"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ellisa tersentak
Ellisa menoleh, kaget setengah mati. Ia buru-buru melepaskan Elmira dari pelukannya dan berdiri. "Nona Alana?"
Tapi Alana sudah keburu heboh, terus menunjuk Elmira dengan wajah bingung sekaligus marah. "Elo serius?! Elo nyusuin dia?!"
Ellisa, yang mulai panik, dengan sigap menarik tangan Alana keluar kamar, memastikan suara mereka tidak membangunkan Elmira.
"Bisakah kamu lebih tenang dan nggak teriak-teriak?" kata Ellisa tegas begitu mereka keluar kamar.
"Eh, lo siapa gue?! Jangan ngatur-ngatur!" bentak Alana, "Jelasin ke gue, kenapa lo nyusuin Elmira?!"
Ellisa menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku... aku memang bisa menyusuinya. Itu untuk kebaikan Elmira," jawabnya pelan.
Mata Alana menyipit curiga. "Jangan-jangan lo mau ngerebut Elmira dan ngambil harta Kak Sam juga, ya?"
"Apa?" Ellisa terkejut. "Aku nggak punya niat jelek seperti itu. Jangan asal tuduh!"
Alana mendengus, melipat tangannya dengan sinis. "Jangan sok polos lo! Gue nggak percaya sama lo. Pergi sana dari rumah Kak Sam!"
"Aku nggak bisa pergi. Aku di sini untuk Elmira!" balas Ellisa meskipun suaranya bergetar.
Ellisa tidak sempat menghindar. Dorongan kuat dari Alana membuatnya jatuh terduduk di lantai, kedua tangannya menahan tubuh agar tidak terjerembab sepenuhnya.
Alana berdiri di atasnya, menatapnya dengan angkuh dan penuh penghinaan. "Lo pikir siapa lo? Datang ke rumah Kak Sam, main nyusuin Elmira seolah-olah lo ibunya! Gila ya, lo!"
Alana yang memakai seragam SMA itu, mengingatkan pada sesuatu. Sebuah pintu memori terbuka di dalam benak Ellisa, membuatnya seolah-olah kembali ke masa lalu.
Seketika tubuhnya gemetar hebat. Napasnya memburu. Matanya melebar saat bayangan masa lalu menyeruak dengan kejamnya.
Alana, mengingatkannya pada seseorang. Dulu, di bangku kelas 1 SMA dia pernah mengalami ini.
Sorakan dan ejekan teman-temannya. Tatapan penuh jijik yang menusuk ke dalam hatinya. Tawa menghina yang terus berulang di telinganya.
"Lo itu aneh!"
"Kok bisa sih jadi orang kayak lo? Menyedihkan banget!"
"Jangan dekat-dekat gue! Gue jijik!"
Ellisa mengerjapkan mata, berusaha kembali ke realitas. Tapi suara Alana menyeretnya kembali.
"Sumpah ya, gue gak percaya sama elo!" seru Alana dengan nada jijik. "Ih! Geli banget elo bisa nyusuin bayi. Lo itu siapa sih, hah?! Emang lo siapa buat Elmira?!"
Ellisa semakin gemetar. Dia merasakan napasnya tersendat, jantungnya berdegup tidak karuan. Alana tidak peduli. Dia terus menatapnya penuh penghinaan, seakan-akan Ellisa adalah sesuatu yang kotor.
Sama seperti dulu.
Sama seperti yang pernah mereka lakukan padanya.
Dada Ellisa terasa sesak. Bayangan masa lalu menekan dirinya tanpa ampun. Dia ingin berbicara, ingin membela diri, tetapi suaranya seperti tersangkut di tenggorokan.
Ketakutan itu kembali. Luka lama itu seolah-olah kembali menganga. Tangan Ellisa mengepal di lantai, kukunya menekan permukaan kerasnya, mencoba mencari pegangan di tengah gemuruh emosinya.
"Aku... aku kenapa?"
Ellisa benar-benar bingung. Dia tidak ingat pernah mengalami perundungan. Tapi mengapa memori itu tiba-tiba muncul?
Pintu ingatannya seolah terbuka paksa setiap kali Alana menghina dan merendahkannya.
Tatapannya kembali ke wajah Alana, tetapi yang ia lihat bukanlah gadis itu. Yang tampak di hadapannya adalah kepingan masa lalu yang semakin nyata.
"Elo pasti suka main sama om-om, ya? Makanya jadi aneh gini, Lisa!" suara penuh ejekan menggema dalam pikirannya.
"Ih, masa gadis sekolah udah bisa punya ASI? Jijik banget!"
Ellisa menatap mereka, wajahnya memucat. "Enggak... aku nggak seperti itu!" katanya dengan suara bergetar.
Tapi mereka hanya tertawa, mengabaikan pembelaannya.
"Keluar aja lo dari sekolah ini!"
Dan saat itu juga, suara lain bergema, menyatu dengan suara masa lalunya.
"Keluar aja lo dari rumah ini! Lo nggak pantas tinggal di sini!"
Itu suara Alana.
Ellisa tersentak. Napasnya tercekat. "Seseorang... tolong aku..." batinnya merintih, seolah meminta seseorang menariknya dari pusaran memori kelam ini.
"Buka topeng lo! Jangan-jangan lo cuma penipu!" bentak Alana sambil meraih wajah Ellisa dengan kasar.
Ellisa, yang masih terguncang segera menangkap tangan Alana dengan kedua tangannya. Jemarinya gemetar, cengkeramannya lemah. Matanya terlihat sembab, meski tak ada air mata yang jatuh.
Dengan suara lirih dan penuh kepasrahan, dia berbisik, "Aku... aku akan pergi."
Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir Alana. "Nah, gitu kan bagus," ujarnya sinis.
Saat suasana masih memanas, seorang asisten rumah tangga bernama Bobo mendekati mereka.
Tubuhnya tegap, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya.
"Nona Alana!" kata Bobo dengan nada tegas, "saya akan laporkan keributan ini ke Bos Sam jika Nona terus membuat masalah di rumah."
Alana menatap Bobo dengan tajam. "Gue nggak takut sama lo, Bo!" balasnya santai, bibirnya mengejek.
Bobo menaikkan alis, tidak terpengaruh oleh ancaman itu. "Kalau begitu, saya bisa rekam tindakan Nona dan sebar videonya ke teman-teman Nona. Saya yakin mereka akan suka menontonnya," katanya sambil mengeluarkan ponselnya.
Mendengar itu, Alana tertegun. "Elo itu kenapa sih, Bo?! Ganggu gue aja!" serunya kesal, menghentakkan kaki ke lantai.
Bobo tetap tenang, bahkan menunjukkan sedikit senyuman. "Tugas saya memastikan rumah ini tetap tenang, Nona. Saya hanya melakukan pekerjaan saya."
Alana akhirnya menyerah, mengembuskan napas panjang dengan penuh kekesalan. "Cih! Sebel banget gue sama kalian!" ujarnya, lalu berjalan menuju sofa, membanting tubuhnya dengan keras.
Bobo memandang Ellisa dengan rasa cemas, "Nona Ellisa, Anda baik-baik saja?"
Ellisa hanya bisa menggeleng.
"Nona Ellisa, kalau Nona butuh bantuan, jangan ragu untuk memanggil saya," ucap Bobo.
"Terima kasih," jawab Ellisa.
"Kalo Nona Alana menganggu lagi, ancam saja seperti yang saya lakukan tadi. Dia pasti langsung nyerah," tutur Bobo singkat sebelum kembali melanjutkan tugasnya.
Ellisa menggenggam tangannya di dada, mencoba menenangkan diri. "Aku nggak papa... aku nggak papa..." bisiknya berulang kali, seakan itu satu-satunya mantra yang bisa menahannya agar tidak runtuh.
Tapi kebenarannya, ia tidak tahu. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Kenapa ia begitu ketakutan? Kenapa memori-memori itu datang? Kenapa tubuhnya bereaksi seolah melawan sesuatu yang bahkan tidak bisa ia ingat?
Di balik semua itu, ada seseorang yang terlibat.
Orang tuanya.
Mereka menyadari perubahan drastis itu. Saat Ellisa duduk di bangku kelas 1 SMA, perubahan besar terjadi dalam hidupnya.
Ellisa tidak mengerti. Itu seharusnya tidak mungkin terjadi pada anak seusianya. Tapi tubuhnya berkata lain. Dan perubahan itu datang bersamaan dengan rasa sakit yang luar biasa.
Awalnya, ia mencoba menyembunyikannya. Tapi di sekolah, rumor menyebar. Bisikan, ejekan, tatapan aneh—semua itu menghancurkannya sedikit demi sedikit.
"Ellisa itu aneh, jijik!"
Hari demi hari, dia terus diteror dengan hinaan dan cemoohan. Tidak ada tempat aman untuknya, bahkan tidak ada yang bisa benar-benar menjelaskan keanehan itu.
Dan pada akhirnya, solusi terakhir mereka adalah... mengeluarkannya dari sekolah.
"Kamu akan menjadi orang yang sangat bermanfaat di sini, Ellisa," kata ibunya saat mereka membawanya ke panti.
Tempat di mana mereka bisa menyembunyikannya.
Di mana tidak ada yang akan bertanya-tanya lagi tentangnya. Di mana ia bisa "dilupakan."
Tapi Ellisa tidak mengingat semua itu. Semua kenangan itu terkubur jauh di dalam dirinya, terkunci rapat oleh waktu dan kepergian kedua orang tuanya.
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/