Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Prioritas dan Janji
Setelah mengantar Grace, Alex segera kembali ke rumah. Langkahnya terasa berat, tubuhnya mulai merasakan efek dari kelelahan yang menumpuk. Begitu memasuki rumah, ia langsung menuju kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir deras di atas kepalanya, berharap bisa menyegarkan pikirannya yang penuh tekanan.
Selesai mandi, ia mengenakan kemeja putih dan celana bahan gelap, lalu berjalan keluar kamar sambil mengancingkan bajunya. Di luar, Mommy sudah bersiap kembali ke rumah sakit. Saat melihat Alex keluar, ia menatap putranya dengan penuh perhatian.
“Mom, aku harus ke kantor dulu. Tolong gantikan aku menjaga Daddy.”
Mommy mengangguk dengan lembut. “Tentu saja, Sayang. Daddy pasti senang kalau tahu kamu tetap menjalankan tanggung jawabmu.”
“Kalau ada apa-apa, kabari aku secepatnya,” ujar Alex sebelum mencium pipi ibunya dan melangkah keluar rumah.
Sesampainya di kantor, Alex langsung disambut oleh William yang sudah menunggunya dengan beberapa berkas di tangan.
“Bos, kita sudah siap untuk rapat dengan klien eksport-import. Semua dokumen sudah lengkap,” lapor William.
“Baik, kita langsung ke ruang rapat,” kata Alex, berjalan dengan langkah panjang, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran tentang ayahnya.
Di ruang rapat, pertemuan berjalan cukup intens. Klien dari luar negeri membahas beberapa kendala yang mereka hadapi terkait pengiriman, sementara Alex berusaha tetap profesional meski pikirannya masih terbagi.
William beberapa kali mencuri pandang ke arah Alex, menyadari bahwa bosnya itu tampak sedikit lebih lelah dari biasanya. Namun, ia tidak berani bertanya banyak saat Alex masih bisa menangani rapat dengan baik.
Satu jam berlalu, dan akhirnya rapat selesai. Setelah menutup dokumen di depannya, Alex menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia meraih ponselnya, lalu tiba-tiba teringat janjinya sore ini untuk melihat studio musik bersama Edward.
Alex segera menghubungi Edward.
“Ed, maaf. Aku belum bisa ke sana hari ini. Ayahku dirawat.”
Di seberang telepon, Edward yang sedang duduk santai di cafe mengubah ekspresinya menjadi serius.
“Oh, dirawat?? Kenapa? Nanti aku sempatkan membesuk ayahmu. Bro, enggak masalah urusan itu. Ayahmu yang paling penting sekarang. Kapan pun kamu siap, kita bisa atur lagi.”
Alex menghela napas lega. “Terima kasih, Ed. Aku benar-benar menghargai pengertiannya.”
“Gak usah dipikirin, Bro. Jaga ayahmu dulu. Nanti kalau sudah ada waktu, kita bisa atur lagi,” balas Edward dengan suara tulus.
Alex tersenyum tipis. Dalam hidupnya yang penuh tekanan sebagai pewaris perusahaan, jarang sekali ia menemukan orang seperti Edward, orang yang tidak menuntut atau memaksanya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi, kali ini dari Mommy.
Jantung Alex berdegup lebih cepat. Tanpa ragu, ia langsung mengangkatnya.
“Mom?”
“Alex, Daddy sudah dipindahkan ke kamar biasa. Dokter bilang kondisinya membaik,” suara Mommy terdengar sedikit lebih tenang.
Alex menutup matanya sejenak, merasa beban di dadanya sedikit berkurang. “Syukurlah, Mom. Aku akan segera ke sana.”
Setelah menutup telepon, ia bersandar di kursinya, menatap langit-langit kantor dengan tatapan kosong. Ia masih lelah,tapi setidaknya ada sedikit kelegaan di hatinya.
Ia segera bangkit, mengenakan jasnya, dan berjalan keluar ruangan.
William yang baru saja masuk terkejut melihat Alex bersiap pergi. “Bos, ada meeting lain setelah makan siang. Apa saya harus menjadwal ulang?”
Alex menggeleng. “Aku akan kembali sebelum itu. Sekarang aku harus ke rumah sakit.”
William mengangguk mengerti. “Baik, Bos. Hati-hati di jalan.”
Alex tidak menjawab, hanya melangkah cepat menuju mobilnya, dan bersiap melajukan kendaraan.
_____
Setelah seharian berjuang dengan pekerjaan di kantor, Alex kembali ke rumah sakit tanpa sempat berganti pakaian. Kemejanya masih sama seperti pagi tadi, sedikit kusut dengan sisa aroma parfum yang bercampur dengan kelelahan. Setibanya di ruangan VVIP tempat ayahnya dirawat, Mommy yang setia mendampingi suaminya langsung menoleh ke arah putranya.
“Alex, kamu pasti lelah. Pulanglah dulu, mandi dan istirahat sebentar. Mommy bisa menjaga Daddy.”
Namun, Alex menggeleng tegas. “Aku tidak akan kemana-mana, Mom. Aku di sini untuk menggantikan Mommy.”
Mommy hanya bisa menghela napas, memahami keras kepala putranya. “Baiklah, tapi setidaknya makan sesuatu dulu.”
Alex hanya tersenyum tipis, lalu berjalan mendekati tempat tidur ayahnya. Sang ayah tampak lebih baik, meski masih lemah. Matanya terbuka perlahan dan menatap Alex dengan bangga.
“Kau tetap di sini?” suara ayahnya serak.
Alex mengangguk. “Tentu saja, Dad. Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Ayahnya tersenyum lemah, lalu menutup matanya kembali untuk beristirahat.
Malam semakin larut ketika keluarga Grace datang membesuk. Ayah dan ibu Grace masuk lebih dulu dengan membawa paket buah segar dalam keranjang rotan yang dihiasi pita biru.
“Kami ikut prihatin dengan kondisi ini. Semoga cepat membaik,” kata ayah Grace dengan nada penuh simpati.
“Terima kasih,” jawab Mommy dengan tulus.
Sementara itu, Grace yang datang bersama orang tuanya tak bisa melepaskan pandangannya dari Alex. Pria itu masih memakai pakaian kantornya, dasinya sudah dilepas, tetapi kemejanya tetap tertutup rapi. Raut wajahnya terlihat lelah, namun tetap mempertahankan ketenangannya.
Saat tatapan mereka bertemu, Alex hanya memberikan senyum seadanya sebelum kembali fokus pada ayahnya. Grace merasa aneh. Ada sesuatu dalam ekspresi Alex yang sulit ia pahami.
Sekitar satu jam setelah keluarga Grace datang, pintu ruangan kembali terbuka.
“Permisi...”
Suara itu membuat Alex menoleh. Senyumnya langsung merekah saat melihat Edward masuk bersama adiknya, Bella.
Edward melangkah mendekat dengan santai, sementara Bella mengikuti di belakangnya sambil membawa sebuah tas berisi makanan. Ada sesuatu dalam ekspresi Alex yang berubah saat melihat Bella datang.
“Bro, bagaimana kondisi Tuan Benjamin?” tanya Edward sambil menepuk bahu Alex ringan.
“Sudah lebih baik. Terima kasih sudah datang.”
“Pastinya kami datang bro kamu adalah sahabatku. Kami juga bawa sesuatu,” ujar Edward sambil menunjuk Bella.
Bella tersenyum lembut dan mengangkat tas yang dibawanya. “Aku membuat beberapa makanan sehat untuk Tuan Benjamin.”
Alex menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Oh ya? Apa saja?”
Bella membuka tas dan mengeluarkan beberapa wadah makanan. Dengan suara lembut, ia menjelaskan, “Aku buat sup ayam tanpa lemak, direbus dengan rempah alami supaya jantungnya tetap kuat. Ada juga oat dengan potongan buah beri, baik untuk jantung karena kaya antioksidan. Dan jus delima segar, ini bisa membantu melancarkan peredaran darah.”
Alex menatap Bella dengan penuh kekaguman. “Kamu buat semua ini sendiri?”
Bella mengangguk pelan. “Aku ingin Tuan Ben cepat pulih, jadi aku belajar beberapa resep sehat.”
Tanpa sadar, Alex tersenyum. Matanya berbinar saat menatap Bella, seolah melihat sosok yang begitu tulus dan perhatian. Ia mengambil salah satu wadah dan membukanya, menghirup aroma lezat sup yang dibuat Bella.
“Terima kasih, Bella. Ini benar-benar perhatian yang luar biasa.”
Bella tersipu dan menundukkan kepala, tetapi tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya karena Alex menyukai usahanya.
Namun, momen itu tidak luput dari perhatian Grace. Dari sudut ruangan, ia melihat ekspresi Alex yang berbeda saat menatap Bella. Ada kehangatan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sesuatu dalam hatinya terasa mencubit.
Dalam diam, Grace mengepalkan tangannya. "Tidak... aku tidak akan membiarkan ini terjadi," batinnya
Malam itu, di dalam ruang rumah sakit, tanpa kata-kata yang diucapkan, sebuah perasaan mulai tumbuh. Apakah ini sebuah pertarungan hati?