NovelToon NovelToon
2 Suami

2 Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cerai / Beda Usia / Angst
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Marahnya Inaya

Inaya menatap suaminya yang masih dalam posisi sama dengan perasaan campur aduk. Inaya mengetik di aplikasi pencarian, bagaimana membangunkan orang mabuk. Setelah mendapatkannya, ia menyiapkan air putih di gelas dan mengambil masker untuk menutupi hidungnya.

Ia mulai melepaskan jaket yang dikenakan suaminya dan menggoyangkan lengannya dengan memanggil nama Weko. Tidak ada respon, Inaya menepuk-nepuk kedua pipi suaminya dengan tetap memanggil Namanya.

“Uhh..” Weko melenguh dan perlahan membuka matanya.

“Sudah bangun?” tanya Inaya seraya mengambil gelas minum dan menyerahkannya kepada Weko.

Weko menerimanya dan perlahan menegakkan tubuhnya. Setelah menenggak semua air yang ada di gelas, dirinya merasakan kepalanya berdenyut.

“Maaf.” Kata itu yang pertama kali diucapkan Weko.

Ia ingat dirinya menenggak minuman yang sudah lama ia tinggalkan demi Inaya. Ia menyesal telah tertutupi amarah hingga membuatnya kembali menenggak minuman tersebut.

“Mandilah, Mas. Aku akan membuatkanmu makan siang.” Kata Inaya yang meninggalkan Weko untuk mengambil pakaian suaminya.

Ia meletakkan pakaian ganti di hadapan Weko dan pergi ke dapur tanpa sepatah katapun. Weko tahu istrinya sedang marah, sehingga ia menurut pergi ke kamar mandi.

Selesai mandi, Weko tidak berani buka suara. Ia hanya bisa menunggu istrinya di ruang Tengah sambil memperhatikan Gerakan Inaya yang sedang memasak.

Setengah jam kemudian, Inaya menyajikan nasi beserta sop ayam di meja ruang Tengah. Weko merasa semakin bersalah karena Inaya tidak ada mengatakan apapun dan hanya bolak-balik menyajikan makanan.

“Adek yang bawa Mas pulang?” tanya Weko dengan hati-hati.

“Tidak.”

“Apa aku pulang sendiri?”

“Tidak.”

“Lalu, apa ada yang mengantarkan aku pulang?”

Tring!

Inaya meletakkan cangkir dan lepek dengan kesal di depan Weko hingga isi di dalamnya tumpah, membuat Weko reflek mengambil tisu untuk membersihkannya. Jantungnya berdetak kencang saat ini.

Ini adalah kali pertama Inaya marah. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapinya, sehingga ia hanya memilih diam.

“Sepertinya kamu masih mabuk. Minumlah dan segera habiskan makanannya!” kata Inaya yang masuk ke dalam kamar.

Tanpa mengulur waktu, Weko melakukan apa yang Inaya perintahkan dan menyimpan bekas makan dan minumnya ke dapur. Lalu menyusul Inaya ke kamar. Tetapi yang ia dapati justru Inaya yang terlelap.

“Kalau kamu marah, katakan saja! Kenapa kamu hanya diam dan tetap memperhatikan aku? Aku jadi merasa serba salah.” Kata Weko sambil merapikan anak rambut istrinya.

Saat akan menyusul Inaya tidur, ponselnya berdering dan Weko mencari dimana ponselnya yang ternyata ada di tas sang istri. Ia mengangkat panggilan dari Giga.

“Ada masalah apa kamu dengan istrimu?”

“Masalah apa?” tanya Weko tidak mengerti.

“Kamu sedang ramai dibicarakan di warung ungu!”

“Kenapa memangnya?”

“Kamu dicampakkan istrimu sampai mabuk di sini!”

“Apa?” Weko menutup mulutnya, dan menengokke kamar.

Ia melihat Inaya masih terlelap. Ia memutuskan untuk keluar rumah untuk melanjutkan obrolannya dengan Giga.

“Kenapa juga kamu mabuk di sana? Kalau bukan Riki dan istrimu yang menjemputmu, bisa-bisa kamu ditinggalkan Inaya pergi ke rumah orang tuanya!”

“Jangan sembarangan! Ceritakan dengan jelas!”

Giga menceritakan apa yang ia dengar dari temannya yang ada di lokasi saat Inaya dan Riki menjemput Weko. Ia juga mengatakan apa yang didengar sebelum keduanya datang. Mereka menganggap Weko sedang ada masalah dengan Inaya sehingga melampiaskannya dengan minum sampai mabuk.

“Kamu sudah lama tidak minum, makanya hanya satu botol saja sudah tumbang!” ejek Giga.

“Tutup mulutmu!” kata Weko yang mengakhiri panggilan sepihak.

Ia mengacak rambutnya dengan kasar. Pantas saja istrinya marah. Tidak hanya karena dirinya mabuk, tetapi juga karena perkataan orang-orang yang memfitnahnya. Segera ia masuk ke dalam rumah dan menemukan Inaya sedang minum air di ruang Tengah.

“Maafkan aku, Dek!” Inaya hanya diam.

“Aku sudah lama tidak meminumnya. Aku meminumnya karena perasaanku sedang kesal.”

“Lalu, setiap kali kamu merasa kesal kamu akan ke sana sampai mabuk, Mas?” tanya Inaya dengan nada sarkas.

“Bukan seperti itu! Maafkan aku, kumohon..”

“Katakan, kenapa kamu memilih mabuk daripada datang menceritakannya kepadaku!”

Weko dengan berat hati mengatakan apa yang membuatnya merasa kesal. Inaya mendengarkan dengan tetap bungkam.

Ia sudah tahu mengapa sikap ibu mertuanya terkesan dingin kepadanya. Ia juga sudah menebak, apa yang membuat sikap beliau seperti itu. Tetapi ia tidak menyangka jika sang ibu mertua meragukan kehamilannya dan bahkan mengira dirinya hamil di luar nikah.

Bagaimana ia harus menyikapinya? Walaupun sejak awal Weko membelanya, Inaya tetaplah menjadi orang yang disalahkan dalam pernikahan ini. Apalagi tidak hanya ibu mertuanya, tetapi juga Nenek Weko yang juga bersikap dingin kepadanya.

“Aku sudah mengatakan kepada Ibu kalau kamu hamil anakku dan kehamilanmu dimulai dari sejak kita menikah. Beliau mungkin akan menerimanya.”

“Kamu saja tidak yakin, bagaimana aku bisa percaya, Mas?”

“Berikan aku waktu sendiri. Aku sedang tidak ingin membahasnya. Dan satu lagi. Aku masih belum memaafkanmu yang mabuk!” imbuh Inaya.

“Dek..” Weko memegang lengan Inaya.

“Huekk..”

Inaya berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Weko mengikutinya dengan mengusap lembut punggung istrinya.

“Jangan sentuh aku!” Inaya menepis tangan Weko.

Weko mundur dan hanya bisa melihat Inaya yang masih muntah. Setelah tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan, Inaya membersihkan mulutnya dan masuk ke kamar. Ia menyandarkan kepalanya di kepala tempat tidur.

“Kamu belum makan. Aku ambilkan makan ya?” Inaya menggeleng.

“Apa aku buatkan susu?”

“Aku hanya mau tidur, Mas.” Weko membantu Inaya merebahkan tubuhnya.

Tak butuh waktu lama, Inaya memejamkan matanya dan terdengar nafas teratur. Weko duduk bertumpu lulut di samping Inaya. Ia mengusap pipi istrinya dengan lembut dan berbisik kepada janin yang ada dalam kandungan Inaya, agar tidak menyusahkan sang ibu.

2 hari berlalu, Inaya tetap menyediakan semua kebutuhan Weko dan memasak secara rutin. Yang berbeda hanyalah sikap Inaya yang dingin dan lebih banyak diam mengabaikan Weko.

Bahkan saat antar jemput bekerja, Inaya hanya mencium punggung tangan Weko dan mengucapkan salam.

“Aku harus bagaimana, Mbak?” tanya Weko yang menghubungi Sintya.

“Tunggu saja sampai reda. Kalian itu sama-sama keras kepala, hindari bertengkar! Yang ada, tidak ada yang mau mengalah.”

“Apa aku hanya diam dan mengalah seperti ini saja?”

“Iya.”

“Apa ada hal lain yang bisa aku lakukan untuk meredakan marahnya?”

“Aku juga tidak tahu, Dek.”

Weko menghembuskan nafas dalam. Ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi. yang paling mengenal Inaya adalah Ibunya, tetapi ia tidak berani bertanya karena takut disalahkan telah membuat Inaya marah.

Makan siang keduanya tetap dengan kediaman Inaya. Hanya Weko yang bercerita atau sesekali menggoda Inaya, tetapi tidak mendapatkan respon. Sampai akhirnya Weko mengantarkan istrinya kembali ke koperasi, Inaya membuka mulutnya.

“Aku mau lobster bakar madu, Mas.”

1
kalea rizuky
lanjutnya man
Meymei: Siap kakak 😁
total 1 replies
indy
jadi ikutan pengin lobster
indy
semangat kakak
Meymei: Semangat 🙏🏻
total 1 replies
indy
masih yang manis manis
indy
serasa di jawa
indy
adat Jawanya gak terlalu beda kok, terutama untuk rakyat biasa. ada piring terbang juga
Meymei: Beda dikit ya kak 😁
total 1 replies
Susanti
bagus lanjut
indy
semangat kaka
Meymei: Terima kasih, kakak 🥰
total 1 replies
indy
keren, sekarang edisi budaya jawa ya
Meymei: Cmiiw ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!