Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
William
Beberapa hari berlalu sejak keluarga Lee kembali ke negeri asal. Sean masih setia menunggu dia akan dimasukkan di kelas apa.
"Khusus militer?" gumam Sean terheran. "Sejak awal kau tidak menunjukkan tanda-tanda kecocokan pada sihir, jadi mungkin kau akan dimasukkan pada khusus militer" jawab Marito menjelaskan.
"Marito, ada surat untukmu" ujar James menyodorkan sebuah amplop. Marito beranjak dan menerima surat itu. "J? Siapa J?" tanya Daisuke penasaran.
"Tidak ada" jawab Marito bergegas ke ruangannya. "Tiada hari tanpa kesibukan" gumam Daisuke memaklumi. "Sean, bisakah kau membantuku?" tanya Zoe memanggil bocah itu dari halaman belakang.
"Baik!" jawab Sean segera menghampiri Zoe. Di sisi lain, Marito mengunci pintu kamarnya.
"Apa Jake menemukan infomasinya?" gumam Marito penasaran. Ia membuka amplopnya.
Hi, Leon !
Ya, ini aku Jacob. Terimakasih karena sudah membuatku sedikit kerepotan. Sebelumnya aku mendengar kabar kau naik posisi jadi kepala divisi utama 2 pasukan elite bukan? Selamat atas pencapaianmu. Sesuai permintaanmu, aku mencari informasi. Tapi yang kutemukan hanya identitas Arie.
Nama lengkapnya Arie Fedde. Usianya berkisar 24-26 tahun. Aku menemukannya menetap di Laagland, De Oranje. Di sana, dia menjadi seorang penulis. Pekerjaan sebelumnya tidak kuketahui. Tapi yang pasti, dia punya keterlibatan penting dalam perang 11 tahun lalu. Dari dugaanku, sepertinya dia pernah menjadi anggota militer. Tapi ini masih sebatas spekulasi. Hanya saja, aku menemukan fakta bahwa dia, termasuk orang hilang yang dicari.
Mungkin hanya itu yang bisa informasi yang kusampaikan. Informasi mengenai bocah ini akan kukirim sesegera mungkin, dan besok biodata berisi Arie akan kukirim ke kantormu. Datanglah berkunjung di hari libur.
^^^Salamku,^^^
^^^Jake^^^
Marito mengerutkan keningnya. Ia memijit pelipisnya semakin penasaran dengan siapa Sean ini sebenarnya.
"Guru" panggil seseorang dari luar. "Ya?" tanya Marito menyimpan surat itu, lalu mendekat pada pintu. "Ada apa?" tanya Marito ketika pandangannya dan Sean bertemu. "Apa guru sibuk?" tanya Sean memastikan.
"Tidak" jawab Marito menutup kamarnya. "Kalau begitu ayo latihan! Daisuke-niisan baru saja meledekku" ajak Sean tampak antusias.
Marito menghela nafas memaklumi. Ia mengikuti bocah itu dari belakang.
"Kau ada dinas di luar?" tanya Marito pada James yang tampak memasukkan beberapa pakaiannya pada sebuah tas. Jiali membantu pemuda itu.
"Tidak, aku mengambil cuti selama seminggu. Kakak ipar sedang bertugas di gerbang kota, jadi aku akan menjaga keponakanku" jawab James tampak senang.
Ya, dia adalah pemuda yang sangat mencintai keluarga.
Perlahan kelebihan dari anggota di rumah itu akan mulai diperlihatkan sepanjang alur.
Chloe, dia adalah orang yang paling payah menghadapi keluarganya. Ia sudah bekerja sebagai intelijen kurang lebih 15 tahun, sehingga orang-orang tidak bisa membedakan emosi yang ia keluarkan. Karena terlalu lama berurusan dengan musuh dan berkelana, Chloe termasuk orang yang kaku. Termasuk paling lemah (dalam hal sihir), namun paling sulit dikalahkan karena dia dan Marito punya stamina yang sama.
Daisuke, dia adalah orang yang ceroboh. Namun uniknya, justru dia lah yang selalu ditunjuk menjadi pemimpin dalam sebuah kelompok. Dia tidak menjadi beban bagi tim nya. Walau tengil dan usil, Daisuke ialah sosok yang cerdas dan berbakat.
Jiali, dia adalah gadis yang hampir sempurna. Cantik, lemah lembut, namun tegas, sekaligus menjadi seorang 'ibu' bagi mereka. Jika dia menikah dan memiliki anak, putra putrinya pasti hidup makmur.
James, dia adalah pemuda yang sangat mencintai keluarga. James anak bungsu, dan memiliki seorang kakak perempuan yang berprofesi sama dengannya. Kakak perempuannya itu sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Dia adalah dokter spesialis termuda pada angkatannya.
Marito, dia misterius. Hampir semua pekerjaan militer pernah ia lakukan. Sifatnya dingin, tenang, disiplin, tegas, namun terkadang bisa jadi pemalas di beberapa keadaan. Walau sifatnya cuek, dia bisa menjadi orang paling peduli. Kelebihannya ialah kejeniusan di atas rata-rata, dan stamina yang dimilikinya.
Zoe, yang termuda (Sean tidak dihitung karena dia belum menjadi anggota militer). Walaupun paling muda, dia pemuda yang mampu berpikir dewasa. Zoe tipe kerja keras, karena keluarganya tidak memiliki kemampuan sihir apapun untuk diturunkan. Dia ibarat 'kakak' bagi Sean, karena sifatnya yang lemah lembut, tenang, dan juga murah senyum.
"Ternyata kak James sudah menjadi seorang paman" gumam Sean tanpa sadar. "Ahaha, keponakanku 5 tahun lebih muda darimu. Tapi dia sudah diajari bertarung tangan kosong oleh ayahnya. Kapan-kapan kau bisa latihan dengannya" ujar James segera.
"Sungguh?!" Sean tampak antusias. "Ya, tentu saja" jawab James terkekeh.
"Asik! Kalau begitu hati-hati di perjalanan, kak!" pesan Sean segera. "Siap, bocah!" jawab James mengacak pelan rambut bocah itu.
James akhirnya berangkat. Ia tersenyum penuh semangat dan pemuda itu banyak menyapa orang-orang di perjalanan.
"Bunga mawar? Kakak suka sekali bunga, mungkin aku bisa membelikannya" gumam James mampir ke sebuah toko bunga di pinggir kota.
"Lama tidak bertemu, James" sapa seorang gadis padanya. Lebih tepatnya, pemilik toko itu. "Eh? Kau yang berjaga di sini ternyata, Arabella!"
Ya, namanya Arabella Nicolo. Nicolo? Benar! Jika kalian ingat Joy Nicolo salah satu teman sekelompok Sean, dia adalah adik laki-laki gadis penjaga toko itu.
"Jadi kau akan menjaga keponakanmu? Manis sekali! Kau benar-benar seorang pria sejati!" puji Arabella kagum. "Hahaha. Kau bisa saja. Bisakah kau bungkuskan untukku beberapa tangkai mawar? Kakakku sangat menyukai bunga itu" ujar James terkekeh.
"Tentu, sebentar akan aku buatkan" gumam gadis itu segera. "Ahk, iya. Apa bocah bermata biru itu murid rekanmu Marito? Dia sekelompok dengan Joy saat ujian terakhir masuk akademi. Joy bilang dia sangat jenius, pasti Marito tidak akan kerepotan"
Arabella mulai memilih bunga mawar yang bagus. "Sepertinya. Marito masih melatihnya di rumah dan mengajarinya untuk beberapa waktu sebelum ia resmi menjadi siswa akademi" jawab James membenarkan.
"Aku juga sudah lama tidak bertemu Marito. Kudengar dari beberapa anggota lainnya, Marito sudah dipindahkan ke pasukan elite. Dia benar-benar orang yang luar biasa"
James tersenyum bangga mendengar itu. Dia salah satu orang yang selalu senang mendengar perkembangan teman-temannya.
"Ini pesananmu!" ujar Arabella memberikan pesanan James. "Terimakasih" James segera memberikan uangnya untuk membayar. "Sampai jumpa!" dan mereka akhirnya berpisah.
"James semakin tampan, bagaimana mungkin dia tidak memiliki kekasih sekarag?" gumam Arabella terkekeh.
Di sisi lain, James kembali berjalan beberapa ratus meter dari toko bunga.
Setelah beberapa saat ia berjalan, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah. Rumah yang hanya terdiri dari satu lantai, namun tampak luas. Halaman sekitarnya dipenuhi bunga-bunga dengan jenis beragam.
James mendekat pada pintu lalu mengetuknya. "Sebentar!" jawab seorang anak kecil dari dalam.
Ia membuka sedikit pintu. "Halo, Tere!" sapa James segera ketika tatapan mereka bertemu. Mata hijau gadis kecil itu berbinar seketika. "Ibu! Paman datang!" kini gadis itu membuka lebar pintu.
James melepas sepatunya dan akhirnya memantapkan diri memasuki rumah peninggalan mendiang ayah ibunya itu.
"Selamat datang! Apa kabarmu, James?" tanya seorang wanita yang sangat mirip dengan James menghampirinya segera.
Jane William, dia adalah kakak perempuan James. Ia berprofesi sebagai dokter kandungan. Wanita itu sudah menikah dengan seorang anggota militer bernama Thomas Bentley, dan mereka dikaruniai putri kecil.
Dialah, Tere Bentley. Gadis kecil berusia 7 tahun yang menyambut kedatangan James- pamannya.
"Baik, apa kakak merasa baikan? Sudah jalan berapa bulan kandunganmu ini?" tanya James tersenyum hangat. "4 bulan" jawab Jane tersenyum sambil mengusap perutnya yang kian membesar.
"Kau membawa bunga mawar?" tanya Jane terkejut ketika James mengganti bunga mawar kering pada sebuah vas bunga, dengan bunga mawar yang dibelinya.
"Ya. Ini adalah kesukaanmu, jadi aku membelinya" jawab James tersenyum senang. "Terimakasih karena kau selalu mengingatnya" gumam Jane tersenyum hangat.
"Paman! Gendong aku!" ujar Tere meminta gendong pada James. "Tere! Paman baru saja datang, ia belum beristirahat!" Jane segera menegur putrinya.
"Tidak masalah. Aku tidak pernah lelah jika harus berurusan dengan gadis kecil ini" jawab James terkekeh seraya menggendong gadis kecil itu.
"Paman! Aku sudah menghapal beberapa angka serta huruf! Nanti paman harus mendengarku" lapor Tere bersemangat. "Benarkah? Paman harus mendengarnya! Kau memang cerdas seperti kak Thomas" puji James tertawa.
"Tidak! Aku mau disebut cerdas seperti paman!" ketus gadis itu segera. "Astaga, ayah pasti bersedih jika mendengarnya. Kau harus menjadi kuat seperti ayah! Paman mu ini payah sekali dalam bertarung tahu"
Tere memasang wajah masam. Sepanjang siang sampai sore, mereka habiskan waktu bersama. Tere selalu gembira ketika James datang.
"Dia benar-benar mirip kakak ipar" ujar James menyelimuti gadis kecil yang kini tertidur lelap. "Begitulah, aku hanya menerima hikmahnya saja" jawab Jane terkekeh sambil ia merajut sebuah syal.
"Besok berkunjunglah ke makam ayah dan ibu. Aku yakin sekali dengan kesibukanmu, kau tidak punya banyak waktu" pesan Jane dengan nada lembut.
"Tentu saja" gumam James terkekeh. "Apa jadi dokter otak menyulitkan? Tampaknya kau sangat lelah" titah Jane penasaran tentunya.
"Beberapa hari ini pekerjaanku sedikit merepotkan. Kami harus memeriksa saraf pada otak raksasa yang akhir-akhir ini mengganggu kota" jawab James kini mulai lebih serius.
Jane menghentikan acara merajut syalnya. "Raksasa?" tanya Jane memastikan. "Ya. Bahkan salah satunya hampir menculik tamu negara kemarin. Pekerjaanku jadi sedikit ekstra, karena di sisi lain... aku juga sering bekerja sama dengan para ahli sains dan ilmuwan"
Tatapan Jane tampak ragu. "Apa rekan-rekan di rumah dinasmu sudah mulai menyelidiki?" tanya Jane kembali lanjut merajut syalnya.
"Marito pernah menyelidiki sendirian, dan Daisuke bilang dia hampir mati dimakan raksasa itu. Sejauh ini, sudah 4 raksasa yang dilenyapkan mereka" jawab James kini mulai menulis sesuatu di bukunya.
"Begitu ternyata" gumam Jane tertegun. "Ahk iya, apa Marito memiliki murid baru? Aku pernah melihatnya bersama Daisuke menjaga seorang bocah saat di rumah sakit. Siapa nama bocah itu?"
Mereka terus membuat topik pembicaraan tidak berhenti. "Namanya Sean Colbert, dia dari De Oranje. Aku pertama kali bertemu dengannya, saat berada di kapal" jawab James menjelaskan.
"Oh ya? Apa dia bocah nakal?" tanya Jane lagi. "Tidak. Dia sangat patuh, dan menurutku... dia jenius seperti Marito" jawab James kini memperhatikan Jane.
Jane kembali menghentikan acara merajut syalnya. "Tadi kau bilang... Sean Colbert, bukan?" tanya Jane memastikan ulang. "Eh... ya. Namanya, Sean Colbert. Apa ada yang salah, kak?" tanya James terheran.
"Ini hanya segelintir orang saja yang tahu. Tapi dari apa yang pernah kubaca, pemerintah negara yang ketiga punya nama tengah Colbert. Berita tentangnya masih simpang siur sejak 11 tahun lalu"
James tampak terkejut. Ia justru baru menyadarinya sekarang. "Mungkin saja dia adalah putra seorang pria yang kebetulan punya nama belakang Colbert" ujar Jane menatap serius adiknya.
James tertegun mendengarnya. "Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Jane penasaran. "Rambutnya pirang, dan matanya biru bagaikan laut" Jane terdiam mendengar ciri-ciri itu.
"Tidak, tidak. Mungkin hanya kebetulan" gumam Jane menggeleng-geleng pelan. "Memangnya kakak mengetahui apa? Tampaknya kau mulai serius"
Jane menghela nafasnya. "11 tahun lalu, aku punya seorang sahabat. Hanya aku, suaminya, dan adik iparnya yang tahu dia adalah putri pemerintah ketiga. Saat melahirkan, seseorang dengan saja membuat sesuatu di tubuhnya lepas kendali dan akibatnya negara ini menjadi hancur"
"Suaminya mengorbankan diri dengan merelakan nyawanya untuk menyimpan kembali monster itu pada tubuh anaknya. Jadi mereka gugur. Anak mereka tidak tahu di mana, dan kabarnya pemerintah ketiga juga menghilang. Entah dia juga gugur, atau kabur aku tidak tahu. Yang tersisa dari mereka, hanya adik iparnya"
James menyimak cerita itu dengan serius. "Adik... iparnya?" gumam James penasaran. "Kau akan terkejut mengetahui orangnya" jawab Jane menatap lurus.
"Orangnya masih hidup?" tanya James terheran. "Ya. Dia satu rumah dinas denganmu" James terbelalak tidak percaya. "Kau pasti paham siapa yang kumaksud"
James tambah terkejut.
"Suaminya menciptakan sebuah sihir mata melalui kekuatan mahluk itu. Lalu matanya, ia berikan pada adik iparnya. Dan sampai sekarang negeri ini punya banyak musuh, karena mereka mencari keberadaan mahluk itu untuk dijadikan alat perang"
James masih tampak tidak percaya setelah mendengar cerita itu. "Aku rasa juga tidak hanya itu. Suaminya dikenal sebagai petarung hebat. Ia berhasil memukul mundur pihak musuh. Itulah kenapa dia memiliki banyak lawan di negeri ini maupun di luar sana"
James menatap lurus ke depan. "Jadi kau sendiri ada kepikiran bahwa Sean itu bisa saja anak mereka yang hilang?" tanya James lagi.
"Begitulah. Hanya saja kita tidak mempunyai cukup bukti. Kalaupun benar dia adalah anak mereka, lebih baik ia disembunyikan" jawab Jane membereskan benang-benang dan alat merajutnya.
"Kenapa begitu?" tanya James terheran. "Dunia akan memanfaatkannya demi perdamaian yang abadi. Secara logis, perang tidak akan pernah berakhir dan kedamaian itu hanya untuk sementara"
James kini memperhatikan sebuah bingkai berisi foto keluarganya. "Dulu ayah juga mati-matian memperjuangkan segalanya, demi kedamaian" tutur James tersenyum sambil meraih bingkai foto itu.
"Pria zaman dulu pikirannya lebih ke arah memikirkan nasib keluarga kedepannya jika dunia terus menerus dihantui perang yang tidak ada habisnya"
James mengerutkan keningnya. "Yang terpenting, bagaimana cara kita menjaga satu sama lain" gumam James tersenyum simpul.
...****************...
"Paman mau ke mana? Aku juga mau ikut" ujar Tere mulai mengekori James.
"Paman akan ke rumah kakek dan nenek. Di rumah saja, biar paman sendiri yang pergi ke sana" jawab Jane segera menahan gadis itu.
"Tapi ayah bilang, banyak orang jahat di sudut manapun" ketus gadis kecil itu segera. "Tere, kemarilah" panggil James segera.
Gadis kecil itu dengan antusias menghampiri pamannya. "Maaf, Tere" James mengacak pelan rambut keponakannya. "Paman sudah bisa menjaga diri. Justru karena di setiap sudut banyak orang jahat, kau harus melindungi ibu. Jika kau ikut, ibu sendirian di rumah"
Tere diam memperhatikan pamannya itu. "Baiklah, aku akan menjaga ibu di rumah" kini ia mengerti maksud pamannya. James tersenyum.
"Aku pergi dulu"
"Berhati-hatilah"
James akhirnya berjalan menuju pemakaman kota yang tidak jauh dari rumah. "Pagi, Bella" sapa James memasuki toko bunga.
"Pagi, James. Kau sudah mau pulang?" tanya Arabella terheran. "Tidak. Apa kau bisa buatkan dua buah buket bunga? Aku akan berkunjung ke rumah ayah dan ibu" James segera membuat pesanan.
"Oh, sebentar. Akan aku buatkan" jawab Arabella segera. James tersenyum menunggu. "Kau tidak bekerja hari ini?" tanya James terheran.
"Nanti siang aku akan ke kantor. Joy yang akan menjaga toko" jawab Arabella sibuk membuat pesanan James. Ia sudah tahu buka apa yang cocok.
"Tampaknya kau jadi lumayan sibuk. Paman dan bibi di mana memangnya?" tanya James terheran. "Ayah dan ibu pergi keluar negeri untuk berdagang. Jadi aku mengurus toko untuk sementara waktu"
James mengangguk-angguk paham. "Apa Marito sudah tahu? Hari ini yang lulus terpilih masuk akademi sudah dibagikan kelasnya" ujar Arabella tersenyum.
"Ehh? Benarkah?" James tentu terkejut mendengarnya. "Adikku pergi bersama temannya ke akademi untuk melihat pengumuman" jawab Arabella membenarkan. "Mungkin Marito dan Sean juga ke sana" gumam James terkekeh.
"Ini buket untuk paman dan bibi" ujar Arabella memberikan kedua buket bunga itu.
"Terimakasih. Ini-"
"Bawa saja. Itu hadiah dariku untuk mereka"
James menatap Arabella terkejut. "Kau... serius?" tanya pemuda itu dengan tenang. "Ya. Bawa saja! Kak Jane pernah mengajakku mengunjungi mereka, hanya saja aku tidak pernah memiliki banyak waktu"
James akhirnya tersenyum. "Baiklah, aku pasti akan mengatakan pada mereka ini darimu. Terimakasih, Bella! Sampai jumpa!" James melambaikan tangan.
Arabella melambai. "Gadis yang kau cintai sangat beruntung" gumam Arabella tertawa kecil.
Di sisi lain, "Bella.. kuharap kau merasakan hal yang sama. Ibu sangat menyukaimu, kakak sangat menyukaimu. Dan begitupun aku"
Beberapa saat James berjalan, ia akhirnya sampai di depan sebuah tempat. Pemakaman umum.
Namun James segera berjalan ke depan. Ada sebuah tugu bertuliskan nama-nama pahlawan di sana dan makam terdepan dikhususkan untuk para pejuang perang. "Ayah, ibu... selamat pagi" James meletakkan dua buah buket bunga di dua buah batu nisan.
"Ayah tahu, ibu bilang dia tidak bisa hidup tanpamu dan akhirnya ibu menyusulmu" gumam James mencabut beberapa rumput yang menempel.
"Ibu bilang dia bangga ayah gugur sebagai pahlawan. Dan ternyata ibu juga gugur sebagai pahlawan. Aku bangga sekali menjadi putra kalian" gumam James tertawa kecil.
"Kalian bilang kalian sangat memimpikan kakak menikah dan kalian memiliki cucu. Sekarang kakak hamil anak kedua. Jika kalian masih ada, kalian pasti bahagia"
Tanpa James sadari, air matanya turun. "Maafkan aku. Aku sering tidak mengunjungi kalian, karena melihat batu nisan bertuliskan nama kalian ini... hatiku selalu hancur" gumam James dengan tubuh gemetar.
"Aku selalu berharap kalian kembali hidup dan menyambutku setiap aku pulang ke rumah"
......................
"Aku pulang" gumam James memasuki rumah. "Paman! Selamat datang!" sambut Tere beranjak.
"Woah, selamat datang adik ipar. Apa kau sudah lapar?Aku memasak makanan kesukaanmu hari ini" ujar seorang pria. Dialah Thomas Bentley. Kakak ipar James, suami Jane, dan tentunya ayah Tere.
James tertegun. Ia menatap mereka. "Ada apa James?" tanya Jane terheran. "Tidak. Aku baru menyadari ternyata aku selalu disambut hangat setiap pulang ke rumah" jawab James segera sambil tersenyum.
Ia mengusap lembut kepala Tere. "Paman punya kami! Jangan bersedih lagi paman. Kakek dan nenek juga akan bersedih jika paman bersedih" James tersenyum mendengarnya. "Ayo kita petik buah apel, paman lihat apelnya sudah matang" ajak James sambil menggendong gadis kecil itu.
"Ayo paman!"
"Tere, jangan menyusahkan paman!"
"Ambil yang banyak. Ibu sangat ingin mencicipi kue pie"
"Siap bos!"
Seminggu sudah berlalu. Pagi ini James membereskan semua keperluannya untuk kembali ke rumah dinas.
"Paman, kapan paman ke sini lagi?" tanya Tere tampak bersedih. "Mungkin ketika hari libur tiba" jawab James mengacak pelan rambut gadis itu.
Ia teringat sesuatu, lalu mengambilnya dari saku. Sebuah kalung berliontin hijau. Ia mengalungkan sebuah kalung berliontin hijau pada leher Tere. "Jaga kalung ini, ini hadiah dari paman" pesan James tersenyum. "Siap paman!" jawab Tere sambil hormat.
"Aku pamit dulu, aku akan sering ke sini" pamit James setelah ia selesai. "Berhati-hatilah!" pesan Jane.
"Sampai jumpa paman!" mereka akhirnya berpisah. Namun James melewati jalan lain. Ia menuju toko bunga. Ya, toko bunga milik keluarga Arabella.
"Pagi, Arabella" sapa James memasuki toko. "Eh? James! Kau sudah akan pulang ke rumah dinas?" tanya Arabella terkejut dengan ransel di pundak James.
"Ya. Cutiku hanya seminggu" jawab James membenarkan. "Bisakah kau pilihkan beberapa tangkai bunga mawar yang sama dengan kemarin? Jiali menitip bunga untuk diganti dengan yang di rumah" ujar James merogoh uang di dompetnya.
"Ahk, tentu!" Arabella segera memilih beberapa tangkai bunga mawar. "Ini pesananmu" Arabella menyodorkannya. James memberikan uangnya. Dan jepit bunga mawar.
"Eh?" gumam Arabella terheran. "Hadiah dariku" ujar James tersenyum. "Cantik sekali! Terimakasih!" Arabella segera memakainya.
"Aku ingin kau memakainya saat kencan kita nanti" Arabella menatap James terkejut. Mata kuning madunya berkilau dan pupilnya membesar. Pipinya kini merah merona. Dan tentu ia salah tingkah.
"A-Ahk, kau ini-"
"Aku menyukaimu sejak kita di akademi, Bella"
Entah bagaimana, pengakuan itu justru membuat Arabella lebih tenang dari sebelumnya.
"M-Maaf karena terlalu-"
"Tidak"
Gadis itu tersenyum simpul. "Terimakasih" ucap gadis itu tersenyum.
James mengerti maksud senyuman itu.
"Sampai jumpa, cantik. Kau harus mengenakan pemberianku di kencan pertama kita" pesan James sambil tersenyum hangat.
Arabella mengangguk sambil tersenyum. "Berhati-hatilah!" James tersenyum tenang.
"Terimakasih sudah menjadi cinta pertamaku, James"