NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 HARI PERNIKAHAN

Hari pernikahan itu akhirnya tiba—hari yang dulu selalu Ava bayangkan sebagai babak paling bahagia dalam hidupnya, namun kini hanya terasa seperti dinding besar yang menekan dadanya dari segala arah.

Ia berdiri di depan cermin besar yang membingkai seluruh tubuhnya, lampu-lampu putih di sekelilingnya memantulkan cahaya lembut ke wajah yang telah dipoles sedemikian rupa. Makeup artist menutupinya dengan riasan sempurna; rona pipi pucat, bibir merah lembut, bulu mata lentik yang bergetar setiap kali Ava menarik napas. Cantik—begitu cantik hingga sulit mengatakan bahwa di balik kecantikan itu ada hati yang remuk.

Rambutnya digelung rapi, tiap helainya disematkan kristal kecil yang berkilau. Gaun pengantin rancangan tangannya sendiri terhampar indah—lapisan organza putih susu dengan Swarovski biru muda yang menghiasi bagian bawah, memantulkan cahaya seperti serpihan es.

Ava seharusnya bangga. Seharusnya bahagia. Namun yang hadir hanyalah sesak yang tidak mau pergi.

Bayangan Martin muncul begitu jelas di kepalanya—senyumnya, sorot mata antusias ketika melihat sketsa pertama gaun itu. Cantik sekali, Ava. Aku tidak sabar ingin melihatmu mengenakan gaun ini. Begitu katanya waktu itu, dengan sentuhan hangat yang kini tinggal kenangan.

Pintu ruang rias terbuka. Luis masuk, langkahnya pelan, seolah takut menghancurkan keheningan yang menggantung berat. Tubuhnya dibalut jas hitam yang membuatnya terlihat lebih formal dari biasanya. Namun mata pria itu—mata seorang ayah yang hendak melepas putrinya—berkaca-kaca, berkabut oleh emosi yang sulit disembunyikan. Ia mendekat perlahan.

"Ava, sayang…" suaranya lirih dan bergetar, "Ayo."

Ava tersenyum tipis, senyum yang tampak seperti retakan terakhir dari kekuatan yang ia punya. Ia menghela napas panjang, menenangkan dirinya, kemudian meraih tangan ayahnya. Kehangatan tangan Luis terasa menenteramkan, namun juga menambah rasa sesak—karena hari ini, ayahnya menyerahkan putrinya pada kehidupan yang bahkan tidak diinginkan oleh Ava sendiri.

Mereka melangkah menuju pintu besar. Saat dua petugas membukanya, cahaya luas dari chandelier raksasa menyambut mereka. Gedung itu dipenuhi kemewahan; langit-langit tinggi bergambar mural bunga keemasan, karpet merah sepanjang lorong, aroma wangi bunga lili memenuhi udara. Ruangan itu persis seperti yang pernah ia impikan: elegan, hangat, megah tanpa berlebihan.

Ini gedung yang dulu ia pilih bersama Martin karena cahaya chandelier-nya selalu tampak seperti memberkati siapapun yang berjalan di bawahnya. Dan setiap sudutnya mengingatkan Ava pada kebahagiaan yang seharusnya ia miliki.

Saat Ava mulai berjalan, kepala-kepala mulai menoleh. Bisik-bisik bermunculan di antara para tamu—kagum, terpana, tak percaya.

"Lihat itu… seperti putri," bisik salah satu tamu.

"Gaunnya luar biasa…" sahut yang lain dengan nada takjub.

Di bawah altar, Esther memandang dengan mata berbinar. "Waw… gaun Kak Ava sangat cantik." gumamnya kagum.

"Tentu saja," balas Bella, sorot matanya tak lepas dari sang mempelai wanita. "Dia membuat gaun itu sungguh-sungguh selama satu bulan."

Ekspresi Esther berubah lebih takjub. “Hanya satu bulan? Gila… dia memang kakak iparku yang sempurna.”

Lian yang juga hadir ikut menatap Ava tanpa berkedip. "Astaga… dia sangat cantik," gumamnya.

Bella mengusap tangannya sendiri. Dalam hati ia berbisik, Ava… semoga kau bahagia. Bisiknya dalam hati meski sulit baginya sendiri untuk percaya bahwa Ava benar-benar bahagia hari ini.

Ava terus berjalan dengan langkah teratur, meski lututnya hampir goyah. Tangannya meremas lengan Luis, mencari kekuatan. Di depan altar, Arash berdiri dalam tuksedo hitam. Ia menoleh ketika musik perlahan mereda. Matanya membeku saat melihat Ava—memandangnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada kekaguman yang coba ia sembunyikan di balik ekspresi dingin.

Begitu Ava tiba di hadapannya, ia meraih tangan gadis itu. Tangan Ava dingin, sedikit gemetar. Arash tidak menyangka itu. Sesuatu di dadanya terasa aneh—bukan iba, bukan empati—lebih seperti kejengkelan bercampur sesuatu yang ia tak ingin akui.

Upacara berlangsung singkat. Janji suci dilantunkan dengan suara bergetar dari Ava, dan datar dari Arash. Cincin melingkar di jari masing-masing, diikuti tepuk tangan yang menggema di ruangan. Senyum—samar, formal, palsu—terlihat di wajah setiap orang. Kebahagiaan semu memenuhi ruangan, namun tidak mampu masuk ke hati kedua mempelai.

Setelah acara selesai, Ava kembali ke ruang tempat ia bersiap. Ia duduk pelan, gaun besarnya menutupi hampir seluruh kursi. Nafasnya berat, bahunya turun naik. Hari ini seharusnya menjadi miliknya. Kini ia hanya merasa seperti boneka porselen di dalam kotak kaca.

Pintu tiba-tiba terbuka. Arash muncul dengan raut wajah datar seperti batu. Di tangannya ada sebuah map cokelat. Tanpa basa-basi, ia meletakkannya di pangkuan Ava.

Ava menatap Arash dan map di pangkuannya bergantian. "Apa ini?" tanyanya datar.

"Surat perjanjian setelah menikah."Ucapnya.

Ava membuka dan membaca. Isinya singkat—namun semuanya tentang batasan. Tentang dirinya. Tentang hidupnya.

Tidak boleh menuntut. Tidak boleh ikut campur urusan pribadi siapa pun—terutama Arash. Tidak boleh melibatkan keluarga. Batas peran, batas suara, batas keberadaan.

Ava mengangkat wajah. "Kenapa isinya hanya tentangmu?"

"Peraturan itu berlaku untukmu juga," jawab Arash tenang. "Kalau kau ingin menambahkan syarat, tulis saja."

Ava menggeleng. "Tidak usah." Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia menandatangani. Kontrak itu menjadi saksi pernikahan yang seharusnya bahagia terasa hampa dan tak berarti lagi baginya.

Arash mengambil map itu kembali. Matanya menatap Ava dingin. "Satu lagi," ucapnya, suaranya rendah namun tajam. "Jangan ada siapa pun yang tahu tentang ini selain kita."

Ava tidak menjawab. Ia hanya meremas tangannya sendiri, menahan seluruh perasaan yang bergejolak dalam diam.

Hari itu, di balik semua kemewahan gedung, gemerlap lampu, dan tepuk tangan bahagia… ada dua hati yang berdiri sebagai pengantin, namun tidak sebagai pasangan.

...----------------...

Setelah upacara pernikahan yang terasa lebih seperti formalitas daripada perayaan, Arash memutuskan bahwa mereka tidak akan tinggal di rumah keluarga Soren maupun Alder. Ia tidak memberi ruang untuk diskusi—hanya sebuah kalimat pendek yang keluar saat mereka tengah berjalan menuju mobil: “Kita tinggal di rumahku.”

Rumah itu merupakan hadiah dari Agam ketika Arash diterima di universitas di Singapura—perayaan kecil untuk pencapaian besar. Sebuah rumah berwarna abu dan hitam yang tampak modern, bersih, dengan garis-garis arsitektur tegas yang mencerminkan kepribadian pemiliknya. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk dua orang… atau mungkin terlalu besar untuk dua hati yang tidak saling mengenal.

Bukan tanpa alasan Arash menginginkan mereka tinggal terpisah dari keluarga Soren atau keluarga Alder. Ia tidak ingin ada suara, campur tangan, atau tatapan penasaran yang bisa mengganggu perjanjian di antara mereka. Di rumah ini, mereka hanya dua orang asing yang kebetulan terikat janji, bukan pasangan yang diharapkan hidup saling melengkapi.

Ava turun dari mobil dengan koper besar di tangan, mengikuti langkah Arash yang berjalan tanpa menoleh. Pria itu merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci, dan membuka pintu rumah dengan gerakan cepat seolah ia sudah melakukannya ribuan kali.

Saat pintu terbuka, udara dingin dari dalam rumah langsung menyergap. Ruangan itu sunyi—hanya ada gema langkah mereka yang memantul pelan di lantai kayu yang mengilap.

Interior rumah itu terkesan maskulin: dinding abu yang dingin, furnitur hitam yang tajam garisnya, lampu yang redup tapi berkelas. Tidak ada foto, tidak ada dekorasi personal, tidak ada sentuhan kehangatan. Seolah rumah itu bukan tempat tinggal, melainkan tempat singgah seseorang yang terbiasa hidup sendiri.

"Nanti sore bi Ana akan datang untuk membereskan rumah," ucap Arash singkat, tanpa menatap Ava. Setelah itu ia langsung berbalik dan berjalan menuju pintu.

Ava mengerutkan alis. “Kau mau ke mana?”

Pria itu berhenti sejenak—tidak benar-benar berhenti, lebih seperti tersentak kecil karena pertanyaan itu. Ia menoleh sedikit, hanya cukup untuk memberi tatapan dingin. “Bukan urusanmu.”

Begitu saja. Dua kata, lalu ia pergi. Pintu tertutup, meninggalkan Ava sendirian di ruang tamu yang terasa terlalu besar untuk menampung kesunyian.

Ava menghela napas panjang—napas yang lebih berat daripada gaun pengantinnya tadi. Ia menarik kopernya menuju kamar utama yang lokasinya dapat ia tebak dengan mudah dari tata letak rumah. Setiap langkahnya memunculkan gema lembut di lorong sepi itu, seolah mengingatkannya bahwa ia sedang memasuki hidup baru… yang tidak pernah ia pilih.

Kamar itu bersih. Terlalu bersih. Tidak ada baju berceceran, tidak ada buku di meja, tidak ada alarm dekat kasur. Selimut tersusun rapi, bantal berdiri tegak. Tak ada jejak seseorang yang tidur gelisah atau bangun terburu-buru. Arash benar-benar hidup teratur—atau benar-benar hidup sendirian.

Karena lelah dan mual akibat upacara panjang, Ava memutuskan mencari sesuatu untuk dimakan. Ia berjalan menuju dapur; langkahnya lambat, seakan tiap kaki menanggung beban pernikahan itu.

Dapur itu berbeda dari yang ia bayangkan. Meskipun rumah itu terasa dingin, dapurnya justru terasa… digunakan. Tidak ada debu. Tidak ada piring kotor. Kompor terlihat sering menyala, microwave terletak di pojok dengan jejak sidik jari halus. Bahkan gelas-gelas tertata rapi seolah ada seseorang yang rutin menyusunnya.

Ia membuka kulkas—sebuah kebiasaan kecil yang dulu biasa ia lakukan di rumah sendiri, mencari sesuatu yang bisa menenangkan perut.

Kulkas itu tidak penuh, tapi juga tidak kosong. Tidak ada makanan mewah, tidak ada hidangan keluarga. Hanya beberapa minuman, telur… dan beberapa bungkus mie instan.

Ava terdiam sejenak. Arash… makan mie instan? Laki-laki angkuh itu? Tidak pernah ia bayangkan.

Ava mengambil satu bungkus mie, membuka kompor, dan menunggu air mendidih. Dapur sunyi, hanya suara gemericik air yang mulai panas dan aroma bumbu yang terbuka di udara. Lima menit terasa lama—terlalu lama—di ruangan yang asing dan penuh tanda tanya ini.

Saat mie itu akhirnya matang, aroma kaldu dan sedikit pedas memenuhi dapur, membawa sedikit kehangatan di ruang yang sepi.

Ava duduk di meja makan kecil—meja yang tampaknya hanya digunakan Arash untuk makan cepat saat tak sempat ke luar. Ia meniup mie panas itu perlahan, lalu menyendoknya. Rasa hangat menyentuh lidahnya, menurunkan sedikit rasa mual dan lelah yang ia bawa sejak pagi.

Di rumah suaminya—suami yang bahkan tidak tahu harus berkata apa padanya—Ava makan mie instan sendirian sebagai hidangan pertama setelah menjadi istri.

Tidak ada ucapan selamat datang. Tidak ada kehangatan. Hanya sunyi, mie panas, dan perasaan asing yang menempel seperti bayangan. Dan entah kenapa, justru momen sederhana itu terasa lebih jujur daripada seluruh pernikahan yang baru saja ia jalani.

.

.

.

.

.

.

.

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!