NovelToon NovelToon
Pendekar Pedang Halilintar

Pendekar Pedang Halilintar

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Epik Petualangan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:16.9k
Nilai: 5
Nama Author: DANTE-KUN

Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.

Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.

Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.

Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35: Lima Sosok Yang Mengincar

Begitu Ye Fan selesai meneliti kualitas serat pelindung pada jubah khusus itu — memeriksa jahitan, berat, hingga fleksibilitasnya saat digerakkan — ia mengangguk kecil. Mata dinginnya memantulkan keputusan tegas.

“Sepuluh set. Semuanya.”

Ucapan itu keluar datar, namun mengandung ketegasan seorang pendekar muda yang tidak perlu menjelaskan apa-apa kepada siapa pun.

Wanita pegawai yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan meremehkan sontak membeku.

Raut dingin Ye Fan membuatnya sadar bahwa ia baru saja salah besar.

Ketika Ye Fan mengeluarkan kantong kecil berisi 100 koin emas, meja kasir yang biasanya tenang langsung terdengar seperti adegan berat—

logam-logam emas itu jatuh ke meja kayu, menghasilkan suara berat yang dalam, membuat udara di sekitarnya bergetar tipis.

Pegawai itu tersentak, wajahnya pucat, lalu buru-buru membungkuk.

“Ma—maafkan saya, tuan muda … saya tidak tahu kalau—”

Ye Fan tidak menoleh sedikit pun.

Ia hanya menggerakkan tangan tipis, dingin, tanpa amarah maupun ampun.

“Sudah. Lanjutkan saja.”

Nada suara itu membuat pegawai tersebut semakin gugup; bukan karena marah—tetapi karena ketidakpedulian Ye Fan.

Seolah keberadaannya bahkan tidak cukup penting untuk dipikirkan.

Sementara itu, Tang Yue yang berdiri tidak jauh, bersama dua tetua klan Tang, melirik ke arah Ye Fan.

Kedua tetua itu saling bertukar pandang. Keduanya adalah pendekar ahli tingkat menengah yang sudah makan banyak asam garam dunia persilatan. Mereka dapat merasakan aura singkat Ye Fan ketika pemuda itu bergerak—

tipis, tetapi tajam … seperti kilat yang disembunyikan di balik awan.

Tang Yue sendiri memegang beberapa kotak aksesoris dan gulungan bahan obat di lengannya. Cahaya lampu paviliun memantul pada wajahnya yang anggun, memberikan kesan bahwa ia selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berdiri.

Namun yang membuat beberapa pelanggan lain tercengang adalah:

Ye Fan sama sekali tidak menoleh.

Tidak melirik.

Tidak terpengaruh.

Padahal Tang Yue sedang berdiri tepat di sampingnya saat menunggu pembayaran.

Beberapa orang bahkan berbisik pelan:

“Siapa pemuda itu…? Bisa cuek banget sama nona Tang Yue?”

“Matanya tidak bergerak sedikit pun … dia buta atau terlalu sombong?”

“Kalau aku jadi dia, aku sudah gugup setengah mati.”

Tang Yue sempat menoleh ke arahnya, seolah ingin melihat reaksi pemuda itu.

Namun yang ia dapatkan hanya punggung Ye Fan yang tegap, dingin, dan penuh ketegasan seorang pendekar yang sudah ditempa kehilangan.

Bukan sombong…

tapi dunia hatinya sudah hancur satu kali.

Sulit bagi kecantikan, seberapa pun memikatnya, untuk menembus dinding itu.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Ye Fan mengaktifkan cincin ruangnya —

seberkas cahaya tipis melesap dari cincin tersebut, lalu seluruh barang belanjaannya lenyap tersimpan ke dalam ruang kecil tak kasat mata.

Ia tidak berbicara apa pun. Tidak menyapa siapa pun.

Langkahnya mantap, dingin, dan tanpa ragu.

Begitu ia melangkah keluar dari pintu paviliun, kain jubahnya bergerak mengikuti aliran angin jalanan kota.

Cahaya matahari pagi menyentuh siluetnya, mempertegas sosok seorang pendekar muda yang berjalan sendirian … namun dengan dunia yang perlahan memperhatikannya.

Sementara itu, orang-orang di dalam paviliun masih terpaku.

Pegawai yang tadi meremehkannya bahkan memegang dadanya sambil menghela napas panjang.

“Orang seperti itu … bukan seseorang yang bisa dinilai dari usia,” gumamnya dengan suara kecil.

Tang Yue hanya tersenyum tipis—senyum yang sulit diartikan—sambil menatap pintu tempat Ye Fan menghilang.

Seolah ia baru saja melihat bayangan seseorang yang mungkin bisa menandingi bakat dan kemampuannya.

...

Malam turun perlahan ke atas Ibukota Kekaisaran Tang, atau yang lebih dikenal sebagai Kota Mawar Putih — sebuah kota megah yang tampak seperti permata peradaban dunia persilatan. Saat malam tiba, cahaya lentera menggantung di setiap jalan, memantulkan warna keemasan di atas batu-batu putih yang menjadi ciri khas kota ini.

Namun di balik keindahannya, Kota Mawar Putih memiliki reputasi lain:

tempat berkumpulnya para pendekar kuat, klan-klan berpengaruh, serta para murid sekte besar yang menjadikan ibukota sebagai arena persaingan tak terlihat.

Di kota ini, satu kesalahan kecil dapat berarti permusuhan dengan klan raksasa…

atau hilangnya nyawa tanpa suara.

Di salah satu gang sempit di sisi timur kota, di mana lentera tampak jarang dan cahaya bulan terhalang atap-atap rumah, lima sosok berjubah hitam melangkah perlahan.

Langkah mereka hampir tidak menimbulkan suara, hanya sedikit gesekan lembut dari ujung jubah yang mengenai tanah batu basah.

Kelima sosok itu memanfaatkan gelapnya malam dan riuhnya ibukota sebagai tirai.

Tiap langkah, tiap pernapasan, terkontrol seperti mesin pembunuh yang terlatih.

Mereka bukan bandit atau perampok.

Mereka adalah pendekar ahli tingkat awal yang dikirim secara khusus oleh petinggi Istana Kaisar Jiwa — organisasi yang telah lama beroperasi dari balik bayang-bayang dunia persilatan.

Kehadiran mereka di Kota Mawar Putih malam ini bukan tanpa beban.

Di kota seperti ini, satu gerakan ceroboh dapat menyeret mereka ke konflik dengan klan besar atau sekte berpengaruh — sesuatu yang bahkan para petinggi mereka ingin hindari.

Karena itu, malam ini mereka bergerak pelan, cermat, seolah setiap bayangan bisa saja mengawasi dari kejauhan.

Salah satu dari mereka, sosok dengan jubah yang sedikit lebih tebal dan postur lebih tegap — jelas pemimpin kelompok itu — berhenti di bawah lentera yang berkedip lemah.

Ia merogoh sesuatu dari balik jubahnya dan mengeluarkan sebuah gulungan kuno.

Ketika dibuka, tampak dua lukisan wajah yang dibuat dengan detail tinggi:

Ye Fan

Chu Ling

Dua sosok yang kini menjadi target perburuan mereka.

Pemimpin itu mengusap perlahan permukaan lukisan Ye Fan, dan suaranya terdengar rendah, nyaris serak, seperti seseorang yang sudah terbiasa memberikan perintah kematian.

“Ini dia anak itu … sudah dikonfirmasi lokasi keberadaannya. Penginapan utara lapis ketiga.”

Salah satu anggota lain mengangguk, wajahnya tersembunyi di balik bayangan topi jerami lebar.

“Dia terlihat biasa … tapi para tetua bilang jangan remehkan.”

Nada suaranya mengandung sedikit ketegangan.

Pemimpin itu merespon datar.

“Kota ini penuh murid Sekte besar dan keturunan Klan kuat.

Jika kita salah menyerang orang yang tidak tepat, kita semua mati sebelum subuh tiba.”

Anggota lain menambahkan dengan suara perlahan:

“Dan Istana Kaisar Jiwa tidak mau menambah musuh yang tidak perlu hanya karena kita salah target.”

Karena itulah sebelum penyerangan malam ini, mereka harus memastikan target.

Mengamati.

Menganalisis.

Mengonfirmasi.

Langkah ceroboh bisa membuat mereka dijadikan musuh oleh klan besar mana pun di ibukota. Dan setiap klan besar di sini memiliki kekuatan untuk menghapus lima orang seperti mereka dalam satu malam saja.

Pemimpin itu menggulung kembali kertas tersebut dan menyimpannya.

“Identitasnya kita konfirmasi tadi siang. Gerakannya, aura tubuhnya, dan arah langkahnya cocok dengan informasi dari mata-mata kita.”

Ia menatap ke arah utara — arah di mana penginapan Ye Fan berada.

“Dia ada di kamarnya sekarang. Berkultivasi atau beristirahat. Tepat malam ini … kita bergerak.”

Lima sosok itu saling mengangguk.

Tidak ada rasa gentar. Tidak ada rasa bangga.

Hanya ketaatan pada perintah … dan kesadaran bahwa mereka sedang melangkah di garis tipis antara hidup dan kematian.

1
saniscara patriawuha.
gasssd polllllll....
saniscara patriawuha.
gasssss.
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ...........
saniscara patriawuha.
gassss pollllll..
saniscara patriawuha.
tingkatkan lagi mc nya biar lebih sat set sat set,,,
saniscara patriawuha.
lanjutkennnnnn....
saniscara patriawuha.
gassssdd....
𝕸𝕬𝕾𝕿𝕰𝕽𝕾 𝕷𝕰𝕰, 𝕬𝕸𝕶
Mantap
udenk
goooos
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor .........
🌼🆚🐝
tdk sprt di awal alurnya,terlalu byk penjelasan yg di ulang2
🌼🆚🐝
keren
🌼🆚🐝
crazy up babang💪💪💪💪
Jojok Supriyanto
bukankan Ji Hong ayahnya Ji Hun ya... koq ini jadi pamannya...
Dante-Kun: Hehe 🤭🤭 otornya ngantuk, makasih udah di kasih tau, langsung revisi sekarang
total 1 replies
Jojok Supriyanto
empat ditambah tujuh, sebelas Thor..
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ...........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ..........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor .........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ........
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!