Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sinyal bahaya yang tak terucap
Suasana kampus pagi itu ramai seperti biasa. Mahasiswa berlalu-lalang dengan jadwal padat mereka, tapi di balik kebisingan harian itu, ada satu sudut lorong yang terasa lebih hening dari biasanya—lorong menuju ruangan Leo Venturi.
Lia berdiri beberapa meter dari pintu ruang kuliah, menggenggam ponselnya erat-erat. Wajahnya menunduk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar tanpa benar-benar membuka apa pun. Ia baru saja menerima pesan dari Papa—Dario.
> "Kamu sudah buat dia tertarik? Aku tunggu hasilnya. Jangan kecewakan aku, Lia."
Kalimat itu menggema terus dalam pikirannya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengatur napas.
"Berhenti gemetaran kayak gini, Li..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi seseorang dari balik pintu yang belum sepenuhnya tertutup sempat mendengar suara kecil itu.
Leo mendongak dari balik kacamatanya. Dari celah pintu, ia bisa melihat sosok Lia berdiri seperti sedang dilanda gelisah. Bukan sekali ini saja dia melihat Lia dalam keadaan mencurigakan. Beberapa hari terakhir, gadis itu sering terlihat menjauh saat menerima telepon—selalu dalam keadaan tergesa dan penuh tekanan.
Leo merapatkan kembali pintu ruangannya, mencoba menepis rasa penasaran yang diam-diam tumbuh. "Bukan urusanku," bisiknya pada diri sendiri. Tapi ia tahu, hatinya sedang menyangkal sesuatu yang tidak ia pahami.
---
Di dalam kelas, suasana sunyi. Leo berdiri di depan, menjelaskan materi dengan nada yang tetap datar dan tegas. Namun matanya sekali-dua kali melirik ke arah Lia—yang hari ini tampak lebih tenang dari sebelumnya. Tak ada panggilan, tak ada gelisah berlebihan. Tapi justru itulah yang membuat Leo merasa aneh. Seolah, Lia sedang menutupi sesuatu.
Di barisan belakang, beberapa mahasiswi saling berbisik. “Itu dia yang kemarin bikin heboh,” gumam salah satu dari mereka, menoleh ke arah Lia.
“Masih berani masuk kelas, padahal Leo Sensei sempat hampir marah gara-gara si Dinda yang gatel itu...” sahut yang lain.
Lia menunduk, pura-pura tidak mendengar. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Tapi sejak penampilannya berubah, semua mata terasa sulit lepas darinya. Termasuk—yang paling aneh—mata dingin milik Leo.
---
Sepulang kelas, Leo berjalan sendiri melewati taman kecil di belakang kampus. Tempat itu biasa ia datangi untuk menenangkan diri. Namun hari ini, langkahnya terhenti saat melihat sosok familiar duduk di bangku taman, sambil menatap kosong ke layar ponselnya.
"Lagi-lagi dia..." gumam Leo.
Tanpa suara, ia mengamati Lia dari kejauhan. Sesekali ekspresi Lia berubah—seperti menahan tangis, lalu memaksakan senyum, lalu menunduk. Gerak-gerik yang tidak bisa bohong bagi seseorang yang hidup di antara dunia mafia—Leo tahu, itu tanda seseorang sedang dibebani misi atau tekanan besar.
“Apa yang kamu sembunyikan, Lia…” ucapnya dalam hati, sebelum akhirnya melangkah menjauh tanpa sempat disadari Lia.
---
Malam harinya, di asrama, Lia duduk bersandar di dinding kamar, headset masih terpasang di telinganya. Teman sekamarnya, Nadin, sedang sibuk menulis catatan kuliah.
“Nad, kamu nggak pernah ngerasa aneh ngelihat aku?” tanya Lia tiba-tiba, meski suaranya pelan.
Nadin menoleh cepat. “Aneh gimana? Kamu emang sedikit misterius, sih. Tapi aku nggak pernah ngerasa kamu jahat. Malah, kamu tuh pendengar paling sabar yang pernah aku temuin.”
Lia tersenyum tipis. “Kamu juga baik, Nad. Tapi... kadang aku ngerasa bersalah.”
Nadin mendekat, duduk di sisi ranjang Lia. “Kalau kamu mau cerita, aku dengerin. Tapi kalau belum siap, ya nggak apa-apa. Kamu yang paling tahu waktunya.”
Kalimat sederhana itu menghujam. Lia terdiam, nyaris ingin menangis. Tapi ia tahu, satu kata saja bisa membuka semua luka dan rahasia yang tidak seharusnya diketahui siapa pun.
> "Maaf, Nadin... aku nggak bisa."
---
Di sisi lain kota, di balik ruang kantor Dario yang sunyi, pria itu berdiri menatap monitor. Wajahnya tenang, tapi mata tajamnya memperhatikan setiap rekaman dari kampus—termasuk interaksi antara Leo dan Lia.
“Dia mulai mencurigai...” gumam Dario. “Bagus. Biarkan dia tertarik. Biarkan dia penasaran. Dan pada akhirnya... dia akan datang padamu, Lia.”
Ia tertawa pelan, lalu meraih ponselnya.
> “Bersiaplah. Misi berikutnya segera aku kirim.”