Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
karma dibayar nyicil
...Mansion besar keluarga dharmendra. ...
Gerbang besar dari besi tempa terbuka perlahan dengan suara berderit yang bergema. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu utama mansion. Dari dalam, Jeevan keluar lebih dulu, membopong Kian yang masih tertidur pulas, tubuhnya terbalut selimut tebal dan aroma obat-obatan ringan masih melekat di napasnya.
“Selamat datang tuan muda” sambut kepala pelayan utama dengan suara lantang dan penuh hormat, disusul para staf rumah tangga lain yang berdiri berbaris rapi, menundukkan kepala dengan penuh disiplin dan dedikasi.
Bian takjub dibuatnya. Ini baru pertama kalinya setelah ia bekerja selama 5 tahun kebelakang selalu mengikuti jeevan. " Lima tahun... lima tahun gue ngikutin dia, dan baru sekarang semua ini terungkap" batinnya
Darell dan Azel, meski terlihat biasa saja, tidak bisa menyembunyikan kesan nostalgia di wajah mereka. Mereka pernah menginjak tempat ini. Tapi kali ini, mereka kembali dalam situasi yang jauh lebih rumit.
Darell , azel , dan bian segera mengikuti arah kemana jeevan melangkah. Diikuti dengan kepala pelayan yang mengiringi langkah mereka . Sedangkan dikedua tangan jeevan sedang membopong kian yang masih tertidur terbalut selimut tebal.
Kepala pelayan kembali menunduk “ saya sudah membersihkan kamar utama tuan, biarkan saya melayani tamu yang lain untuk beristirahat “
Jeevan mengangguk.
Ia segera menuju lantai 3 melalui lift sedangkan yang lain mengikuti arahan dari kepala pelayan.
Jeevan meletakkan kian dengan sangat hati hati. Suhu badan kian sedikit membaik. Jeevan segera melepaskan seluruh pakaian kian menggantinya dengan yang baru.
Glek!
“Tahan nafsumu. Setan sialan!!. “ jeevan mengumpati dirinya yang tak punya kesopanan atas nafsunya sendiri
“ euuphh..” kian menahan muntahannya.
“ hueekk”
Tanpa aba-aba, Kian memuntahkan isi perutnya… tepat ke dada Jeevan.
Seketika Jeevan terpaku. Cairan muntah itu mengalir pelan menuruni perut dan celananya. Bau asam langsung memenuhi udara.
“…Yah,” gumam Jeevan dengan wajah pasrah. “Inilah balasan atas nafsu sesaat.”
Kian kembali tertidur setelahnya, seperti anak kecil habis rewel. Jeevan tak bisa menahan tawa kecil yang penuh kekesalan campur sayang. Ia berdiri, membuka bajunya yang basah, dan mengambil tisu serta handuk dari lemari.
“Ya ampun, sayang… kalaupun mau muntah, kasih kode dulu kek…” gumamnya sambil mengelap tubuh Kian pelan..
Bahkan kepala pelayan sudah menawarkan diri untuk membantu dan jeevan menolaknya dengan keras. “ jangan berani menyentuh sedikitpun kecuali saya” ancamnya.
Setelah semuanya bersih. Jeevan masuk kedalam kamar mandi untuk mengeluarkan hasratnya. solo player!
“ apa kita nikah sekarang aja ya” gumannya sambil menatap kaca. setengah serius, setengah menertawakan dirinya sendiri
Wajah indahnya itu kembali menatap tajam dirinya yang entah sejak kapan semesum itu .
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian taktisnya, ia kembali ke kamar dan langsung berhenti di ambang pintu.
Kian sudah menggeliat ke kiri dan kanan, selimutnya melorot ke bawah pinggang. Satu sisi pahanya terekspos. Kaki jenjangnya yang putih dan memikat terlihat begitu tenang, tidak sadar sudah membakar emosi seseorang sejak dua puluh menit lalu.
“Astaga… Ini bukan waktu yang tepat buat jantungku kerja lembur,” desis Jeevan sambil menutup pintu dan melangkah cepat keluar kamar.
Ia tiba di halaman belakang mansion. Lapangan rumput luas yang diselimuti kabut tipis, menghadap pada tebing batu yang menjulang. tempat latihan elit keluarga Dharmendra.
“ udah aku siapin bang.” Kata darel semangat. Ia membuka peti kayu panjang, memperlihatkan senapan jarak jauh custom dengan lensa bidik digital dan peluru peredam
Jeevan mengangguk.
“ kamu ajarin si bian” jeevan menatap Azel sedikit lebih serius.
Azel yang baru saja menarik tali sepatunya langsung mendongak, kaget setengah mati. “A-a-aku?!”
Awalnya ia masih ingin mencoba hal baru sambil mengikuti jeevan dan darel. Tapi apa ini? Mengajari bian? Si cewek paling nyebelin yang pernah ia lihat disetiap kenangan buruknya dikantor.
Bayangan-bayangan masa lalu langsung menyerbu pikirannya, hari-hari magang di bawah Bian, disuruh bikin kopi, laporan dadakan, dilempar-lempar tugas remeh, dan pernah disuruh ambil tisu saat Bian patah tumit sepatu di lift.
Bian yang saat itu merasa senior, memperlakukan Azel bukan sebagai rekan kerja, tapi seperti asisten pribadi.
Azel si suruhan. Azel si cadangan. Azel si nggak penting.
Sekarang? Situasi sudah berbalik.
Azel memicingkan mata. “Hoho… kayaknya ini saat yang tepat buat karma cicil tunai. Dengan bunga.”
"Baik, Pak Jeevan!" jawab Azel penuh semangat, mendadak berubah jadi malaikat pembalas dendam berkedok mentor.
Ia menoleh ke Bian, tersenyum penuh “kebaikan” yang sangat mencurigakan. “Ikut gue.”
“Eh? Kita mau kemana?” tanya Bian bingung, masih mengenakan sepatu hak pendek.
“Lepas sepatu lo. Masa mau manjat tebing pake heels? Atau lo mau gue angkut kayak karung?” ucap Azel sinis tapi dengan nada manis penuh sarkasme
Bian yang tidak tahu menahu kalau sedang dikerjai azel hanya mengangguk nurut.
.
.
......................
.
“ abang yakin nyerahin bian ke azel? “ tanya darell was was
Jeevan melirik sekilas ke arah mereka berdua. Bian tampak menurut-nurut sambil merengut, dan Azel sibuk memasang tali harness sambil pura-pura tidak tahu cara membantu.
“ dikit “ jawab jeevan sambil tersenyum
“ astagaaa “ keluh darell yang mengetahui maksud senyuman kakaknya.
Jeevan tahu selama azel bekerja dengan bian .. bian selalu semena mena karena merasa ia senior di kantor. Namun, azel juga tak kalah licik untuk sealu menanggapi perintah bian.
" Biar ada chemistry,” katanya sebelum benar-benar pergi.
“Ceh—chemistry?? Hari gini bahas chemistry?” Darell nyengir lemas.
Di sisi lain, Azel dan Bian sudah berganti pakaian. Azel memberikan perlengkapan panjat yang 3 tingkat lebih rumit dari seharusnya.
“Tarik ini, kait itu, kunci ini. Salah satu salah, lo bisa gelantung di tengah tebing sampai malam.”
Bian mendengus. “Lo ngancem gue?”
Azel tersenyum kecil. “Nggak. Cuma memperingatkan. Karma kadang datang dari ketinggian…”
Dan saat Bian mulai naik, tangan gemetaran tapi tekadnya tinggi, Azel hanya berdiri di bawah sambil bersedekap, menatapnya seperti menatap masa lalu yang sedang digantung di tambang.
Hari ini latihan fisik. Tapi besok? Latihan kepercayaan. Dan setelahnya? Entah siapa yang akan jatuh duluan—ke jurang…
...
......................
.
.
Tiga puluh menit sudah Bian menggantung di tebing, tangannya mulai gemetar, peluh membasahi pelipisnya, dan suara napasnya sudah tidak stabil. "Azel!! Ini tali kenapa makin kenceng sih!!" teriak Bian dari atas.
Azel hanya menatapnya dari bawah dengan ekspresi tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang sedang ‘menolong’.
“Karena lo ngencengin sendiri tadi. Gue udah bilangin cara yang bener, lo nyela. Udah sok pinter, ngegas lagi. " sahut Azel dingin, tangannya bersedekap.
“Lo sengaja ya?! Biar gue jatuh?!”
Azel tertawa pelan, nyaris sinis. “Lo kira gue sejahat itu? Wah, .”
“Azel, turunin gue sekarang juga!!” Bian menjerit, kini wajahnya merah padam antara takut dan marah.
Azel mendekat, menatapnya dari bawah. Sorot matanya penuh luka lama yang mendadak terbuka.
“Dulu lo pernah nyuruh gue ngerangkak ambilin sepatu lo yang jatuh ke got waktu hujan. Inget gak?”
Bian terdiam. Tiba-tiba semua kenangan itu seperti hujan lumpur yang menimpa kepalanya.
“Gue masih magang itu. Lo suruh gue bersihin tas lo yang ketumpahan kopi, padahal itu kopi lo sendiri yang tumpah.”
AZEL!” suara Bian bergetar, bukan cuma karena ketegangan di tubuhnya, tapi juga karena hatinya sendiri yang mulai kacau. Ia tak pernah tahu Azel menyimpan semua itu.
Azel menarik tali perlahan, cukup untuk membuat posisi Bian berubah. tidak stabil.
“Lo mau minta maaf, atau kita nunggu angin gede?”
“AZEL! JANGAN GILA!!”
“Gila? Lo baru liat sisi manis gue, Bian. Tapi gue gak bakal jatuhin lo…”
Azel menarik nafas panjang. Pandangannya perlahan melembut.
“…karena kalau lo jatuh sekarang, kita gak bakal bisa selesain semua yang masih nyangkut. Termasuk dendam, dan... rasa penasaran gue.”
Dengan cekatan, Azel menarik tali ke arah tebing, mengatur posisi Bian supaya bisa menjejak batu dengan aman.
Beberapa menit kemudian, Bian tiba di bawah. Lututnya gemetar, tapi sorot matanya membara. Ia langsung mendorong bahu Azel.
“Lo sinting!”
“Lo yang ngajarin,” jawab Azel ringan.
Hening. Tapi mata mereka saling bertubrukan. Tak ada yang bicara.
.
.
.
...****************...