Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# **BAB 33: Perjalanan ke Berbagai Tempat Mistis**
**
---
Dua minggu.
Dua minggu mereka keliling kemana-mana—nyari siapa aja yang mungkin bisa bantuin.
Tempat pertama—gua. Gua Srandil—konon katanya ada jin baik yang tinggal di sana. Gua gelap—lembab—bau tanah campur bau nggak jelas lainnya—bikin mual. Arsyan nyaris pingsan pas jalan masuk—kepalanya bentur dinding batu—bunyi "duk" tumpul—Bhaskara nahan cepet.
"Gas, lo oke?"
"Iya... iya gue oke..." tapi suaranya nggak oke—gemetar—napasnya pendek-pendek.
Di dalam gua—mereka ketemu orang tua—entah dukun atau apa—rambutnya gimbal—gigi ompong—bau badan menyengat.
"Kalian... cari apa?" suaranya kayak kayu digesek.
"Kami... kami mau minta tolong. Suami saya dikutuk—"
Orang tua itu natap Arsyan—lama—terus natap Wulan—mata menyipit.
"Kamu... jin."
"Iya."
"Dia dikutuk sama kerajaanmu?"
"Iya."
Orang tua itu ketawa—ketawa serak yang bikin bulu kuduk berdiri. "Aku nggak bisa bantuin. Ini... ini di luar kemampuanku. Pulang. Jangan buang-buang waktu."
Mereka pulang dengan tangan kosong.
Tempat kedua—makam keramat. Makam Mbah Joyo—katanya bisa minta pertolongan roh di sana. Arsyan shalat dua rakaat—berdoa panjang—nangis di sajadah—minta keajaiban.
Tapi nggak ada apa-apa. Cuma hening. Cuma angin. Cuma... kosong.
Tempat ketiga—hutan angker. Hutan Kembang—pohon-pohon tinggi—gelap meskipun siang—suara burung aneh—kayak tawa.
Di tengah hutan ada punden—batu besar kayak altar. Ada sesajen—bunga, kemenyan, pisang—udah busuk.
Dzaki nggak mau masuk. "Mas, ini... ini tempat syirik. Aku nggak bisa masuk—"
"Lo tunggu di luar aja, Zak. Gue... gue harus coba semua cara." Arsyan jalan masuk—disangga Bhaskara—Wulan ikut di belakang.
Di punden itu—mereka ketemu... sesuatu.
Sesuatu yang nggak punya wujud jelas—kayak asap—tapi bergerak—punya mata—mata merah menyala.
Wulan langsung maju—berdiri di depan Arsyan. "Jangan... jangan sakiti dia..."
Asap itu bicara—suara bergema—banyak suara jadi satu. **"Jin putih... kenapa kamu di sini?"**
"Aku... aku minta tolong. Suamiku dikutuk—"
**"Aku tau. Kutukan Ratu Kirana. Kuat. Terlalu kuat untuk disentuh."**
"Tapi—"
**"Tidak ada yang bisa cabut kecuali dia sendiri. Pergi. Jangan ganggu aku lagi."**
Asap itu lenyap—hilang begitu saja—ninggalin mereka bertiga di tengah hutan—dipeluk kegelapan.
Tempat keempat—paranormal. Paranormal terkenal di kota—rumahnya mewah—AC dingin—beda banget sama dukun-dukun sebelumnya.
Paranormal itu—cewek—muda—cantik—pakaian modern—tapi matanya... aneh. Mata yang bisa liat lebih dari yang keliatan.
Dia pegang tangan Arsyan—dingin—tangannya kayak es—mata menutup—bergetar sebentar.
"Kamu..." bisiknya pelan. "...kamu hampir mati."
Arsyan udah tau. Tapi tetep—denger itu—tetep sakit.
"Bisa... bisa ditolong?"
Paranormal itu buka mata—natap Wulan—lalu geleng pelan. "Kutukan dari kerajaan jin tertinggi. Aku... aku cuma manusia. Aku nggak bisa."
"Tapi pasti ada cara—"
"Tidak ada. Hanya Ratu Kirana. Atau... istrimu pulang. Itu satu-satunya."
Mereka pulang lagi. Tangan kosong. Lagi.
Dan hari demi hari—Arsyan makin kurus.
Nggak cuma kurus—tapi... kering. Kayak mayat hidup.
Kulitnya mulai kendur. Tulang pipi makin menonjol. Mata makin celong—kayak lubang. Bibir pecah-pecah—berdarah di beberapa bagian. Rambut rontok makin banyak—bantal penuh rambut tiap pagi.
Beratnya—dari 50 kg jadi 45 kg—sekarang... 40 kg.
Empat puluh kilogram.
Dia kayak anak SD yang belum puber.
Bajunya kegedean semua. Celana melorot terus—harus pakai tali pinggang dililit dua kali. Tangan kayak ranting kering—urat-urat keliatan jelas—tulang-tulang menonjol.
Dan Wulan... Wulan liat itu semua.
Setiap hari. Setiap detik.
Liat suaminya—orang yang dia cintai—perlahan mati di depan matanya.
Malemnya—setelah Arsyan tidur—Wulan duduk di dapur—sendirian—nangis diam-diam.
Tangan ngelus perutnya yang mulai membesar sedikit. Hamil tiga bulan sekarang.
"Anakku..." bisiknya pelan—air matanya jatuh ke tangan. "Maafin Ibu... Ayahmu... Ayahmu sekarat... dan Ibu... Ibu nggak bisa berbuat apa-apa..."
Dia nangis lebih keras—tapi tutup mulut—biar Arsyan nggak denger.
*Kenapa semua orang bilang hal yang sama? Kenapa nggak ada yang bisa bantuin? Kenapa... kenapa cuma Ibunda yang bisa cabut kutukan?*
*Tapi Ibunda... Ibunda nggak akan mau. Dia... dia keras. Dia nggak akan—*
Tiba-tiba—ada suara di belakang.
"Wulan..."
Wulan langsung lap air mata—berdiri cepat—noleh.
Arsyan berdiri di pintu dapur—baju tidur kegedean—rambut acak-acakan—mata capek.
"Mas... kenapa bangun? Tidur lagi—"
"Lo nangis."
"Nggak... aku nggak—"
"Wulan." Arsyan jalan pelan—setiap langkah kayak butuh usaha ekstra. "Aku denger. Dari tadi."
Wulan nangis lagi—nggak bisa tahan.
Arsyan peluk dia—peluk lemah—tenaga udah nggak ada—tapi dia peluk.
"Maafin aku..." bisik Arsyan di telinga Wulan. "Maafin aku udah bikin lo... bikin lo susah..."
"Bukan Mas yang salah—"
"Aku tau. Tapi... tapi tetep... aku menyesal. Menyesal udah... udah nggak bisa bikin lo bahagia."
Wulan peluk Arsyan balik—erat—takut dia bakal ilang.
"Mas udah bikin aku bahagia. Mas... Mas adalah kebahagiaan aku. Satu-satunya."
Mereka berdua berdiri di dapur—pelukan—diterangi lampu 5 watt yang redup—dipeluk hening malam yang mencekik.
Dan di luar—bulan purnama bersinar dingin—menerangi dunia yang... nggak adil.