“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 25
Mahira akhirnya memasuki ruang guru. Begitu ia duduk, Bu Nurhasnah menghampiri dengan langkah pelan namun tatapannya penuh selidik.
“Mahira, apa kamu punya hubungan dengan Pak Reza?” tanya beliau sambil memperhatikan wajah Mahira.
Mahira mengerutkan alis. “Saya baru melihat beliau hari ini, Bu,” jawabnya mantap. Ia mencoba mengingat lebih jauh, tetapi ia yakin tidak pernah mengenalnya.
“Sepertinya dia tertarik pada kamu, Ra,” komentar Bu Nurhasnah sambil menyipitkan mata seakan menilai sesuatu yang tak tampak.
Mahira menghela napas. Dari penampilan, Reza memang terlihat dewasa dan sesuai tipe lelaki idealnya.
“Tapi saya sudah menikah, Bu,” sahut Mahira tanpa ragu.
“Oh, ya. Lain kali perkenalkan suamimu kepada kami,” ujar Bu Nurhasnah sambil mengangguk.
Mahira menatapnya lebih teliti. “Ibu tidak terpengaruh gosip yang beredar, kan?” tanyanya hati-hati.
“Kamu menikah, kenapa harus Ibu persoalkan? Yang selingkuh saja Ibu biarkan, apalagi yang menikah,” jawab Bu Nurhasnah dengan senyum ringan.
“Oh syukurlah kalau Ibu tidak ikut menghakimi saya.”
“Ibu masih banyak hal yang perlu diurus. Tidak sempat mengurus rumah tangga orang lain.”
Mahira terdiam. Setidaknya masih ada orang waras di sekolah itu.
Ia duduk kembali lalu mulai menulis laporan pembelajaran. Ketika ia sedang asyik menulis, tiba-tiba meja digebrak oleh Bu Anggi.
“Mahira, apa hubunganmu dengan Pak Reza?” sergah Anggi dengan tatapan menusuk.
“Tidak ada,” jawab Mahira datar.
“Bohong,” bentak Anggi. “Aku tahu kamu yang melangkahi aku dan Bu Nurhasnah sampai yayasan dapat data duluan.”
Mahira meletakkan bolpoin lalu menatap Anggi. “Bukankah kamu selalu bilang kalau kamu kenal keluarga yayasan? Harusnya kamu lebih tahu daripada aku.”
“Kalau begitu siapa yang menyampaikan data itu ke Pak Reza?” desak Anggi.
Mahira mengangkat bahu. “Saya tidak tahu.”
“Ya sih, hanya aku yang punya akses ke yayasan,” gumam Anggi sebelum pergi meninggalkan Mahira.
…
Sementara itu, Doni sedang asyik berbincang dengan Saras.
“Masa sih lo nggak punya cowok?” tanya Doni.
“Selain lo, nggak ada yang berani ngedeketin gue,” jawab Saras santai.
“Kenapa?”
“Mereka takut sama Leo. Dia aneh, berkali-kali gue tolak tapi tetap ngejar. Kalau bukan karena gue butuh dia, udah gue buang dia.”
“Lo butuh dia?” Doni mengernyit. “Buat apa? Karena dia tinggi besar, bisa lo manfaatin buat bawa barang-barang lo?”
Saras terkekeh. “Kocak. Lo kira dia kuli panggul? Dia ketua geng Leo, anggotanya banyak. Dan gue ketua geng Rembulan. Ya butuh dong bantuannya.”
Doni mengetuk dagu, seperti mencoba mengingat sesuatu. “Selain Leo, siapa lagi yang pernah deketin lo?”
“Lo. Dan kayaknya lo juga bakal mampus,” ujar Saras dengan senyum penuh arti.
“Memangnya ada cowok yang pernah mampus gara-gara deketin lo?”
“Ada. Namanya Riko. Katanya sih kecelakaan, tapi gue yakin dia dibunuh. Dan gue curiga sama Leo.” Suaranya merendah.
“Gila, di sini pernah ada yang mati?”
“Dulu gue dekat sama Riko. Sepertinya Leo tidak suka. Dia bikin skenario bunuh diri.”
Doni termangu, lalu menatap Saras intens. Saras mengibaskan tangan di depan wajah Doni.
“Kebiasaan lo kalau ngeliatin gue, kayak kucing lihat daging.”
“Anting lo bagus, Ras,” ucap Doni mengalihkan topik.
“Oh iya. Gue suka modelnya. Kalau gue suka, gue pakai terus sampai bosan.”
“Boleh gue foto?” tanya Doni.
“Buat apa?”
“Buat adek gue. Bentar lagi ulang tahun. Kayaknya cocok.”
“Tidak boleh. Gue nggak suka barang yang gue pakai ditiru orang. Kalau ada yang niru, gue buang.”
“Peliiiit. Foto saja, nanti gue cari yang mirip. Sumpah bukan yang sama.”
Saras malah tertawa.
“Kenapa?” tanya Doni bingung.
“Lo nggak bakal nemu. Anting ini eksklusif. Cuma gue yang punya.”
“Wah kaya banget lo,” komentar Doni.
“Biasa aja.”
Dua siswi cantik menghampiri Saras lalu membisikkan sesuatu. Ekspresi Saras langsung berubah dingin. Ia bangkit dan meninggalkan Doni.
Doni memandang kepergiannya sambil merenung. “Konflik cinta, anting eksklusif... berarti cuma dia yang punya,” pikirnya.
Tanpa ia sadari, sejak tadi ada empat mata yang memandangnya dengan api cemburu.
…
Doni melangkah keluar dari gerbang sekolah sambil melempar senyum ke setiap siswi yang lewat. Kebiasaannya itu tidak pernah berubah.
“Langit saja mendung mau hujan, tapi kenapa hati aku panas begini,” gumam Mahira yang melihatnya dari jauh. Ia mengibaskan tangan, mencoba mengusir rasa kesal yang tak mau hilang.
Di pinggir jalan, Doni baru sempat menyalakan ponsel ketika sebuah tangan mencengkeram bahunya kuat-kuat.
“Ikut gue,” ujar seorang pria tinggi dan kurus. Doni mengenali wajahnya, salah satu anak buah Leo.
“Mau ke mana, Bang?” tanya Doni mencoba santai, meski jantungnya mulai berpacu.
Tidak ada jawaban. Sebuah mobil van hitam berhenti mendadak di depan mereka. Dua orang lain turun dan menarik Doni masuk. Pintu langsung dibanting dari luar.
“Bang, mau dibawa ke mana gue?” suara Doni bergetar, sengaja ia buat terdengar takut.
“Berisik, bego,” bentak salah satu lelaki. Lakban langsung menutup mulut Doni.
Di dalam mobil, percakapan para lelaki terdengar jelas di telinganya.
“Heran gue, masih ada juga orang yang cari mati sama Bos Leo.”
“Iyalah. Setelah Riko mampus, cuma Leo yang paling disegani.”
“Benar. Sampai sekarang gue tetap penasaran siapa yang bunuh Riko sebenarnya.”
“Gue juga nggak tahu. Semua orang nuduh kita, padahal waktu kejadian kita lagi liburan di Bali,” ujar pria kurus itu.
Doni menahan napas, mencerna setiap kata.
“Berarti Leo tidak ada di lokasi kejadian. Bali terlalu jauh buat dia kembali cepat-cepat. Kalau bukan Leo… kemungkinan hanya Saras,” pikir Doni,
Sampailah mobil disebuah gedung tua di pinggiran kota
Doni di seret masuk ke dalam gudang tua terlihat seram
Bau lembab menguar menambah ketegangan
“Gila, anak SMA punya markas seperti ini,” pikir Doni, matanya menyapu ruangan luas yang penuh coretan dinding dan lampu redup. Dari lorong sempit, puluhan remaja keluar sambil membawa kayu dan pentungan. Suara langkah mereka menggema, membuat napas Doni tercekat.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar muncul paling depan. Auranya mengintimidasi, tatapannya menusuk seperti ingin melempar Doni ke tanah hanya dengan pandangan.
“Gue sudah peringatkan lu, tapi lu masih saja deketin Saras,” ujar Leo dingin.
Doni hanya bisa menatap balik, lakban di mulutnya membuat ia mustahil bicara.
“Kenapa lu deketin Saras terus!” bentak Leo, suaranya menggema di seluruh markas.
Doni menggeleng cepat, mencoba memberi isyarat.
“Oh, iya, gue lupa,” gumam Leo sinis. Ia memberi kode dengan dagu, membuat dua anak buahnya segera merobek lakban di mulut Doni.
“Gue nggak deketin Saras. Dia yang terus nyamperin gue,” jelas Doni terburu-buru.
“Brengsek!” Leo mendesis marah. “Saras cuma milik gue! Riko aja gue habisin, apalagi lu, cuma murid baru!”
Doni mengerutkan kening. “Tadi anak buah lo bilang pas Riko mati kalian lagi di Bali. Sekarang lo ngaku bunuh dia?” pikir Doni dalam hati, mulai merasa ada yang janggal. Potongan-potongan informasi itu tidak cocok satu sama lain.
Ia merenung keras, mencoba menyusun teka-teki yang semakin rumit.
Tiba-tiba “plak!” sebuah pentungan mendarat di kepala Doni.
“Argh!” Doni memaki, merasakan panas menjalar. “Bajingan, kenapa mukul gue!”
“Brengsek lu! Dari tadi gue nanya malah diem!” Leo kembali mengaum marah.
Doni meludah ke samping, darah mengalir dari sudut bibirnya.
Leo melangkah maju dan mengangkat pipa besi, siap memukul.
Namun sebelum pipa itu turun, Doni menendang tanah, memutar badan, dan “bugh!” pukulan keras mendarat tepat di rahang Leo. Suara retakan kecil terdengar. Beberapa gigi Leo terlempar ke lantai.
“Brukh!” tubuh Leo terjatuh, ambruk seketika hanya dengan satu kali pukulan Doni.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh