Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Hari yang Tak Lagi Sama
Hari itu Sabtu. Cuaca cerah, langit biru nyaris tanpa awan. Di halaman depan rumah keluarga Alvaro, Clarissa berdiri sambil mematut dirinya di kaca mobil. Rambutnya ditata gelombang lembut, bibirnya merah muda, dan ia memakai gaun putih bermotif bunga kecil, ringan tapi elegan.
Nathan menunggu di balik kemudi. Ia mengenakan kemeja putih dan celana chino abu-abu. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berbeda. Bukan keraguan, tapi... kehati-hatian.
“Kamu cantik banget,” ujarnya begitu Clarissa masuk ke mobil.
Clarissa tersenyum lebar. “Dan kamu kelihatan... siap bikin cewek-cewek lain iri.”
Nathan tertawa kecil, dan mereka pun melaju. Clarissa menyetel lagu dari ponselnya, playlist nostalgia dari masa SMA. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol ringan. Clarissa bercerita tentang reuni, tentang teman-temannya, dan sesekali menggoda Nathan agar cemburu dengan cowok-cowok yang dulu naksir dia.
Tapi Nathan hanya tertawa kecil dan menjawab singkat. Hatinya, tanpa ia sadari, tak sepenuhnya berada di mobil itu.
Mereka tiba di restoran pinggir danau, tempat romantis yang sudah dipesan Clarissa sejak seminggu lalu. Meja di balkon kayu, dengan pemandangan air tenang dan cahaya matahari sore yang memantul di permukaannya.
Makan malam berjalan hangat. Clarissa bercerita banyak, tertawa, menyuapi Nathan dessert, dan menyentuh tangannya beberapa kali. Nathan membalas semuanya dengan sopan, sesekali menggoda balik, tapi tidak ada percikan seperti biasanya. Tidak ada perasaan hangat yang mengalir sampai dada.
“Kenapa kamu diem banget, sih?” tanya Clarissa saat mereka berjalan-jalan menyusuri danau setelah makan.
“Enggak. Aku cuma... lagi nikmatin suasana aja,” jawab Nathan pelan.
Clarissa menghela napas. “Kamu berubah, Nath.”
“Berubah gimana?”
“Dingin. Kayak... ada tembok yang nggak bisa aku lewatin.”
Nathan terdiam. Lalu akhirnya berkata, “Kamu jujur aja. Kamu dan David... beneran nggak ada apa-apa?”
Clarissa menatapnya lama. “Kamu nggak percaya aku?”
“Aku mau percaya. Tapi... hatiku ngerasa lain.”
Clarissa mengelus lengannya. “Nathan, aku sayang kamu. Aku mungkin nggak sempurna, tapi aku nggak akan bohong soal perasaan.”
Nathan menatap mata Clarissa. Ia ingin percaya. Tapi yang muncul di benaknya justru tatapan jujur Celeste. Yang tak pernah berpura-pura.
Keesokan harinya, suasana rumah kembali biasa. Clarissa sibuk di dapur membuat sarapan untuk Nathan, sementara Celeste, yang biasanya selalu muncul pagi-pagi untuk merapikan ruang tamu.. tidak terlihat.
“Celeste mana?” tanya Clarissa pada Ezra.
“Katanya mau bantu belanja ke pasar. Barusan pergi sama Mbak Tati,” jawab Ezra singkat.
Nathan mengangguk pelan. Tapi hari itu, Celeste tak banyak muncul. Saat ia lewat, ia hanya tersenyum dan menunduk sebentar. Tak ada percakapan kecil seperti biasanya. Bahkan saat Nathan mencoba menyapa, Celeste hanya menjawab dengan suara singkat lalu buru-buru pergi.
Ini berulang selama beberapa hari. Celeste selalu menghindar dengan halus, berpura-pura sibuk, menjauh saat Nathan masuk ruangan, bahkan mengubah rute menyiram tanamannya agar tak melewati jendela kamar Nathan.
Nathan merasakannya. Dan anehnya, ia merasa... kehilangan.
Suatu sore, saat Nathan sedang duduk di perpustakaan rumah, Celeste masuk membawa tumpukan buku yang baru dikembalikan Madeline dari luar kota. Ia terkejut saat melihat Nathan di sana, dan segera menunduk.
“Aku taruh buku-buku ini di rak ya, Nath,” katanya pelan.
Nathan bangkit dari kursinya. “Celeste, sebentar.”
Celeste terdiam, masih memeluk buku.
“Ada yang salah?” tanya Nathan langsung.
“Enggak,” jawab Celeste cepat. “Aku cuma lagi banyak tugas.”
“Kamu ngindar dari aku.”
Celeste menggigit bibirnya. “Aku cuma menjaga jarak. Sesuai permintaan Clarissa.”
Nathan menghela napas. “Kamu nggak harus sampai menghilang, Cel.”
Celeste menatapnya sejenak. Lalu berkata, “Aku cuma tamu tak di undang, Nathan. Dan kamu... bukan pria yang bisa aku dekati semauku.”
Kalimat itu menusuk. Nathan ingin membantah, tapi Celeste buru-buru meletakkan buku di rak dan keluar dari ruangan sebelum ia sempat bicara lagi.
Malamnya, Nathan duduk di kamarnya sambil menatap ponsel. Pesan dari Clarissa masuk, foto-foto mereka saat kencan kemarin. Tapi hatinya tidak bergerak. Ia justru membuka galeri, melihat foto kebun belakang yang sempat ia ambil diam-diam, saat Celeste sedang duduk di bangku taman, menatap bunga tanpa tahu kalau ada yang memperhatikan.
Clarissa adalah pasangan resminya. Perempuan yang cantik, cerdas, punya masa depan, dan disukai olehnya.
Tapi Celeste...
Celeste tidak mencoba membuatnya jatuh cinta. Ia hanya ada. Diam-diam. Konsisten. Tulus.
Dan itulah yang membuat Nathan takut.
Di kamar kecil di lantai bawah, Celeste menulis di bukunya lagi:
Hari ke-75. Aku sudah berusaha menjaga jarak. Tapi rasanya tetap saja sakit. Apakah aku terlalu serakah untuk berharap bisa jadi temannya lebih lama?
Ia menutup buku itu dan menatap langit malam. Angin menerpa wajahnya, membawa serta satu nama yang selalu hadir diam-diam di hati:
Nathan.