Sudah tahu tak akan pernah bisa bersatu, tapi masih menjalin kisah yang salah. Itulah yang dilakukan oleh Rafandra Ardana Wiguna dengan Lyora Angelica.
Di tengah rasa yang belum menemukan jalan keluar karena sebuah perbedaan yang tak bisa disatukan, yakni iman. Sebuah kejutan Rafandra Ardana Wiguna dapatkan. Dia menyaksikan perempuan yang amat dia kenal berdiri di altar pernikahan. Padahal, baru tadi pagi mereka berpelukan.
Di tengah kepedihan yang menyelimuti, air mata tak terasa meniti. Tetiba sapu tangan karakter lucu disodori. Senyum dari seorang perempuan yang tak Rafandra kenali menyapanya dengan penuh arti.
"Air mata adalah deskripsi kesakitan luar biasa yang tak bisa diucapkan dengan kata."
Siapakah perempuan itu? Apakah dia yang nantinya akan bisa menghapus air mata Rafandra? Atau Lyora akan kembali kepada Rafandra dengan iman serta amin yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Didekatkan Oleh Pekerjaan
Talia membantu Rafandra untuk bangun. Dan sebuah pertanyaan penuh kekhawatiran terlontar.
"Apa ada yang sakit?" Gelengan menjadi jawaban dari Rafandra.
"Apa kamu mendengar semuanya?" Kini, Rafandra balik bertanya ketika mereka sudah saling berhadapan.
"Maaf," balas Talia seraya menunduk dalam.
"Tidak perlu meminta maaf. Dan tegakkan kepala kamu." Talita pun mengikuti ucapan Rafandra.
"Tolong jangan bahas ini kepada siapapun. Cukup kamu aja yang tahu."
Dia tak mengerti dengan jalan pikiran Rafandra. Begitu cintakah Rafandra kepada Lyora? Begitulah isi kepalanya.
"Saya tak ingin mencoreng nama baik siapapun." Pertanyaannya kini menemukan jawaban.
Betapa baiknya lelaki di depannya. Dalam kondisi seperti ini masih memikirkan nama baik orang lain. Padahal, dia sendiri sudah diinjak-injak.
Rafandra meraih ponsel di dalam saku di mana sang mami menghubunginya.
"Iya, Mi--"
...
"Abang pulang dulu ganti baju. Baru ke rumah opa."
...
"Baik, Mi."
Setelah sambungan berakhir, Rafandra pamit lebih dulu. Perempuan itu menaruh kekaguman pada Rafandra. Apalagi ketika dia berbicara dengan begitu lembut di sambungan telepon tersebut.
Selama di perjalanan, berkali-kali Rafandra membuang napas kasar. Alasan dia diam bukan karena lembek. Dia hanya tak ingin memperkeruh keadaan. Emosi dibalas emosi akan menjadi api. Dia tak menginginkan itu terjadi. Ingat, Rafandra itu berbeda dari anggota singa yang lain.
Kedatangan Rafandra disambut oleh para singa jantan. Senyum teduh selalu dia berikan. Namun, sang opa sedari tadi terdiam memperhatikan sang cucu pertama. Juga sang paman, Mas Agha yang sedari tadi terus memperhatikan sang keponakan yang sudah dia anggap seperti putranya.
Baru saja duduk, Achel yang sudah beranjak remaja mulai mendekat. "Are you okay?"
Rafandra sedikit terhenyak. Dia menatap Achel dan menunjukkan senyum yang begitu manis. Tanpa diduga remaja itu memeluk lengannya. Seakan memberikan ketenangan tanpa perlu keluar ucapan.
Tak ada yang menaruh curiga. Achel memang selalu bermanja dengan Rafandra. Dia juga cukup dekat dengan lelaki yang memiliki senyum penuh keteduhan.
.
Talia menunggu kedatangan Rafandra. Dia ingin memastikan kondisi lelaki yang semalam didorong cukup kencang. Sedangkan karyawan yang lain malah menggunjing Rafandra. Mengatakan jika lelaki itu begitu kejam perihal kejadian kemarin. Di mana Lily dibuat menangis olehnya.
Menjadi manusia baik saja selalu salah di mata orang lain. Apalagi menjadi manusia jahat. Begitulah isi kepala Talia sekarang.
Melihat Rafandra datang dengan kondisi baik-baik saja, membuat Talia bernapas lega. Mereka pun bekerja dengan semestinya.
Ketika jam istirahat tiba, tak biasanya karyawan lama kompak makan di luar. Kini, tinggal Talia yang ada di sana. Menatap ke arah ruangan Rafandra.
Ingin mengetuk pintu ruangan tersebut. Tapi, nyalinya tak seberani itu. Dia juga harus tahu batasan. Dan Rafandra tidak akan pernah suka jika dia memberikan perhatian lebih.
Pintu ruangan terbuka, atensi Talia teralihkan dan manik mata mereka bertemu.
"Kamu enggak makan siang?"
"Ini baru mau."
Rafandra mengangguk. Langkahnya kembali dilanjutkan. Talia hanya bisa menatap punggung kekar itu. Memilih kedai makanan cepat saji yang dekat dengan kantor. Waktu jam makan siang sudah tinggal sebentar lagi. Tak Talia duga dia bertemu dengan Rafandra di sana.
"Makan di sini juga?" tanya Talia.
"Lagi kepengen aja."
Rafandra yang lebih dulu datang segera membawa nampan menuju meja. Talia yang sudah mendapat pesanannya mulai mencari meja kosong. Namun, tak ada. Hingga lambaian tangan Rafandra dia lihat.
"Di sini saja."
Talia ragu. Apa pantas dia semeja dengan atasannya? Tubuhnya malah membeku. Rafandra geram karena Talia tak bergerak. Dia menghampiri Talia dan meraih nampan yang Talia pegang.
"Ayo!"
Akhirnya, Talia pun mengikuti langkah Rafandra. Hanya keheningan yang tercipta di meja tersebut. Dan sebuah sapu tangan membuat Talia menegakkan kepala.
"Makasih banyak." Seulas senyum Rafandra ukirkan.
"Kenapa dikembalikan?" tanya Talia.
"Itu punya kamu. Saya tak ada hak untuk memilikinya."
Talia pun meraih sapu tangan tersebut dan keheningan kembali tercipta. Fokus pada makanan yang sudah dipesan.
"Maaf, semalam saya tidak bisa mengantarkan kamu pulang. Saya harus segera datang ke acara keluarga besar."
Talia menghentikan kunyahannya. Menatap Rafandra dengan seulas senyum yang terukir.
"Saya dijemput Varsha kok, Pak."
"Syukurlah."
Tak banyak obrolan di sana. Sepuluh menit sebelum jam makan siang berakhir mereka keluar dari restoran tersebut berbarengan.
"Saya duluan ya, Pak," pamit Talia dengan begitu sopan.
"Kenapa tidak bareng saja?"
"Saya tidak mau merusak reputasi Bapak. Permisi."
Rafandra tersenyum mendengar jawaban Talia. Sikap karyawannya itu tidak seperti karyawan lain. Tidak mau memanfaatkan situasi. Bahkan, dia lebih menjaga reputasi sang atasan agar tak buruk di mata karyawan.
Pekerjaan seakan membuat mereka berdua dekat. Baru saja datang, Rafandra sudah menghampiri meja Talia di mana itu berada di samping meja Lyora.
"Laporan yang kemarin harus ada sedikit perbaikan. Kesalahannya sudah saya tandai."
Kalimat itu begitu lembut. Dan jarak Rafandra dengan Talia pun nyaris menempel.
"Deadline-nya?" tanya Talia dengan mata yang fokus pada lembar kerja.
"Jam dua belas siang harus udah ada di meja saya."
"Baik, Pak."
Mendadak hati Lily perih melihat Rafandra dan Talia yang begitu dekat. Harusnya dia yang menyelesaikan pekerjaan itu. Namun, sebuah kesalahan yang Lily lakukan membuat semuanya menjadi fatal dan Rafandra mengalihkan kepada karyawan lain.
Lily hanya bisa menatap punggung Rafandra yang kini sudah menghilang di balik pintu ruangan.
Sebelum jam dua belas siang Talia sudah selesai dan segera menuju ruangan Rafandra. Lily terus melihat ke arah jam karena Talia begitu lama di dalam. Pikirannya sudah berkelana begitu jauh. Setengah jam kemudian, pintu ruangan terbuka. Rafandra dan Talia masih berbincang sambil melihat ke arah kertas yang ada di tangan sang atasan.
"Kalau begitu kamu bersiap. Jam dua belasan saya tunggu di lobi."
Perintah itu bukan hanya didengar oleh Talia, tapi juga Lily dan yang lainnya. Selama dua tahun bekerja dengan Rafandra, dia tidak pernah diajak ke pertemuan manapun. Tapi, Talia yang notabene anak baru malah diajak menemani Rafandra.
"Baru kali ini loh Pak Rafandra ngajak bawahan untuk meeting," celetuk salah satu karyawan.
"Lyora aja yang sering ngebantu Pak Rafandra gak penuh diajak meeting. Bener gak, Ly?" Lyora pun mengangguk.
Talia merespon ucapan para karyawan senior itu dengan seulas senyum. Sudah biasa ucapan kasar bahkan menusuk dia terima. Dunia kerja memang seperti itu.
"Maaf, Kakak-kakak senior semua. Kalau ingin lebih jelas, silahkan tanya kepada Pak Rafandra." Begitu sopan tutur kata Talia kepada mereka.
"Kalian ingin tahu alasannya?" Suara Rafandra mulai terdengar.
Sontak mulut mereka semua terbungkam. Mata Lily kini tertuju pada lelaki yang sudah melipat kedua tangan di atas dada.
"Talia memiliki kemampuan di atas kalian. Paham?"
Mereka semua pun terdiam. Sedangkan Lily begitu tercengang mendengar pembelaan Rafandra terhadap Talia yang terang-terangan. Ketika bersamanya Rafandra tak pernah melakukan itu. Hatinya mendadak sakit.
Manik mata Lily juga Rafandra bertemu. Tapi, Rafandra segera memutus tatapan tersebut dan mulai menarik tangan Talia dengan begitu lembut.
"Kita berangkat sekarang."
...*** BERSAMBUNG *** ...
Banyakin atuh komennya ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
gak papa mah kalo msih belom sadar ma perasaan masing2,pelan2 aja deh bang rafa &talia...
sehat selalu ya fie🤗