SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam, Pertemuan, dan Pertentangan Iman
🛏️ Malam yang Tenang di Senja Indah
Pukul delapan malam. Malam telah menyelimuti Panti Jompo "Senja Indah," mengganti tawa siang hari dengan keheningan yang damai. Lampu-lampu kuning redup di koridor memancarkan ketenangan.
Sinta menyelesaikan tugasnya yang paling akhir: mengantar para lansia ke kamar mereka masing-masing dan memastikan mereka tidur nyenyak.
Ia membacakan doa tidur untuk Nenek Lasmi yang tersenyum tanpa mengerti. Ia menyalakan lampu tidur kecil di kamar Kakek Slamet, yang terakhir kali merajuk, “Jangan tinggalkan aku sendiri, Sinta! Aku masih mau ngobrol!” yang hanya dijawab Sinta dengan ciuman kecil di dahinya.
Sinta merasakan kepuasan batin yang mendalam. Di sini, ia adalah penjaga kedamaian dan penentu batas antara hari dan malam.
Saat ia berjalan kembali menuju pos perawat, ia melihat Suster Maria (rekan kerja yang pendiam dan taat) berdiri menunggu, ekspresinya terlihat agak ragu.
“Sinta,” panggil Suster Maria pelan. “Ada yang mencarimu di ruang tamu depan. Adikmu datang.”
Sinta mengerutkan kening. Adik? Adil sedang di luar kota. Tapi begitu melihat Suster Maria menunjuk ke arah pintu kaca, ia langsung mengerti.
Di sana, duduk di sofa tamu yang besar, adalah Alim.
🤝 Alim dan Tatapan Misterius Sinta
Alim (28), tampak berbeda dari Sinta. Meskipun seumuran, ia terlihat lebih serius, bahkan sedikit tegang. Wajahnya yang dulunya polos kini dihiasi garis-garis kerutan karena sering berpikir. Di sampingnya, duduk seorang pria paruh baya, mengenakan gamis putih bersih dan kopiah, membawa aura ketenangan dan otoritas rohani—seorang Ustaz.
Sinta berjalan tenang menuju mereka. Ia membiarkan kedamaian dari rutinitasnya menenangkan gejolak ingatan yang tiba-tiba muncul saat melihat Alim.
“Alim,” sapa Sinta, nadanya netral, tidak terlalu hangat.
Alim berdiri, memeluk Sinta sebentar. “Sinta. Syukurlah kamu baik-baik saja.”
“Aku selalu baik-baik saja di sini. Ada apa malam-malam begini? Dan... siapa ini?” Sinta mengalihkan pandangan tajamnya ke arah Ustaz.
Alim menjelaskan, “Ini Ustaz Fikri. Beliau adalah... tempatku belajar saat ini. Aku mengajaknya kemari karena kita sudah lama tidak bicara serius, Sin. Terutama soal... iman.”
Ustaz Fikri tersenyum ramah dan mengulurkan tangan. “Saya Fikri, Nak. Saya dengar kamu adalah perawat teladan di sini. Sungguh mulia pekerjaanmu.”
Sinta menyambut jabatan tangan itu. Wajah Sinta cukup tenang, namun tatapan matanya menjadi misterius. Ketenangan itu adalah lapisan es yang menutupi api yang membara. Ia mengundang mereka duduk kembali.
“Terima kasih, Ustaz. Saya hanya melakukan yang terbaik untuk mereka yang sudah di penghujung hidupnya,” jawab Sinta, suaranya terdengar dingin dan lugas. “Jadi, kalian datang untuk membicarakan agama di panti jompo? Bukankah ini waktu istirahat?”
Alim menunduk. Ia tahu Sinta akan bersikap defensif.
⚔️ Perdebatan tentang Alam Kubur
Ustaz Fikri, dengan lembut dan penuh kesabaran, mencoba memulai percakapan.
“Nak Sinta, Alim bercerita tentang kehebatanmu. Tapi Alim juga khawatir. Setelah semua yang kalian lalui di masa lalu, Alim melihat kamu menjadi... sangat skeptis. Kami hanya ingin berbagi. Tentang harapan, tentang kehidupan setelah kematian...”
Sinta bersandar di kursinya, tatapannya tak berkedip, menusuk mata Ustaz Fikri.
“Kehidupan setelah kematian, Ustaz? Di sini, saya melihatnya setiap hari. Bagi kami, kehidupan setelah kematian adalah kenangan yang ditinggalkan para lansia di hati kami. Itu saja.”
Alim mengangkat kepalanya. “Sinta, jangan begitu. Ustaz Fikri akan menjelaskan tentang Alam Kubur. Bahwa hidup ini ada pertanggungjawaban. Ada kenikmatan atau siksa kubur, tergantung amal kita—”
Sinta tertawa. Tawa yang kering, pendek, dan penuh sarkasme.
“Siksa kubur?” Sinta memotong perkataan Alim dengan nada menantang yang tajam. “Saya menantang, Ustaz. Siksa kubur itu tidak ada. Dan itu hanya permainan agama saja!”
Keheningan seketika menyelimuti ruang tamu. Suster Maria yang masih mengintip dari balik koridor langsung menarik diri, terkejut dengan nada bicara Sinta.
Ustaz Fikri terkejut, namun ia berhasil menjaga ketenangannya. “Mengapa kamu berpendapat begitu, Nak Sinta? Keyakinan itu adalah pondasi iman kami.”
Sinta maju ke depan, mencondongkan tubuhnya ke arah Ustaz Fikri, suaranya berbisik namun penuh tekanan.
“Saya pernah hidup di tempat yang katanya dibangun atas nama iman. Di sana, yang ada hanyalah siksa. Kami hidup dalam ketakutan, kelaparan, dan kepalsuan. Kami melihat orang dewasa yang seharusnya melindungi kami, malah menyiksa kami, atas nama Tuhan yang mereka klaim. Ustaz, Tuhan saya tidak menyiksa anak-anak.”
Ia berhenti sejenak, mengumpulkan semua kepahitan masa lalunya dalam satu kalimat.
“Jika ada siksa yang lebih mengerikan dari siksa kubur, itu adalah siksa di dunia yang diciptakan oleh manusia-manusia beragama yang munafik. Tuhan yang adil tidak akan menyiksa lagi orang yang sudah disiksa di dunia. Itu hanya taktik untuk membuat orang patuh, agar mereka membayar dan takut. Itu hanya permainan agama untuk mempertahankan kekuasaan!”
Alim yang masih punya iman hanya menunduk. Ia tidak berani menatap mata Sinta atau Ustaz Fikri. Ia merasa malu dan sedih. Sinta, yang ia kenal sebagai kakak yang berani dan penyayang, kini telah kehilangan semua pegangan spiritualnya. Pengalaman di Nini telah meracuni keyakinannya.
Ustaz Fikri mendesah pelan. Ia mengerti bahwa Sinta berbicara dari luka yang dalam, bukan dari kebencian.
“Nak Sinta,” kata Ustaz Fikri, suaranya tetap lembut. “Apa yang kalian lalui di masa lalu itu bukanlah cerminan dari agama yang sesungguhnya. Itu adalah penyalahgunaan oleh orang-orang jahat. Agama yang benar mengajarkan kasih sayang, bukan kekerasan. Justru karena ada siksa kubur, ada janji hari perhitungan, kita menjadi waspada agar tidak menjadi seperti orang-orang munafik yang menyiksamu dulu.”
“Lalu kenapa Tuhan membiarkan kami disiksa di sana, Ustaz?” Sinta menantang balik, air mata menggenang di matanya, namun tidak ia biarkan jatuh. “Kenapa kami harus lari lewat terowongan gelap itu untuk mencari keadilan? Kenapa keadilan tidak datang langsung dari langit?”
Ustaz Fikri terdiam. Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab oleh akal manusia.
“Kita mungkin tidak mengerti semua rencana Tuhan, Nak. Tapi...”
“Cukup, Ustaz,” potong Sinta, berdiri tegak. Semua ketenangannya hilang, digantikan oleh otoritas seorang wanita yang telah memutuskan jalannya sendiri.
“Saya harus kembali bekerja. Sudah waktunya para lansia ini tidur nyenyak, tidak perlu memikirkan siksa yang menunggu mereka. Mereka sudah terlalu lelah dengan dunia ini.”
Sinta memandang Alim. “Alim, urusan kita selesai. Sekarang, tolong suruh Ustaz itu keluar. Aku butuh ketenangan malam.”
Alim mengangkat wajahnya, terkejut dengan nada perintah itu. Ia mengangguk lemah, tidak berani membantah.
Alim berdiri, membungkuk kepada Ustaz Fikri dengan wajah penuh penyesalan. “Maafkan Sinta, Ustaz. Dia hanya... terluka.”
Ustaz Fikri mengangguk, memahami situasi. Ia menatap Sinta, tatapannya lembut dan penuh doa, bukan marah. “Saya doakan kamu menemukan kedamaian yang sejati, Nak Sinta.”
Sinta tidak menjawab. Ia hanya berdiri mematung, menunggu hingga kedua pria itu berjalan menuju pintu keluar.
Ustaz Fikri dan Alim pergi.
Sinta menarik napas dalam-dalam, menghembuskan semua kemarahan dan luka masa lalunya yang sempat terlepas. Lalu, tanpa membuang waktu, Sinta langsung pergi masuk ke kamarnya dan tidur.
Ia tidur dengan hati yang keras, tetapi dengan tekad untuk terus memberikan kebaikan di dunia nyata ini, dunia yang dapat ia lihat dan sentuh. Ia menemukan imannya di senyum para lansia, bukan di janji-janji surga atau ancaman neraka.