"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ENAMBELAS Honeymoon II
Makassar, Indonesia
PAGI ini cuaca sangat cerah namun cukup menyengat, untung saja pendingin ruangan ini sangat ampuh. Aku tengah berdiri di atas balkon yang masih tertutupi jendela kaca bening dengan pemandangan langsung ke halaman rumah yang tidak luas itu. Entah ini berada di mana, namun rumah—tidak kuketahui siapa pemiliknya—ini sepertinya terletak di tengah-tengah perumahan bergaya elite. Yeah, mungkin saja ini perumahan.
Rumah ini tidak besar, namun bertingkat dua. Dari hasil penelusuranku saat keliling mengamati yang kuasumsikan ini lantai dua, ada dua kamar tidur yang juga tidak terlalu luas dan masing-masing memiliki kamar mandi. Di sebelah barat dekat tangga tehel yang mengarah turun ke lantai bawah, dibiarkan kosong. Dan tepat di sebelah utara, ada dua buah sofa empuk berwarna peach dark dengan meja bening memanjang. Seluruh dindingnya di cat dengan warna putih dengan hiasan beberapa lukisan menempel. Hanya lukisan pemandangan, tidak lebih.
Aroma omlet, menggelitik hidungku yang seketika membuatku mencari sumber aroma itu. Perutku benar-benar lapar dan tanpa pikir panjang, hanya memakai piyama tidur.
"Fir, kamu memasak?" Suaraku membuat lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu berbalik dan tersenyum ke arahku.
Mudah saja menemukan dapur ini, cukup memutar di sebelah kanan tangga, lalu ada koridor kecil, maka sebuah dapur mini terlihat di sana yang lengkap dengan perabotannya.
"Pagi, Sayang!"
Dia mengecup pipiku saat menghampirinya, lalu menyajikan makanan di meja kayu bercorak yang tidak besar itu.
"Aku baru tahu kamu bisa masak." Godaku yang membuatnya memandang sembari menahan senyum.
Dia memang terkadang masak di rumah, jika aku sedang malas atau melihatku kelelahan. Yeah, koki yang handal. Aku akui, masakan hasil dari tangannya memang sangat enak di lidahku.
"Duduklah, Sayang, kita sarapan. Kamu mau nasi goreng?" tawarnya sembari menarikkan kursi untukku dan membantuku duduk.
Aku memandangnya. Dia bilang nasi goreng, tapi yang ada di atas meja hanya beberapa helai roti dan omlet yang telah dia buat.
"Aku buatkan tentunya," selanya saat melihat kebingunganku sembari tersenyum manis. Dan gelengan itu tampak sembari tersenyum manis.
"Tidak perlu, ini saja, Sayang. Terima kasih. Seharusnya aku yang melakukan ini!" Firhan tersenyum.
"Kamu masih jet-leg dan kulihat kelelahan. Aku tidak ingin merepotkan istriku yang tengah hamil. Makanlah, kasihan anak kita, dia pasti sudah kelaparan." Sahut Firhan tersenyum penuh kasih lalu mengecup pucuk kepala dan mengusap rambut juga perutku, kemudian menarik kursi dan duduk di sebelahku.
"Bagaimana dengan tidurmu, Sayang? Nyenyak?" Aku mengangguk dalam suapan lahapku dengan roti isi omlet ini.
"Oh ya, ini rumah siapa?" aku bertanya saat mengambilkan makanan untuknya sambil mengunyah makananku. Senyuman dia melebar.
"Milik teman. Kebetulan bila kemari liburan, mereka menempati rumah ini. Kamu nyaman di sini?" Anggukku sembari tersenyum.
"Selama bersamamu tentunya," senyum melebar yang membuat Firhan lagi-lagi menyengir dan mengusap rambutku, lalu memberikan piring yang berisi omlet padanya.
"Jadi, kita menghabiskan waktu di sini? Maksudku, di tempat ini?" tanyaku kembali setelah mengunyah makananku.
"Bukan!"
"Lalu?" Dia tersenyum penuh arti yang lagi-lagi membuatku mendesah pasrah.
Kejutan lagi?
"Oh, aku lupa, siapa yang tengah kuhadapi. Si Tuan penuh kejutan!" Firhan terkekeh mendengar istilah itu dalam gumaman ini. Kami lalu melanjutkan makan dan mengobrol.
...* * *...
Suhu di kota ini menghangat namun tidak menyengat dan dingin. Langit cerah berawan putih di kota semenanjung Makassar semakin membuat aku dan Firhan bersemangat mengelilingi kota ini.
Setelah mengunjungi makam ibu dan ayah yang terletak di sebelah utara, yang letaknya tepat di sebelah jantung kota Makassar, Firhan lalu membawaku ke pantai yang eksotik itu. Losari Beach! Pantai wisata yang terkenal dan merupakan icon di kota ini. Aroma makanan khas Pisang Epe kini menggelitik hidung kami saat memasuki kawasan pantai. Kami duduk di bawah tugu simbolisis patung becak sembari menikmati pemandangan pantai yang menyuguhkan langsung laut luas terbentang dengan ombak yang bergulung indah dan berkilau, seraya menikmati semburat jingga senja dan menantikan moment sunset.
Aku mendesah seketika saat tak tahan melihat view menakjubkan ini. Spot yang begitu indah. "Sangat indah!"
Suasana pantai ini sudah ramai—bahkan beberapa dari pengunjung di sini merupakan turis asing dari luar negeri yang tak ingin ketinggalan mengunjungi tempat ini—dan beberapa juga menikmati jajanan khas kota. Lelaki ini bahkan tak melepaskan genggaman erat tangannya dariku.
"Kamu pernah kemari?" tanyaku yang telah memandang lurus ke depan di arah laut lepas.
"Iya! Tapi, sudah sangat lama. Saat berusia lima tahun, ibu dan ayah mengajakku ke pantai ini. Kamu juga, kan?"
Aku terkekeh. "Emh-hmm. Kadang-kadang!"
Suamiku itu seketika menelengkan kepala dengan kening berkerut samar dan memandang penuh tanya, sehingga membuat senyuman merekah di bibirku dan kembali memandang lurus ke depan, setelah sejenak memandang balik wajah Firhan yang keheranan.
"Bukankah kamu pernah tinggal di sini beberapa tahun?"
Aku mengangguk. "Aku memang jarang mengunjungi tempat wisata. Yeah, setelah pulang sekolah, waktuku hanya membawa kue dari warung ke warung, lalu sorenya mengajar hingga malam."
Dia tersenyum seperti mengingat sesuatu, lalu pandangannya kembali lurus ke depan. Aku memang pernah bercerita tentang ini padanya saat meminta menceritakan hidupku, ketika kami baru bersahabat.
"Tapi, omong-omong, aku suka tempat ini!" desahku riang.
"Aku juga!" gumam Firhan yang ikut tersenyum dan menikmati pemandangan.
Setelah sempat menikmati makanan khas pisang epe dengan siraman kuah bumbu gula merah dan kelapa goreng itu yang di masak menyatu, sembari menyaksikan sunset, kami lalu jalan-jalan di area pantai ini, mengelilingi dan mengamati setiap view indah yang ada.
"Kadang-kadang, aku bertanya-tanya, Kamu sanro, ya?" Alis Firhan mengernyit memandangku kebingungan dan penuh tanya saat menggodanya, setelah kami berada di dalam mobil dan menatap dia dengan senyuman geli sembari menumpukan siku ke tepi jendela mobil yang menopang wajahku.
"Sanro?" tanya Firhan dengan nada penasaran namun bingung, dan itu membuat aku tertawa.
"Artinya Peramal, Sayang! Itu memang bahasa daerah di sini." Dia tersenyum, lalu menggeleng kepala berulang kali pertanda prihatin dengan godaanku itu saat mencubit gemas hidung ini pada kalimat awalnya. Raut wajahnya berseri.
Mobil kini bergerak, meninggalkan kawasan pantai yang mulai semakin ramai, begitu pun jalan-jalan yang kini hampir sesak oleh kendaraan.
"Mengapa bisa membuatmu bertanya-tanya?" tanya Firhan mengalihkan dengan raut wajah menahan senyum sembari masih memperhatikan jalan.
"Karena, umm .... kamu tahu segala hal, bahkan saat ini tahu tempat mana yang ingin aku kunjung," timpalku yang membuatnya tersenyum.
"Itu masalah hati, Sayang! Kamu tahu, kan?" tukas Firhan sembari menggoda dengan menaikkan alisnya berulang kali.
"Oh, masalah hati, ya?"
Firhan mengangguk mantap dan membuatku tersenyum licik.
"Bagaimana kalau makan?" tawarku mengajak yang membuat wajah Firhan seketika memandang yang berubah serius dan senyuman itu lenyap, ketika tengah memandangnya dengan senyuman licik.
"Ingat, masalah hati, bukan?" godaku lagi yang seketika senyumnya merekah dan kembali memperhatikan jalan.
"Tentu saja!"
"Di mana?" sambarku memandangnya serius. Kali ini, giliran dia yang tersenyum licik. "Kejutan lagi?" tebakku menambahkan.
lelaki itu mengangguk mantap dan membuatku mendengus sembari menggerutu tidak karuan. Aku lalu melipat tangan di dada dan memilih untuk tetap diam dengan menikmati perjalanan yang telah lama aku rindukan ini.
Bilang saja memang tidak tahu, ha ha. Dasar tuan penuh kejutan!
Selang tak beberapa lama, mobil Firhan berhenti di pinggir jalan tepat di depan kedai yang tidak besar yang bertuliskan besar di papan dengan tulisan Coto Daeng. Letaknya tak jauh dari pusat kota dan kedai ini sangat ramai. Beberapa berjejer motor-motor yang terparkir dan juga beberapa mobil. Kedai ini cukup sederhana dengan meja-meja dan kursi-kursi kayu yang tertata rapi di dalamnya. Beberapa orang yang masih di luar berdiri mengantri, menunggu bangku-bangku yang terisi penuh itu, menjadi kosong. Setidaknya ada tempat untuk di tempati duduk.
Aku memandang cemberut pada Firhan, saat kami salah satu konsumen yang berdiri dan hanya menunggu orang-orang di dalam selesai makan. Terlebih, saat perutku sudah sangat lapar, di tambah dengan aroma bumbu rempah makanan khas itu yang begitu menggugah selera. Dia tersenyum, lalu mengusap rambutku dan menarikku ke mobil kembali.
"Duduk yang manis di sini, oke." Pinta Firhan setelah menuntunku untuk duduk di jok tengah penumpang yang kedua kaki masih mengarah dan bertumpu di ambang pintu mobil. Lagi pula bisa-bisanya orang hamil dibiarkan berdiri lama menunggu. Firhan membiarkan pintu mobil ini terbuka. Belum-belum aku bertanya, dia sudah pergi.
Entah mau apa dia.
Tak lama kemudian, dia membawa mangkuk berisi makanan khas daerah ini yang membuatku seketika tersenyum lebar.
Tapi, mengapa di bawa kemari?
Beberapa orang yang masih berada di sekitar sana dan yang melintas mengamati kami saat ini, namun dengan tidak pedulinya, suamiku itu tersenyum lebar ke arahku. Coto-nya sudah di satukan dengan irisan ketupat oleh Firhan ke dalam mangkuk ini. Biasanya isinya berupa jeroan dan daging—tergantung permintaan customer, sih, namun ini hanya hati dan dagingnya saja. Dia benar-benar hafal seleraku.
"Makanlah, Sayang. Aku suapi, ya?" Sahut Firhan yang masih membuat aku tersenyum lebar saat ia berdiri di hadapanku sembari menawarkan dengan manisnya.
"Kita makan di luar? Di sini?"
Lelaki itu mengangguk mantap.
"Dengan dilihat mereka?"
Lagi-lagi senyuman lebar dan anggukan mantap itu terlihat. "Hei, dunia milik kita, bukan?" timpal Firhan mengingatkan yang nyaris berbisik dan membuat aku tersenyum malu.
Sungguh, rasanya pipiku benar-benar memanas.
Sekilas aku melihat, beberapa di antara mereka yang memperhatikan kami sedari tadi ada yang berbisik-bisik sembari tersenyum, ada juga yang tersenyum sembari terang-terangan menatap dengan tatapan kelewat sopan dan penasaran.
"Tapi, dari mana kamu tahu kalau makanan ini dinikmati bersama ketupat?" tanyaku memandangnya saat Firhan hendak menyuapiku. Dia tersenyum.
"Aku meminta pelayan untuk menyatukan saja di mangkuknya ketika menawarkan ketupat. Sepertinya dia tahu, aku pendatang di sini!"
"Dan tempat ini? Tahu dari mana?" Firhan mendesah mengalah lalu menurunkan sendoknya di mangkuk saat ia hendak mencoba menyuapiku, namun aku menyela lagi yang membuatnya sejenak menatapku hangat penuh sabar. Aku hanya menatapnya dengan wajah polos yang penuh innocent dan serius.
Dia akhirnya menghela napas, lalu meletakkan sendok yang hendak dia arahkan ke arah mulutku, tapi tertahan terus karena aku tidak hentinya bertanya.
"Sebagian di media sosial dan sebagian lagi dari teman! Apa ada pertanyaan lagi, Nona sayangnya Firhan?" Dan itu membuat aku tersenyum lebar.
Wah, dia kesal!
Aku suka memandang raut wajahnya jika seperti itu. Ekspresinya lucu.
Ck ck, Kekesalan yang gagal!
Pandanganku tertunduk saat berusaha keras menahan senyum, meski pada akhirnya terbit begitu saja diam-diam dan berdecak dalam benak.
"Ada apa?"
Wajahku terangkat dan menggeleng cepat menahan senyum.
Dia mendesah. Lalu, "Makan, Sayang!" pintanya memelas memandangku saat hendak menyuapi.
"Kamu tidak makan? Kenapa hanya satu porsi?" selaku lagi namun bibirnya terkatup rapat sembari tangannya masih terangkat hendak menyuapi. Hanya sorotan mata teduh tengah menatapku yang membuat aku menyambar cepat suapan itu, kemudian tersenyum innocent ke arahnya yang sengaja kubuat-buat agar tampak manis. Dia mendesah lega, lalu mengaduk-aduk makanan itu.
"Aku tidak lapar, Sayang, kamu yang harus makan. Lagi pula, anak kita juga harus diberi nutrisi.
O-oh!
"Kamu tidak suka, ya?" nada suaraku hati-hati yang membuat Firhan mengangkat wajah dan tersenyum manis.
Dia menggeleng. "Bukan itu! Aromanya memang sangat menggugah dan membuat siapa saja yang menciumnya menjadi penasaran. Hanya saja .… tidak pernah mencobanya," gumam dia mengakui.
Senyuman ini merekah di hadapannya. Aku lalu menyambar sendok yang di pegang lelaki itu, lalu menyuapinya. "Ayo? Ini sangat enak," tukasku yang membuatnya menelan ludah dan memandangku sejenak, kemudian memakannya ketika aku menyuapinya. Raut wajahnya seketika berubah tersenyum dan hangat saat mengunyah tanpa hati-hati lagi.
"Benar, kan? Sudah kubilang, coto ini memang enak. Ini makanan khas di sini yang banyak peminatnya,"
Firhan hanya tersenyum, lalu mengambil kembali sendok yang aku pegang. Kemudian, "Sekarang giliranmu!" tuntut Firhan dalam desaknya, lalu kami tersenyum.
Kami makan sambil saling menyuapi, ngobrol dan bergurau. Malam dingin kota Makassar ini benar-benar membuat aku bahagia. Rasanya sejuk menikmati suasana dan dinginnya kota ini lagi yang telah sekian lama tak pernah kurasakan lagi, dengan langit cerah penuh bintang.
Firhan sangat menyukai makanan itu, bahkan tambah porsi yang masih sama sembari masih menikmati di pinggir jalan-di ambang pintu mobil. Suasana kedai itu tak pernah sepi pengunjung. Mereka memang sengaja buka duapuluh empat jam, bahkan semakin larut, semakin ramai.
...* * *...