa syukur yang terlalu penuh untuk ditahan.

“Ma… saya nggak tahu harus bilang apa,” katanya pelan. “Saya… saya merasa seperti orang baru.”

Bu Laras menggenggam tangannya. “Kamu memang orang baru, Reva. Tapi bukan karena rambut atau baju. Karena kamu akhirnya percaya—bahwa kamu layak dicintai, dihargai, dan diberi kesempatan.”

***

Mereka makan siang di restoran kecil di lantai atas mall—tempat yang tenang, dengan pemandangan kota Jakarta yang luas. Bu Laras memesankan nasi ayam panggang dan jus alpukat untuk Reva.

“Kamu tahu, Nak,” kata Bu Laras sambil menyesap teh hangat, “dulu aku juga seperti kamu. Ayahku tidak setuju aku kuliah. Katanya, perempuan cukup jadi ibu rumah tangga. Tapi aku diam-diam daftar kuliah malam, kerja jadi kasir di toko buku, nabung dari gaji pertama untuk beli sepatu kuliah.”

Reva menatapnya, terkejut. “Benar, Ma?”

“Iya. Dan waktu itu, aku juga merasa tidak layak. Tapi lama-lama, aku sadar—harga diri bukan datang dari uang atau gelar. Tapi dari keberanian untuk terus maju, meski dunia bilang ‘kamu tidak cukup’.”

Reva mengangguk. “Sekarang saya mengerti… kenapa Ma begitu percaya sama saya.”

“Karena aku melihat diriku dulu di matamu,” jawab Bu Laras lembut. “Dan aku tidak mau kamu menunggu puluhan tahun seperti aku. Aku ingin kamu mekar sekarang.”

***

Sore itu, ketika mereka pulang, Raka sudah menunggu di teras dengan senyum lebar.

“Wah! Siapa ini? Model baru dari majalah kampus?” godanya, membuat Reva tertawa malu.

“Jangan lebay, Nak,” kata Bu Laras sambil menepuk bahu anaknya. “Ini calon akuntanmu yang sebentar lagi bikin laporan keuangan perusahaanmu rapi banget.”

Raka mendekati Reva, menatapnya dari ujung rambut hingga sepatu. “Kamu… cantik banget, Va.”

Reva tersipu. “Ini semua berkat Mama.”

“Tidak,” ralat Raka, matanya serius. “Ini karena kamu berani menerima kasih sayang. Dan itu… jauh lebih sulit daripada belajar akuntansi.”

***

Malam itu, sebelum tidur, Reva berdiri di depan cermin kamar. Ia memakai baju kuliah barunya, rambutnya masih harum dari salon, wajahnya bersih tanpa riasan—tapi bersinar dengan kepercayaan diri yang baru.

Ia mengingat malam-malam di emperan toko, ketika ia menangis karena takut besok tidak punya makan. Ia mengingat surat penerimaan kuliah yang dikuburnya di bawah kasur. Dan kini… ia berdiri di sini, di rumah yang hangat, dengan keluarga yang mencintainya, dan mimpi yang kembali hidup.

Perlahan, ia berbisik pada bayangannya sendiri:  

“Terima kasih, Ya , Allah… karena Engkau mengirimkan Mama dan Papa—bukan hanya sebagai mertua, tapi sebagai malaikat yang mengingatkanku: aku berharga.”

Di luar, bulan bersinar terang.  

Dan di hati Reva, untuk pertama kalinya dalam hidupnya,  

ia benar-benar merasa…  

*pulang*.

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!